Situs Batu Kerajaan Kendan
Situs Batu Kerajaan Kendan terletak
di Kampung Kendan, Desa Citaman, Kecamatan Nagreg. Situs ini merupakan lahan
gunung batu cadas, yang diduga menjadi kawasan kekuasaan Kerajaan Kendan atau
Kerajaan Kelang. Kerajaan ini didirikan oleh Resiguru Manikmaya sekitar tahun
536 Masehi. Dari kerajaan ini kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan besar
bernama Galuh, manakala kekuasaan kerajaan Kendan dipegang oleh Prabu
Wretikandayun pada tahu 612 Masehi..**
SITUS ‘KOTA
KUNO’ KENDAN
Dituturkan
oleh WA IKIM*)
Berbicara masalah kota tua atau kota
lama di Tatar Sunda, janganlah lantas menggiring pikiran pada kota-kota lama di
dunia. Orang Yunani atau orang Romawi mungkin boleh jadi merasa dikagumi oleh
seluruh warga dunia karena masih menyisakan peninggalan-peninggalan kota lama
dari zaman kuno sebagai pusat kegiatan kehidupan masa lalunya yang begitu
mengagumkan. Tapi, bagaimana dengan nasib kota-kota tua di tatar Sunda.
Khususnya di Kabupaten Bandung.
Dalam khazanah bahasa Sunda, memang
dikenal istilah dayeuh sebagai proses perkembangan kabahasaan
dari istilah dayo dalam naskah kuno, yang memiliki pengertian
sama dengan ‘kota’. Adanya istilah dayo atau dayeuh, kerapkali
kita baca dalam istilah kata majemuk ‘puseur dayeuh’, yang sering
dimaknai sebagai pusat pemerintahan, tempat para penguasa bergumul melayani
kepentingan rakyatnya.
Apabila kita merujuk pada
perkembangan sejarah wilayah kabupaten Bandung dari jaman Kendan pada abad ke-6
hingga jaman masuk kekuasaan Mataram pada abad ke-17, hanya ada beberapa tempat
saja yang disebut sebagai puseur dayeuh, yakni wilayah di sekitar Nagrek
sebagai puseur dayeuh karajaan Kendan, Tegalluar di Kecamatan Bojongsoang
(?) sebagai puseur dayeuh Timbanganten dan Krapyak di Kecamatan
Dayeuhkolot sebagai puseur dayeuh Kabupaten Bandung.
Di dalam beberapa cerita rakyat atau
legenda, disebutkan juga adanya puseur-puseur dayeuh yang tersebar
di beberapa wilayah desa dan kecamatan, seperti Kadatuan (Kadatwan Pradetsya
Iswara) di Kecamatan Paseh, Kadaleman sebagai puseur dayeuh Tatar Ukur
(tersebar di beberapa wilayah kecamatan).
Selain itu, secara toponimi, ada
beberapa tempat yang berhubungan dengan istilah puseur dayeuh dalam
sistem pemerintahan tradisional masa lalu, seperti Dayeuhluhur (terdapat di
Kecamatan Pacet dan Kecamatan Ibun), Kutawaringin di wilayah Soreang (sekarang
menjadi nama kecamatan), Dayeuhkolot yang dalam bahasa Belanda disebut Oude
Negorij (Negeri Lama). Jagabaya (nama sebuah desa di Kecamatan Cimaung),
Langonsari (nama desa di Kecamatan Pameungpeuk), Langensari (di Kecamatan
Solokanjeruk), dan Pulosari (nama sebuah desa di Kecamatan Pangalengan,
Drawati (asal dari kata dorawati) yang terdapat di Kecamatan Paseh atau sekitar
wilayah Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Citaman di Kecamatan Nagreg
serta kampung Balegede di Kecamatan Baleendah.
Kota Tua kerajaan Kendan
Wilayah Nagreg merupakan bekas
ibukota kerajaan Kendan atau kerajaan Kelang, menurut versi masyarakat
setempat.
Kerajaan Kelang ibukotanya bernama
Kendan. Nama Kendan sendiri berasal dari kata kenan, yaitu sejenis
batuan cadas, berongga, dan di dalamnya mengandung kaca (batu beling) berwarna
hitam. Batuan ini tampak berkilauan saat terkena matahari. Permukaannya sangat
kasar dan sedikit tajam. Jenis batuan ini hanya terdapat dalam wilayah kampung
Kendan. Sedangkan di tempat lainnya, termasuk di kampung-kampung dekatnya,
nyaris sangat sulit ditemukan.
Menurut versi lain, nama Kendan
berasal dari kata kanda yang mendapat akhiran -an, yaitu sebuah
sistem religi tradisonal yang menganut paham monoteisme (hyang tunggal)
yang dikembangkan oleh Praburesiguru Manikmaya pada abad ke-6 sebagai norma
kehidupan beragama jauh sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda sekitar abad ke 16.
Salah satu kegiatan ritual keagamaannya berbentuk pasaduan yang
dilakukan di seputar kabuyutan. Dan di dalam kabuyutan tersebut biasanya
ditandai dengan bangunan punden berundak.
Punden ini tersebar di beberapa
tempat yang sering disebut orang sebagai candi. Istilah ini didasarkan adanya
kemiripan bahan material dengan bangunan umat Hindu. Meskipun sebenarnya antara
arsitektur punden dan arsitektur candi sangat jauh berbeda. Candi merupakan
bangunan tertutup atau berdinding, sedangkan punden merupakan bangunan terbuka
tanpa dinding maupun atap. Di dalam konsep tata ruang puseur dayeuh
kerajaan pra-Islam di Tatar Sunda, bangunan punden berfungsi sebagai goah.
Berbeda dengan beberapa daerah bekas
kerajaan di beberapa belahan dunia, keberadaan kota lama sebagai puseur
dayeuh mungkin tidak terlalu menonjol.
Sebuah petunjuk mengenai keberadaan puseur
dayeuh, pada saat ini yang dapat kita saksikan hanyalah sebuah
perkampungan yang disebut Kampung Kendan. Wilayah ini merupakan sebuah bukit
yang terletak 15 km sebelah tenggara Cicalengka. Di daerah ini pernah ditemukan
pula sebuah arca manik (yang oleh para ahli sejarah disebut Patung Durga ) yang
sangat halus pembuatannya. Dan sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Selain itu, di kawasan ini ditemukan beberapa situs makam keramat yang diduga
merupakan tokoh-tokoh Kerajaan Kendan, seperti Sanghyang Anjungan, Embah Singa,
Embah Cakra dan situs makam Kiara Janggot.
Perlu menjadi catatan, arca
Manik(maya) bukanlah untuk dijadikan berhala, melainkan semata-mata bentuk
penghormatan dan kekaguman masyarakat Kendan terhadap ketokohan Sang Prabu
Rsiguru Manikmaya. Karena sang Prabu, selain seorang penguasa yang arif
bijaksana, juga seorang Rsiguru yang mengajarkan berbagai tatanan peradaban
baru pada masanya, maka tidak mustahil arca Manik ini banyak menghiasi
kabuyutan-kabuyutan sebagai ikon ketaatan dan kepatuhan masyarakat Kendan
terhadap ajaran-ajaran Manikmaya sebagai gambaran kehidupan spiritual
dalam sistem religi pada masa itu.
Pada bekas puseur dayeuh
Kendan, selain ditemukan arca Manik, saat melakukan investigasi ke wilayah ini,
sempat pula ditemukan sebuah ‘mahkota’ serta sebuah pusaka nagasasra
(singkatan dari nagara rasa) yang tersimpan di salah seorang sesepuh Kampung
Kendan. Sebagai nagara rasa, hanya orang yang memiliki kehalusan rasa
dan ketajaman bathin yang dapat merasakan peninggalan-peningalan kerajaan
Kendan yang sudah terkubur ratusan tahun lamanya. Dan sampai saat ini pun,
belum dapat dipastikan dimana material bekas “karaton”-nya.
Nama kerajaan Kendan sendiri bagi
masyarakat sekitarnya, sebenarnya tidak terlalu diabaikan. Sebab, menurut salah
seorang penduduk, nama kerajaan Kendan itu sebenarnya kurang begitu diketahui.
Mereka justru lebih mengenal kerajaan Kelang daripada kerajaan Kendan.
Sedangkan Kendan merupakan ibukota pusat pemerintahannya.
Bila melihat konsep tata ruang
kerajaan Kendan, bagaimana pun tidak akan sama dengan tata ruang wilayah
Kabupaten Bandung pada setiap periode. Masa masa Kerajaan Kendan, konsepnya
sangat sederhana. Yang dimaksud dengan Puseur Dayeuh itu, hanyalah
terdiri dari kompleks karaton yang terletak di atas bukit, di bawahnya terdapat
tajur, yang berfungsi sebagai alun-alun untuk melakukan upacara kerajaan
yang melibatkan masyarakat banyak. Selebihnya adalah rumah-rumah penduduk yang
tempatnya saling berjauhan.
Komplek karaton pun hanya terdiri
dari bangunan bale gede untuk pelayanan rakyat dan bale bubut
untuk tempat tinggal raja. Seluruh bangunan berbentuk panggung. Oleh karena
itu, jika material bekas bangunan “karaton” Kerajaan Kendan sangat sulit
ditemukan, adalah sesuatu yang wajar. Karena bahan dasar material bangunannya
sendiri bukanlah terbuat dari bahan-bahan material permanen yang memungkin bisa
saja rusak termakan waktu atau memang ada yang menghancurkan setelah lama
ditinggalkan. Jika ada bekas-bekas karaton, paling yang bisa ditemukan hanya
konsep tata ruang. Itu pun sudah dalam bentuk penamaan tempat.
Sedangkan, untuk artefak-artefak
mungkin saja bisa ditemukan di sekitar bekas karaton. Diantaranya, yang pernah
ditemukan adalah sebuah patung yang disebut arca Manik.***
*) WA IKIM adalah kuncen situs Kendan yang
sering dijadikan narasumber oleh para mahasiswa dan pemerhati sejarah mengenai
keberadaan Kerajaan Kendan.
0 komentar:
Posting Komentar