Kontol di Museum
submitted November 22, 2010
Categories: In Indonesian
Text Size:
Kalau kita pergi ke Museum Pusaka Nias, di Gunung Sitoli, kita akan
terpesona melihat patung-patung batu berserakan di halaman Museum, di
depan, ditengah, di belakang. Rata-rata semua punya gaya yang sama,
seorang lelaki dengan kostum traditional berdiri tegap dengan buah dada
besar dan alat kelamin berdiri tegak, semua terbuat dari batu.
Sudah dua kali aku kesana, hari Sabtu bulan lalu dan hari Minggu yang
kemarin. Ramai dan penuh sesak halaman Museum itu, karena di dalamnya
ada Kebun Binatang, ada taman-taman yang indah, indah buat ukuran Nias,
buat ukuran orang Jakarta atau Surabaya biasa-biasa aja ! Pada kunjungan
kedua kemarin aku berkenalan dengan seorang lelaki, umurnya mungkin
40an, asli Nias, gagah, macho dan mukanya kotak-kotak yang maskulin.
Pokoknya para homo tulen pasti senang dan ingin mencicipinya. Nama
lelaki itu Fabius Ndururu, ia mengaku pekerja di situ, sejenak duduk
melepas lelah, aku ngobrol dengan Fabius. Ternyata ia sudah kawin dan
beranak, ngobrol punya ngobrol akhirnya cerita bergeser pada
pengalamannya pergi ke luar daerah. “Akh saya sudah pernah mencicipi
perempuan Bandung, perempuan Jakarta, perempuan Medan, perempuan
sana….perempuan sini….!” Celotehnya membanggakan diri, kelihatan sekali
lelaki ini tukang pamer, pembual dan segala-galanya. Ngobrol 10 menit
dengan Fabius sudah kelihatan orang ini tolol, keras kepala, nggak punya
otak. Yang menjadi daya tarikku hanya karena aku pengen tahu sebesar
apa sikh kontolnya ? Badan begini OK, wajah macho tentu bikin semua homo
penasaran seperti apa kontol dari museum, siapa tahu dapat
kenang-kenangan.
Aku tahu caranya, karena orang Nias terkenal mata duitan, matre dan
mudah disogok ! Aku sengaja membuka dompetku yang tebal, di hadapan
Fabius, isinya sederet uang 50 ribuan berbaris mesra dengan sederet uang
100 ribuan, aku berkata : “Yuk temani aku minum ke kantin” ajakku.
Fabius langsung melotot melihat isi dompetku dan liurnya mungkin
menetes-netes : “Ayo” jawabnya bersemangat. Kami berjalan ke belakang ke
arah tepi pantai, di situ anak-anak muda berjejalan berpacaran, saling
menggoda, paling dikit cari jodoh. Yang homo pasti juga banyak cari
mangsa. Aku duduk memesan bir : “Fabius mau minum apa ? nanti antar aku
jalan-jalan keliling yakh !” ujarku, Fabius menjawab : “Saya kopi aja,
sayang minum bir mending uangnya buat saya “ jawab Fabius dengan nada
materialistis. Aku buru-buru menyahut : “Itu soal gampang, minum aja
dulu, nikh 50 ribu, nanti antar saya keliling” sahutku sambil menarik
selembar 50 ribuan dari dompet. Ia menyambut lembaran itu dengan cepat,
memasukkannya ke saku kemeja dengan mukanya sumringah, bahagia…….kesian
deh lu !
Sehabis minum aku berkeliling, Fabius menerangkan ini itu dengan gayanya
yang congkak. Setiap penjelasan ia selalu bumbui dengan hal-hal mistik,
paling tidak bersifat klenik, jadi kelihatan sekali orang macam gini
pasti percaya dukun, doyan main mistik. Iseng-iseng aku menunjuk
patung-patung lelaki dengan kontol yang bertebaran seantero halaman :
“Apa sikh makna patung seperti itu ?” tanyaku seolah penasaran “Oooh itu
maknanya pemimpin yang mampu memberi makan bangsanya, rakyatnya,
semakin besar teteknya artinya pemimpin itu bisa memberi makan lebih
banyak orang, menyusui lebih banyak orang” Fabius menerangkan. “Lantas
kenapa itu kontol ada yang kecil ada yang besar, ada yang ke bawah ada
yang ke atas ?” tanyaku lagi “Begini…..semakin besar alat vital yang
digambarkan berarti pemimpin itu semakin pemberani, semakin jagoan”
sahut Fabius sambil terkekeh. Aku mesem saja sambil melirik selangkangan
Fabius, memang dibalik celana blue jeansnya kelihatan menggantung
daging besar.
Aku mendekat ke sebuah patung, memegang-megang phallus patung batu dan
nyeletuk agak keras : “Wah… nyari beginian di mana ya ?” Fabius mungkin
salah dengar atau memang dia goblok, ia menjawab : “Bisa pesan di
desa-desa, mungkin sekitar 1 bulan selesai, yang lebih kecil dari ini
harganya 5 juta” Dasar manusia matre, belum ditanya sudah menyebut
harganya. “Ha…ha…ha…. maksudku nyari barang segede gini di sini di mana
?” sergahku memperjelas “Aaah, begitu ? mana saya tahu ha ha ha” Fabius
menjawab sambil ikut tertawa. Aku semakin lancang dan meneruskan :”Eh
bener nikh kalau ada yang beneran aku mau banget, nyari di mana ?”
sambil bergurau aku menunjuk ke selangkangannya. Fabius kelihatan
terkejut, tapi ia pura-pura santai : “ Akh abang ini bisa aja, kalau
yang ini sudah ada yang punya !”
Aku melangkah ke tempat yang lebih sepi, Fabius tetap mengikuti dari
belakang, aku masih tetap penasaran, jadi aku bilang pelan-pelan : “Ini
diantara kita aja ya ! aku kepengen lihat orang Nias punya, terutama
yang besar……aku ada uang sedikit buat upahnya” Fabius membungkukkan
badan, seolah berusaha meyakinkan diri kata-kata “uang sedikit buat
upahnya” aku mengerti bahwa Fabius mulai tergiur uangku “Ya…..aku kasih
50 ribu kalau ada yang mau kasih lihat kontol Nias yang besar” kataku
memperjelas. “Gimana kalau 100 ribu “ tiba-tiba Fabius menjawab, aku
tersenyum dalam hati, kena lu sekarang ! lantas aku menjawab : “Di
Jakarta 100 ribu udah megang all-in, masak di sini ngliat doank 100
ribu, akh yang bener aja “ Kelihatan sekali Fabius kesal dengan
jawabanku “Tidak mau ya sudah” mukanya kelihatan geram, rahangnya naik
turun. “Gini deh, aku kasih 100 ribu tapi betul ya kamu carikan
sekarang” kataku menantang, Fabius lantas menjawab :”Mana uangnya kamu
boleh lihat sebentar lagi” Aku pura-pura menengok ke kanan kiri “Mana
orangnya ? mana barangnya aku belum lihat koq uangnya sudah di minta,
nanti kalau sudah aku lihat aku sendiri yang kasih, bukan kamu” kataku
agak jengkel, sungguh memalukan manusia ini. Tiba-tiba Fabius berjalan
cepat sambil mengatakan : “Sudah sini ikut aku……jangan ribut ya !”
lantas ia berjalan menyusuri jalan setapak dan menyuruh seorang anak
membuka sebuah pintu, kami masuk ke pekarangan lain dengan beberapa
bangunan kecil tertutup.
Fabius mengunci pintu dan berdiri membelakangi dinding “Ini kalau mau
lihat kontol Nias yang besar” katanya dengan nada kejam seraya membuka
celana jeansnya, dibalik celana pendek terpentang siluet kontol yang
belum hidup. “Mana uangnya, ada uang boleh lihat” ujarnya sambil
menadahkan tangan meminta uang. Aku memberikan selembar uang 100 ribu
dan menatap selangkangan Fabius penuh konsentrasi, ia membuka celana
pendeknya dan terlihat jembut maha lebat tumbuh di kulitnya yang sawo
matang. Kontol Fabius kelihatan sepadan dengan badannya yang bagus,
tinggi kekar dan padat. Kontol itu meski masih lemas tapi berotot
berurat dan pasti panjang kalau ereksi. “Hidupin donk, lemes begitu khan
nggak seru” kataku memprotes, Fabius lantas meremas-remas alat vitalnya
supaya hidup “Nggak bangun kalau nggak dipegang perempuan” katanya,
tangannya masih saja berusaha menghidupkan kontol yang lemas itu, aku
jadi gemas “Sini aku pegangin, kepalanya kok tenggelam begitu” tanpa
persetujuan Fabius aku maju dan jongkok meraba kontolnya, kepalanya aku
pegang dan aku remas-remas, kontol itu menggeliat. Batangnya aku
kocok-kocok dan kulupnya bergerak sehingga akhirnya seluruh kepala
kontol menyembul keluar. Mungkin Fabius menikmati kocokanku yang sedap,
sehingga kontolnya langsung tuing ! ngaceng ! aku membasahi telunjukku
dengan ludah dan mengoleskan ke kepala kontol yang sekarang menjadi
semakin keras, mungkin Fabius merasa ada licin-licin dan bikin geli
sehingga ia jadi bernafsu. Apalagi badanku ramping, kulitku bersih
dengan wajah yang bukan ganteng tapi imut-imut ! tentu ia juga nggak mau
rugi, orang macam begini pasti biseks ! yakin dia juga pasti pengen
ngeseks denganku. “Sudah isap isap aja…….cepat !“ kata Fabius.
Aku langsung jongkok dan mengisap kontol Fabius, besarnya kepala kontol
tidak memungkinkan aku memasukkannya ke mulut jadi ujungnya saja aku
sedot-sedot, aku jilat-jilat, batangnya aku kocok-kocok. Fabius mendesah
keenakan, tapi potongan orang macam Fabius jenis haus seks, tidak akan
puas dengan dikocok-kocok saja. Selama lima menit mulutku ngos-ngosan
menjilat-jilat kontol museum, yang punya kontol juga sudah konak edan.
Ia belum puas kalau kepala dan batang kontolnya nggak njeblos semua
“Hei….pantatmu bersih nggak….sudah tanggung nikh……sudah ke puncak…..buka
celanamu “ kata Fabius sambil menahan gejolak nafsunya. Aku langsung
melepas celana pendekku, dari tas aku keluarkan lotion penahan terik,
kuoles ke kepala kontol Fabius dan kelubang pantatku, aku nungging
menunggu hujaman kontol Nias…….dan heeeeeeeegh…….kepala kontol Fabius
menjeblos lubang pantatku. Fabius menekan kontol kuda itu sekuat tenaga
dan mendorong pantatnya maju mundur berulang-ulang, aku menahan nyeri
sambil berpegangan tiang supaya tidak jatuh. Tak lama kemudian Fabius
terjerembab, ia ejakulasi, pejunya meleleh dari lubang pantatku ke paha
dan kaos kakiku.
Aku buru-buru jongkok dan mengeden supaya seluruh peju keluar, aku usap
pantatku, mengelap lelehan peju di kakiku dengan tissue dan
melemparkannya ke pojok. Aku sedang memakai celana ketika Fabius yang
masih terseok-seok keenakan habis ngentot mengulurkan tangan :”tambah
seratus lagi donk” katanya. Orang ini betul-betul tidak tahu malu, hina
dina, belum sempat pakai celana sudah minta uang. Aku merogoh dompet
mengambil selembar 50 ribuan dan menjatuhkan uang itu ke lantai bekas
ceceran pejunya. Lantas aku membuka pintu dan keluar dari bangunan itu.
Hmmmmm……..aku berjalan keluar dari gerbang Museum, matahari bersinar
cerah, pantatku mungkin lecet habis disodok kontol museum, memang gede
dan keras. Lumayan juga disodomi di gudang oleh Fabius, mustinya kalau
dia main enak dan sopan aku bisa kasih lebih banyak. Dalam hati aku
berpikir, sayang sekali kalau hidup seperti Fabius, badan bagus, kekar,
wajah lumayan macho masculine, kontol gede ! tapi kenapa goblok, nggak
ada otaknya ! yang dia tahu cuma duit-duit dan mungkin dukun !
Untuk homo-homo yang doyan kontol gede, jangan lupa mampir Museum Pusaka
Nias di Gunung Sitoli. Hubungi Fabius Ndruru, mau lihat dan pegang
kontolnya seratus ribu perak (US 10 dollar) isap-isap atau sodomi sampai
ejakulasi seratus lima puluh ribu aja (US 15 dollar). Kontol murahan
meriah meledak !
Fabius Ndruru |
0 komentar:
Posting Komentar