Benarkah Sunda Pajajaran Adalah Kerajaan Hindu?..IPajajaran, sebuah kerajaan yang pernah eksis di tatar Sunda, dikenal
oleh khalayak sebagai kerajaan Hindu. Bila merujuk pada buku-buku
pelajaran Sejarah yang digunakan di sekolah maupun instansi pendidikan
umumnya, maka Pajajaran akan diletakkan dalam kategori kerajaan
Hindu-Budha yang pernah berjaya di bumi nusantara. Mungkin tidak
terpikir oleh kita bahwa sejarah resmi yang diyakini oleh
mainstream masyarakat tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan hingga kini.
Sebagian masyarakat Sunda yang menganut agama Sunda Wiwitan (agama
asli Sunda) justru meyakini bahwa agama yang dianut oleh masyarakat
Sunda Pajajaran maupun Galuh (kerajaan yang ada sebelum Pajajaran
muncul) adalah agama Sunda Wiwitan, bukan agama Hindu. Beberapa
sejarawan dan budayawan Sunda pun berpendapat sama, yakni ada kesalahan
interpretasi sejarah dengan menyebut Pajajaran sebagai kerajaan Hindu.
Pendapat yang tentunya disertai argumentasi rasional dan dapat
dipertanggung jawabkan.
Pajajaran dan Agama Sunda
Sumber-sumber sejarah yang penulis ketahui memang menunjukkan adanya
kepercayaan asli Sunda yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Sunda
pra maupun pasca Pajajaran terbentuk.
[1] Naskah Carita Parahyangan, misalnya, mendeskripsikan adanya kaum pendeta Sunda yang menganut agama asli Sunda (
nu ngawakan Jati Sunda). Mereka juga disebut mempunyai semacam tempat suci yang bernama
kabuyutan parahyangan, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama Hindu.
Naskah Carita Parahyangan juga menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah
sewabakti ring batara upati dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.
[2]
Selain naskah Carita Parahyangan, keberadaan agama asli Sunda pada masa
lampau juga diperkuat oleh karya sastra Pantun Bogor versi Aki Buyut
Baju Rambeng episode “
Curug Si Pada Weruh.” Dalam pantun tersebut diberitakan begini:
“
Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea..”
Artinya : “Sebelum orang Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo
pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.”
Yang dimaksud dengan “urang Hindi” dalam pantun tersebut adalah orang
Hindu dari India yang kemudian bertahta di tanah Sunda (Kadu Hejo).
Bila kita menelusuri sejarah Sunda hingga masa ratusan tahun sebelum
Kerajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran berdiri, maka akan dijumpai
Kerajaan pertama di tatar Sunda yang bernama Salakanagara. Kerajaan
inilah yang dimaksud dengan Kadu Hejo dalam pantun Bogor tersebut.
Naskah Wangsakerta mencatat kerajaan ini sebagai kota tertua di Pulau
Jawa, bahkan di Nusantara.
Konon, kota yang kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan ini
terletak di daerah Pandeglang, Banten. Kerajaan Salakanagara yang pusat
pemerintahannya terletak di Rajatapura telah ada sejak abad 2 Masehi.
Aki Tirem merupakan penguasa pertama daerah ini. Penguasa Salakanagara
berikutnya adalah Dewawarman, imigran sekaligus pedagang dari India yang
kemudian menjadi menantu Aki Tirem.
[3]
Dewawarman inilah yang dimaksud sebagai “urang Hindi” oleh Pantun Aki
Buyut Baju Rambeng. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebelum kedatangan
Dewawarman dan rombongannya ke Salakanagara, penduduk Rajatapura telah
memiliki agama sendiri, yakni agama Sunda. Dewawarman sendiri bertahta
di Salakanagara dari tahun 130-168 M. Sedangkan dinastinya tetap
berkuasa hingga akhirnya pusat kekuasaan dipindahkan ke Tarumanagara
pada tahun 362 M oleh Jayasingawarman, keturunan ke-10 Dewawarman.
[4]
Masih menurut naskah Pustaka Wangsakerta, agama Sunda pada masa Sunda
kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu
Sambawa, Sambada dan
Winasa. Hal
terpenting yang perlu diingat adalah bahwa ketiga kitab suci tersebut
baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang
Wisnu, yang berkuasa di tatar Sunda pada periode 1175-1297 M.
[5]
Menarik untuk disimak, bahwa agama Sunda yang telah berumur sekitar
1000 tahun atau 1 Milenium, baru mempunyai kitab suci tertulis pada masa
pemerintahan Prabu Sanghyang Wisnu. Penulis berasumsi, mungkin selama
era sebelum Prabu Sanghyang Wisnu berkuasa, kehidupan beragama di tanah
Sunda belum mendapat perhatian yang serius dari penguasa kerajaan.
Setelah masa Prabu Sanghyang Wisnu pulalah agama Sunda menjadi agama
resmi kerajaan.
Beberapa bukti sejarah itu menunjukkan keberadaan agama Sunda asli
atau Sunda Wiwitan sebagai sebuah agama yang dianut oleh masyarakat
maupun penguasa Sunda kuno adalah fakta tak terbantahkan. Lalu
bagaimanakah kedudukan agama Hindu di era Sunda kuno atau Sunda
Pajajaran? Bukankah cikal bakal kerajaan Sunda kuno berasal dari
orang-orang India yang notabene beragama Hindu? Bagaimana pula perbedaan
mendasar antara agama Hindu dan agama Sunda Wiwitan?
Perbedaan Hindu dan Sunda Wiwitan
Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada faham Monoteisme
atau percaya akan adanya satu Tuhan yang dikenal sebagai Sanghyang
Keresa atau biasa juga disebut Batara Tunggal. Dalam menjalankan
“tugasnya” mengatur semesta alam, Sanghyang Keresa dibantu oleh para
Sang Hyang lainnya seperti Sanghyang Guru Bumi, Sanghyang Kala,
Sanghyang Ambu Jati, Sunan Ambu, dan lainnya.
Agama Sunda Wiwitan juga mengenal klasifikasi semesta alam menjadi
tiga bagian, yakni Buana Nyungcung (tempat bersemayamnya Sanghyang
Keresa), Buana Panca Tengah (tempat hidup manusia dan mahluk hidupnya)
dan Buana Larang (neraka). Selain itu, dalam ajaran Sunda Wiwitan juga
dikenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan
mandala di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala yang harus
dilalui manusia tersebut adalah (secara vertikal): Mandala Kasungka,
Mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala
Suda, Jati Mandala, Mandala Samar dan Mandala Agung.
Bila kita merujuk pada ajaran Hindu, akan ditemukan perbedaan
mendasar dengan ajaran agama Sunda terutama menyangkut konsep teologis.
Hindu merupakan agama yang memiliki karakteristik Politeisme atau
meyakini adanya lebih dari satu Tuhan atau Dewa. Dalam agama Hindu
dikenal banyak dewa, diantaranya tiga dewa yang paling utama (Trimurti)
yakni dewa Wisnu (pelindung), Brahma (pencipta) dan Siwa (perusak).
Tidak dikenal istilah Sanghyang Keresa dalam ajaran Hindu.
Perbedaan lainnya adalah mengenai sarana peribadatan dari kedua
agama. Pada era Sunda Pajajaran, agama Sunda Wiwitan mengenal beberapa
tempat suci yang juga dijadikan sarana peribadatan seperti
Balay Pamunjungan, Babalayan Pamujan serta
Saung Sajen. Hampir semua tempat ibadah tersebut berbentuk punden berundak yang terdiri dari kumpulan batu-batu besar dan arca.
[6]
Sementara pada masa kejayaan Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, sarana peribadatan yang banyak didirikan justru
candi yang hingga kini masih dapat kita temui peninggalannya. Bahkan
candi juga terkait dengan simbol kekuasaan penguasa tertentu.
Sedangkan budaya keberagamaan masyarakat Sunda yang menganut Sunda
Wiwitan pada masa Sunda kuno sungguh berbeda. Mereka tidak mendirikan
candi untuk beribadah, melainkan memusatkan kegiatan keagamaannya pada
beberapa punden berundak yang dikenal sebagai kabuyutan. Di punden
berundak inilah ritual atau prosesi keagamaan khas Sunda Wiwitan
dilakukan oleh masyarakat Sunda. Beberapa peninggalan tempat ibadah era
Pajajaran yang masih dapat kita temukan kini adalah kabuyutan Sindang
Barang (kini menjadi kampung budaya Sindang Barang, Bogor) dan Mandala
Parakan Jati di kaki Gunung Salak.
Hal inilah yang juga dapat menjawab pertanyaan sebagian orang
mengenai “kelangkaan” candi di tatar Sunda. Fakta sejarah memperlihatkan
bahwa masyarakat penganut Sunda Wiwitan memang tidak membutuhkan candi
sebagai sarana peribadatan, melainkan kabuyutan yang masih kental
tradisi megalitiknya. Jadi sedikitnya candi di tanah Sunda bukan karena
“kemiskinan” peradaban Sunda di masa lampau, melainkan kondisi
sosio-religiusnya yang berbeda dengan masyarakat Jawa-Hindu.
Bukti lainnya yang juga menunjukkan kelemahan klaim sejarah yang
berhubungan dengan ke-Hindu-an kerajaan Sunda Pajajaran adalah tidak
ditemukannya stratifikasi sosial khas masyarakat Hindu atau kasta pada
masyarakat Sunda Kuno. Naskah
Sanghyang Siksakanda ng Karesian
serta sumber-sumber sejarah lainnya tidak menunjukkan adanya strata
sosial yang didalamnya terdapat kasta Waisya, brahmana atau Sudra
sebagaimana masyarakat Hindu di Jawa dan Bali. Disamping itu, tidak
ditemukan pula konsep raja adalah titisan Tuhan atau Dewa (
God-King)
pada sistem pemerintahan Sunda Pajajaran atau Galuh sebagaimana
dijumpai dalam sistem kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Timur.
Tidak tertutup kemungkinan memang, terjadi akulturasi antara agama
Sunda Wiwitan dengan agama Hindu, mengingat leluhur keluarga kerajaan
Sunda kuno sebagian berasal dari India. Namun akulturasi tersebut tidak
terjadi dalam aspek sistem nilai. Bila merujuk pada konsep kebudayaan
menurut Koentjaraningrat, terdapat tiga jenis budaya dalam satu unsur
kebudayaan, yakni sistem nilai, perilaku dan kebendaan (artefak).
Akulturasi dalam kasus ini hanya terjadi dalam aspek kebendaan dan
perilaku, itupun tidak seluruhnya. Hal ini dapat terlihat dari nama-nama
raja dan beberapa istilah dalam agama Sunda Wiwitan seperti Batara dan
Resi. Namun untuk substansi ajaran, tidak tampak adanya akulturasi yang
menjurus pada sinkretisme.
Sunda Wiwitan di Masa Kini
Sudah jelaslah kini bila kategorisasi kerajaan Sunda Pajajaran
ataupun Galuh sebagai kerajaan Hindu merupakah hal yang perlu dikoreksi.
Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa masyarakat Sunda kuno
telah menganut suatu agama lokal yang mapan dan relatif mandiri dari
pengaruh teologis Hindu-Budha, yakni agama Sunda Wiwitan.
Pada masa kini, Sunda Wiwitan masih dianut oleh sebagian etnis Sunda
terutama kalangan suku Baduy di desa Kanekes, Banten. Selain itu,
penganut Sunda Wiwitan juga terdapat di Ciparay Bandung (terkenal dengan
nama aliran Perjalanan Budi Daya), Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat
Cara Karuhun Urang), dan kampung adat Cireundeu Cimahi. Masing-masing
komunitas memiliki penjabaran dan karakteristik ajarannya sendiri namun
tetap berbasiskan inti ajaran agama yang sama, Sunda Wiwitan.
Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri
ini, karena agama Sunda Wiwitan bukanlah agama yang secara resmi diakui
keberadaannya oleh negara.
[7]
Akibatnya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap
mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil
mereka sebagai warga negara. Alangkah lucunya negeri ini, ketika
kekuasaan politik berhak menentukan mana yang termasuk kriteria agama
dan mana yang bukan. Yang pasti diskriminasi terhadap penganut Sunda
Wiwitan masih terus langgeng hingga detik ini. Jangan-jangan, penulisan
buku sejarah resmi yang masih memasukkan Pajajaran sebagai kerajaan
Hindu juga bernuansa diskriminatif, yang orientasinya ingin menghapukan
jejak kebudayaan Sunda Wiwitan dalam sejarah?
Wallahualam
HISKI DARMAYANA, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan alumni Antropologi FISIP Universitas Padjajaran.
[1]
Nama Pajajaran sendiri resmi digunakan pada masa pemerintahan Prabu
Jayadewata (1482-1521), yang juga bergelar Prabu Siliwangi dan Sri
Baduga Maharaja. Pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, daerah
Batutulis Bogor sekarang. Sementara sebelum nama Pajajaran muncul,
kerajaan yang ada di tatar Sunda dikenal dengan nama Sunda-Galuh, yang
berdiri sejak runtuhnya Tarumanagara dan berkuasanya Tarusbawa di tahun
669 M.
[2] Hal ini pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul
Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan. Tulisan beliau pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[3] Sejarah Salakanagara atau Rajatapura diuraikan secara rinci dalam naskah Wangsakerta Cirebon,
Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara.
[4] Jayasingawarman juga merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara yang berkuasa hingga tahun 382 M.
[5]
Dalam beberapa cerita Pantun, beliau dijuluki Prabu Resi Wisnu Brata.
Julukan ini diberikan karena beliaulah raja Sunda yang gencar
menyiarkan agama Sunda di kalangan penduduk Sunda dan yang pertama kali
membuat kitab suci Sunda dalam bentuk tertulis.
[6]
Ulasan tentang sarana ibadah agama Sunda Wiwitan pada masa Pajajaran
terdapat dalam tulisan budayawan Sunda, Anis Djatisunda yang berjudul
Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun & Babad.
LAMBANG & INTERPERSEPSI MASYARAKAT SUNDA DI BUMI PARAHYANGAN