Nhay(Nyai) Subang Larang
Nhay
(Nyai) Subang Larang adalah putri dari Ki Gedeng Tapa, seorang
mangkubumi dari Nagari Singapura, dari Nhay Ratu Karanjang (putri Ki
Gedeng Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu
Anggalarang). Subang Larang lahir pada 1404 M. Carita Purwaka Caruban
Nagari mengisahkan bahwa Subang Larang adalah salah satu istri dari
Raden Pamanah Rasa yang kelak marak menjadi Raja Pajajaran.
Nama
Nhay Subang Larang tertulis dalam Carita Purwaka Caruban Nagari. Carita
Purwaka Caruban Nagari (disingkat CPCN) merupakan karya Pangeran Arya
Cerbon pada tahun 1720 (150 tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat),
dengan menggunakan bahasa Jawa-Cirebon. Pangeran Arya Cerbon menggunakan
naskah Nagarakretabumi, salah satu judul dari enam Naskah Wangsakerta,
sebagai rujukan dalam menulis CPCN. Naskah ini kemudian diterjemahkan
oleh Pangeran Sulendraningrat (1972) dan Atja (1986).
Sementara
Carita Parahyangan malah tak menyebutkan sama sekali nama Subang Larang
atau nama yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Subang Larang. Dalam
Carita Ratu Pakuan atau Kropak 410 (diperkirakan ditulis pada akhir abad
ke-17 atau awal abad ke-18), nama Subang Larang pun tak ada; yang
tertera hanya nama Ngabetkasih, istri lain Prabu Siliwangi, madu
sekaligus sepupu Subang Larang.
Nagari-nagari yang Berada dalam Wilayah Galuh pada Abad ke-15
Sebelum membahas perihal Subang Larang, ada baiknya kita tinjau keberadaan nagari-nagari di sekitar Cirebon-Majalengka pada abad ke-15, masa di mana Subang Larang hidup. Nagari-nagari ini awalnya merupakan pecahan Wanagiri Besar atau Indraprahasta, termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh. Jumlahnya ada enam, yakni:
Sebelum membahas perihal Subang Larang, ada baiknya kita tinjau keberadaan nagari-nagari di sekitar Cirebon-Majalengka pada abad ke-15, masa di mana Subang Larang hidup. Nagari-nagari ini awalnya merupakan pecahan Wanagiri Besar atau Indraprahasta, termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh. Jumlahnya ada enam, yakni:
1. Wanagiri
Nagari ini terletak 17 km sebelah barat Amparan Jati (kini di Desa Kalangenan, Kecamatan Paliaman, Cirebon), di timur berbatasan dengan Japura, Singapura, dan Surantaka; di selatan dengan Rajagaluh; di barat dengan Sumedang Larang. Diperkirakan, Wanagiri ini merupakan pusat/ibukota Nagari Wanagiri Besar atau Indraprahasta. Wanagiri dipimpin oleh Ki Gedeng Kasmaya, kakak Ki Gedeng Surawijaya dan saudara Prabu Anggalarang, dan juga mertua Ki Gedeng Tapa.
Nagari ini terletak 17 km sebelah barat Amparan Jati (kini di Desa Kalangenan, Kecamatan Paliaman, Cirebon), di timur berbatasan dengan Japura, Singapura, dan Surantaka; di selatan dengan Rajagaluh; di barat dengan Sumedang Larang. Diperkirakan, Wanagiri ini merupakan pusat/ibukota Nagari Wanagiri Besar atau Indraprahasta. Wanagiri dipimpin oleh Ki Gedeng Kasmaya, kakak Ki Gedeng Surawijaya dan saudara Prabu Anggalarang, dan juga mertua Ki Gedeng Tapa.
2. Surantaka
Nagari ini terletak 4 km di utara Giri Amparan Jati (makam Sunan Gunung Jati) dan Muara Jati. Nagari ini dikuasai oleh syahbandar bernama Ki Gedeng Sedhang (Sindang) Kasih yang juga bertanggung jawab atas pelabuhan Muara Jati. Ki Gedeng Sedhang Kasih merupakan saudara Prabu Anggalarang Raja Galuh (nama ini dapat disamakan dengan Rahiyang Dewa Niskala yang tertera pada Prasasti Batu Tulis di Bogor).
Nagari ini terletak 4 km di utara Giri Amparan Jati (makam Sunan Gunung Jati) dan Muara Jati. Nagari ini dikuasai oleh syahbandar bernama Ki Gedeng Sedhang (Sindang) Kasih yang juga bertanggung jawab atas pelabuhan Muara Jati. Ki Gedeng Sedhang Kasih merupakan saudara Prabu Anggalarang Raja Galuh (nama ini dapat disamakan dengan Rahiyang Dewa Niskala yang tertera pada Prasasti Batu Tulis di Bogor).
3. Singapura
Nagari ini terletak 4 km di utara Giri Amparan Jati, berbatasan dengan Surantaka; di barat dengan Wanagiri; di selatan-timur dengan Japura, di timur dengan Laut Jawa. Nagari ini dikuasai oleh Ki Gedeng Surawijaya Sakti, saudara Ki Gedeng Sedhang Kasih. Yang mangkubuminya adalah Ki Gedeng Tapa. Sepeninggal Ki Gedeng Sedhang Kasih, kekuasaan pelabuhan Muara Jati masuk ke dalam wilayah Singapura. Pada waktu inilah, Ki Gedeng Surawijaya mengangkat Ki Gedeng Tapa menjadi Syahbandar Pelabuhan Muara Jati.
Nagari ini terletak 4 km di utara Giri Amparan Jati, berbatasan dengan Surantaka; di barat dengan Wanagiri; di selatan-timur dengan Japura, di timur dengan Laut Jawa. Nagari ini dikuasai oleh Ki Gedeng Surawijaya Sakti, saudara Ki Gedeng Sedhang Kasih. Yang mangkubuminya adalah Ki Gedeng Tapa. Sepeninggal Ki Gedeng Sedhang Kasih, kekuasaan pelabuhan Muara Jati masuk ke dalam wilayah Singapura. Pada waktu inilah, Ki Gedeng Surawijaya mengangkat Ki Gedeng Tapa menjadi Syahbandar Pelabuhan Muara Jati.
4. Japura
Nagari ini terletak 17 km sebelah tenggara Giri Amparan (hingga kini ada desa dan kecamatan bernama Astana Japura di Cirebon), penguasanya bernama Amuk Murugul. Pada tahun 1422 terjadi peperangan antara Japura melawan Singapura pimpinan Raden Pamanah Rasa. Serangan ini mungin dilancarkan pihak Singapura karena melihat Nagari Japura yang merupakan negeri pesisir yang ramai dikunjungi perahu-perahu asing, yang jelas dapat membahayakan perekonomian Galuh. Japura oun kalah, kemudian nagari ini bergabung dengan Singapura. Tak jelas siapa orang yang ditugasi menjadi penguasa Japura setelah kalah oleh Singapura, apakah Pamanah Rasa atau orang lain yang ditunjuk oleh Prabu Anggalarang, penguasa Galuh sekaligus ayah Pamanah Rasa.
Nagari ini terletak 17 km sebelah tenggara Giri Amparan (hingga kini ada desa dan kecamatan bernama Astana Japura di Cirebon), penguasanya bernama Amuk Murugul. Pada tahun 1422 terjadi peperangan antara Japura melawan Singapura pimpinan Raden Pamanah Rasa. Serangan ini mungin dilancarkan pihak Singapura karena melihat Nagari Japura yang merupakan negeri pesisir yang ramai dikunjungi perahu-perahu asing, yang jelas dapat membahayakan perekonomian Galuh. Japura oun kalah, kemudian nagari ini bergabung dengan Singapura. Tak jelas siapa orang yang ditugasi menjadi penguasa Japura setelah kalah oleh Singapura, apakah Pamanah Rasa atau orang lain yang ditunjuk oleh Prabu Anggalarang, penguasa Galuh sekaligus ayah Pamanah Rasa.
5. Talaga
Nagari ini terletak sekitar 70 km sebelah barat Amparan Jati, di lereng barat Gunung Cireme (sekarang termasuk Kecamatan Talaga, Majalengka); jadi lumayan jauh dari pelabuhan Muara Jati. Di sebelah utara, Talaga berbatasan dengan Rajagaluh, dibaratdaya dengan Sumedang Larang, di selatan dengan Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Menurut cerita rakyat, para penguasa Talaga masih merupakan kerabat raja-raja Galuh. Pada masa Sunan Gunung Jati, penguasa Talaga adalah Prabu Pucukumum yang kemudian menjadi resi dan menyerahkan Talaga kepada Susuhunan tersebut.
Nagari ini terletak sekitar 70 km sebelah barat Amparan Jati, di lereng barat Gunung Cireme (sekarang termasuk Kecamatan Talaga, Majalengka); jadi lumayan jauh dari pelabuhan Muara Jati. Di sebelah utara, Talaga berbatasan dengan Rajagaluh, dibaratdaya dengan Sumedang Larang, di selatan dengan Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Menurut cerita rakyat, para penguasa Talaga masih merupakan kerabat raja-raja Galuh. Pada masa Sunan Gunung Jati, penguasa Talaga adalah Prabu Pucukumum yang kemudian menjadi resi dan menyerahkan Talaga kepada Susuhunan tersebut.
6. Rajagaluh
Nagari ini terletak sekiatr 30 km di barat Amparan Jati, di lereng utara Gunung Cireme, jejaknya dapat dilihat pada sebuah desa dan kecamatan bernama Rajagaluh di Kab. Majalengka. Di selatan, Rajagaluh berbatasan dengan Talaga, di barat dengan Sumedang Larang, di timur Caruban Girang, di utara dengan Wanagiri; jadi letaknya cukup jauh dari Laut Jawa.
Nagari ini terletak sekiatr 30 km di barat Amparan Jati, di lereng utara Gunung Cireme, jejaknya dapat dilihat pada sebuah desa dan kecamatan bernama Rajagaluh di Kab. Majalengka. Di selatan, Rajagaluh berbatasan dengan Talaga, di barat dengan Sumedang Larang, di timur Caruban Girang, di utara dengan Wanagiri; jadi letaknya cukup jauh dari Laut Jawa.
Murid Syekh Hasanudin di Pesantren Quro, Karawang
Ayah Subang Larang adalah Ki Gedeng Tapa, mangkubumi di Singapura. Nagari Singapura merupakan pecahan Nagari Wanagiri Besar yang dirajai Prabu Indraprahasta, termasuk kekuasaan Galuh. Ibunya bernama Nhay Ratu Karanjang, putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang. Oleh penguasa Surantaka Ki Gedeng Surawijaya Sakti, Ki Gedeng Tapa alias Ki Gedeng Juman Janti diangkat menjadi syahbandar pelabuhan Muara Jati.
Ayah Subang Larang adalah Ki Gedeng Tapa, mangkubumi di Singapura. Nagari Singapura merupakan pecahan Nagari Wanagiri Besar yang dirajai Prabu Indraprahasta, termasuk kekuasaan Galuh. Ibunya bernama Nhay Ratu Karanjang, putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang. Oleh penguasa Surantaka Ki Gedeng Surawijaya Sakti, Ki Gedeng Tapa alias Ki Gedeng Juman Janti diangkat menjadi syahbandar pelabuhan Muara Jati.
Syahdan,
pada 1415 M, datanglah rombongan armada Cina yang dipimpin Laksamana
Zheng He (Cheng Ho) dan Kun Wei Ping tiba di Muara Jati dalam jumlah
prajurit 27 ribu dengan kapal-kapal yang sangat besar sebanyak 63.
Mereka singgah di Muara Jati karena hendak membeli perbelakan untuk
melanjutkan perjalanan “muhibah”-nya ke Majapahit. Di sinilah, Ma Huan,
sekretaris Zheng He, menikah dengan Nhay Rara Ruda, saudara Ki Gedeng
Tapa. Singapura ketika itu dipimpin oleh Ki Gedeng Surawijaya Sakti,
saudara Ki Gedeng Sindang Kasih. Ada pun kakak Ki Gedeng Surawijaya,
yakni Ki Gedeng Kasmaya adalah penguasa Nagari Wanagiri yang mertua Ki
Gedeng Tapa dan kakek Subang Larang. Di Muara Jati ini, Ma Huan memunyai
nama batu, Ki Dampu Awang.
Pada
1416, Nhay Subang Larang yang berusia 12 tahun, bersama Ki Dampu Awang,
Nhay Rara Ruda (istri Dampu Awang, saudara Ki Gedeng Tapa), dan Nhay
Aci Putih (putri Dampu Awang-Rara Ruda) pergi berlayar ke Malaka. Mereka
berada di Malaka selama 2 tahun, lalu kembali ke Muara Jati tahun 1418.
Bertepatan
dengan kedatangan Subang Larang, pada 1418, tiba pula seorang ulama
Islam bernama Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidik yang menumpang perahu
dagang dari Campa (kini termasuk wilayah Vietnam dan sebagian Kamboja).
Syekh Hasanuddin pun kemudian akrab dengan Ki Gedeng Tapa, syahbandar
Muara Jati. Mungkin, saat inilah Ki Gedeng Tapa memutuskan untuk memeluk
Islam.
Kegiatan
penyebaran Islam oleh Syekh Hasanuddin sangat mencemaskan penguasa
Galuh (di Kawali, Ciamis) yakni Prabu Angga Larang alias Prabu Dewata
Niskala, putra Niskala Wastukancana, cucu Prabu Linggabhuwana yang gugur
di Bubat. Sang Prabu diminta agar penyebaran agama tersebut dihentikan.
Oleh Syekh Hasanuddin perintah itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang
kepadanya ia mengingatkan, bahwa meski dakwah itu dilarang, namun kelak
keturunan Prabu Angga Larang akan ada yang menjadi seorang waliyullah.
Kemudian Syekh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa untuk pergi
ke Karawang. Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa cukup prihatin atas
peristiwa yang menimpa ulama besar itu, sebab ia pun sebenarnya masih
ingin menambah pengetahuannya tentang Islam. Oleh karena itu, sewaktu
Syekh Hasanuddin hendak ke Karawang, putrinya Subang Larang dititipkan
ikut bersama ulama besar ini untuk belajar Islam di Malaka.
Perjalanan
pun dimulai. Setelah memasuki Laut Jawa, kemudian rombongan memasuki
muara Sungai Citarum yang ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang
memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Sungai Citarum akhirnya
rombongan perahu singgah di Pura Dalem di Pelabuhan Karawang. Kedatangan
rombongan ulama besar ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang
dan diizinkan untuk mendirikan musola untuk belajar mengaji dan tempat
tinggal. Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi, menamai pesantren
yang terletak di Pura, Desa Talagasari, Karawang, tersebut sebagai
Pesantren Quro—maka itu ia lebih dikenal dengan nama Syekh Quro. Subang
Larang belajar di situ selama dua tahun. Tahun 1420 ia kembali ke
kampung halamannya di Singapura.
Pada
tahun 1420 ini pun, datang seorang ulama dari Baghdad bernama Syekh
Datik Kahfi alias Syekh Idofi bersama pengiringnya yang berjumlah 12
orang, yang terdiri atas 10 pria, 2 wanita. Syekh ini pun lalu berteman
baik dengan Ki Gedeng Tapa. Permintaan Syekh Datuk Kahfi untuk menetap
di Pasambangan yang terletak dekat Muara Jati, direstui oleh Ki Gedeng
Tapa. Di tahun selanjutnya, Syekh Datuk Kahfi memiliki nama lain, yaitu
Syekh Nurul Jati. Ia menetap di sini hingga akhir hayatnya dan
dimakamkan di Giri Amparan Jati atau Gunung Jati.
Menikah dengan Raden Pamanah RasaBerita
tentang dakwah Syeh Hasanuddin di pelabuhan Karawang rupanya terdengar
kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro
melakukan kegiatan yang sama di pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Sang
Prabu segera mengirimkan utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota
yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro.
Tatkala Pamanah Rasa tiba di tempat tujuan, ia disuruh oleh Syekh Quro
untuk pergi ke Singapura menemui Ki Gedeng Tapa.
Tiba
di Singapura pada 1422, Pamanah Rasa mendengar ada sayembara yang
diselenggarakan di Nagari Surantaka. Hadiahnya: seorang gadis bernama
Subang Larang yang konon cantik. Singkat cerita, sayembara dimenangkan
Pamanah Rasa. Maka terjadilan pernikahan berbeda agama ini. Konon,
pernikahannya dilaksanakan di Pesantren Quro (kini Mesjid Agung) di mana
Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulu. Pada tahun yang sama,
Pamanah Rasa pun berhasil mengalahkan Raja Amuk Murugul dari Japura.
Namun tak diketahui, peristiwa mana dulu yang terjadi, apakah sayembara
Subang Larang atau perang melawan Amuk Murugul.
Besar
kemungkinan, setelah menikah, Subang Larang diboyong ke istana Galuh
oleh Pamanah rasa. Baru, setelah Pamanah Rasa dilantik menjadi Raja
Pajajaran di Pakuan bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan
Pajajaran Ratu Dewata (tertulis pada Prasasti Batu Tulis), menggantikan
uwaknya sekaligus mertuanya, Susuk Tunggal, pada 1447 M, maka Subang
Larang pun menetap di Pakuan, bersama istri-istri Sang Prabu yang lain.
Selain
beristri Subang Larang, Raden Pamanah Rasa menikahi pula Nhay Ambet
Kasih (Ngabetkasih), putri Ki Gedeng Sedhang Kasih. Jadi, Ambet Kasih
merupakan sepupu Subang Larang sendiri. Pernikahan ini membuat Ki Gedeng
Sedhang Kasih—yang juga paman Pamanah Rasa—memberikan daerah Sindang
Kasih (sekarang termasuk Kecamatan Beber, Cirebon) kepada Raden Pamanah
Rasa. Sindang Kasih ini terletak 15 km arah selatan dari Surantaka.
Kemungkinan besar, Nagari Surantaka disatukan ke dalam wilayah Singapura
oleh Pamanah Rasa.
Menurut
CPCN, Prabu Siliwangi memiliki istri lain bernama Nyai Aciputih, putri
Ki Dampu Awang. Yang menjadi permaisuri Sri Baduga adalah Kentring Manik
Mayangsunda, keponakannya sendiri, putri Susuktunggal. Pernikahannya
dengan Kentring Manik membuahkan putra bernama Surawisesa.
Leluhur Raja-raja Cirebon dan Banten
Pasangan Sri Baduga – Subang Larang memiliki tiga orang anak, yakni Walangsungsang, Lara Santang, dan Raden Sengara. Diperkirakan, ketika putra-putri telah berusia di atas 17 tahun, Subang Larang meninggal dunia. Tak jelas kapan tahun wafatnya dan di mana ia dikuburkan. Sementara itu, sang suami yakni Prabu Siliwangi masih hidup.
Pasangan Sri Baduga – Subang Larang memiliki tiga orang anak, yakni Walangsungsang, Lara Santang, dan Raden Sengara. Diperkirakan, ketika putra-putri telah berusia di atas 17 tahun, Subang Larang meninggal dunia. Tak jelas kapan tahun wafatnya dan di mana ia dikuburkan. Sementara itu, sang suami yakni Prabu Siliwangi masih hidup.
Setahun
setelah ibunya wafat, Walangsungsang pergi meninggalkan keraton Pakuan,
disusul adiknya, Lara Santang. Dalam perjalanan, Walangsungsang singgah
di rumah Ki Gedeng Danuwarsih, seorang pendeta Buddha. Di sini ia
menikah dengan putri Danuwarsih bernama Nhay Endang Geulis. Lara Santang
pun tiba di rumah pendeta ini. Setelah itu, Walangsungsang, istrinya,
dan Lara Santang pergi menuju Singapura dan berguru kepada Syekh Datuk
Kahfi di Pesantren Pasambangan selama 3 tahun. Oleh Syekh ini,
Walangsungsang diberi nama baru: Ki Samadullah. Oleh gurunya tersebut,
Walangsungsang disuruh membuka lahan baru di Kebon Pesisir. Setelah itu,
daerah tersebut bernama Tegal Alang-alang, 6 km timur Pasambangan. Di
Tegal Alang-alang ini telah ada pula penguasanya bernama Ki Danusela
alias Ki Gedeng Alang-alang, adik Ki Gedeng Danuwarsih. Di tempat ini
Walangsungsang diangkat sebagai Pangraksabumi oleh Ki Danusela dan
bergelar Ki Cakrabumi. Tak lama kemudian, ia dan adiknya, Lara Santang
disuruh pergi ke Mekah, sementara istrinya tak ikut karena hamil.
Di
Tanah Arab, Lara Santang kemudian menikah dengan Maulana Sultan
Muhammad (Syarif Abdullah), seorang bangsawan Arab yang berada di
wilayah kekuasaan Sultan Mesir. Pernikahan ini melahirkan dua anak
lelaki bernama Syarif Hidayat (Hidayatullah) dan Syarif Nurullah. Lara
Santang pun memiliki nama baru, yaitu Syarifah Mudain. Di sini
Walangsungsang punya nama muslim, Haji Abdullah Iman. Tiba bulan
menunaikan haji, Walangsungsang sendiri pulang ke Jawa. Sementara Lara
Santang diam di Arab.
Tiba
di Jawa—setelah sebelumnya menetap di Campa—Walangsungsang membangun
masjid kecil tahun 1456. Ia lalu diangkat menjadi Kuwu Caruban II,
menggantikan Ki Danusela Kuwu Caruban I. Putri Ki Danusela bernama Nhay
Rena Riris pun dinikahinya. Di sini Raden Walangsungsang memiliki gelar
baru: Pangeran Cakrabuana.
Mendengar
anaknya telah kembali dan memiliki kekuasaan di Caruban yang berhasil
menggantikan posisi Singapura, Prabu Siliwangi mengirim utusan yakni
Tumenggung Jagabaya serta Raden Sengara, adik Walangsungsang. Oleh Sang
Prabu, Walangsungsang diberi gelar Pangeran Sri Mangana sekitar tahun
1460. Jelas, sang ayah tak keberatan dengan adanya nagari baru bernama
Caruban Larang. Asal saja, Cakrabuana tetap harus mengirimkan upeti ke
Pajajaran, dan tetap merupakan bawahan Galuh. Raden Sengara sendiri
akhirnya tak kembali ke istana, sebaliknya ikut menetap di Caruban, dan
menikah dengah Nhay Halimah asal Campa dan ikut masuk Islam.
Syahdan,
putra sulung Lara Santang, yakni Syarif Hidayatullah, meninggalkan
Timur Tengah untuk pulang ke Jawa. Ia menolak untuk menggantikan ayanya
sebagai sultan, karena ini menjadi mubalig di Jawa, kampung halaman
ibunya. Sebelum tiba di Cirebon, ia singgah dulu di Gujarat (India),
Samudra Pasai di Sumatra, Banten, dan Ampel Gading di Jawa bagian timur.
Atas hasil sidang para Wali Sanga, maka diputuskan agar menetap di
Cirebon guna islamisasi.
Tibalah
Hidayatullah di Muara Jati/Pasambangan pada tahun 1475. Di sini ia,
yang usianya sekitar 27 tahun, mengunjungi Pangeran Cakrabuana, uwaknya.
menggantikan Cakrabuana dan marak menjadi penguasa Cirebon Girang. Di
sini ia mendirikan pesantren di Dukuh Sembung dan Kampung Babadan. Di
Babadan ia menikah dengan Nhay Babadan, putri Ki Gedeng Babadan. Raden
Sengara pun dikenal sebagai Kian Santang. Lalu Syarif Hidayat diutus
untuk pergi ke Banten kembali. Penguasa Banten, Bupati Kawunganten
tertarik akan dakwah Islam Syarif Hidayat, lalu memeluk Islam. Adiknya,
Nhay Kawunganten pun dinikahkan dengan Syarif Hidayat. Pernikahan ini
membuahkan dua orang anak: Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin.
Tahun
1479, ia kembali ke Caruban, dan kemudian menggantikan Pangeran
Cakrabuana yang telah tua dan sakit-sakitan. Kebetulan uwaknya ini tak
punya keturunan laki-laki, maka jadilah Syarif Hidayat menjadi penguasa
Nagari Caruban. Ia pun bergelar Tumenggung Susuhunan Jati. Selain itu,
Syarif Hidayatullah punya gelar-gelar lain: Sayid Kamil, Nuruddin
Ibrahim, Syekh Maulana Jati, dan Susuhunan Jati Purba. Pustaka Nagara
Kretabhumi menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang, bulan
Caitra, tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti
yang seharusnya dibawa setiap tahun ke Pakuan.
Kemudian
ada berita: pasukan Angkatan Laut Demak telah ditempatkan di Pelabuhan
Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari
Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana.
Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang
jumlahnya lebih besar. Akhirnya Jagabaya menyerah dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera
disiapkan untuk menyerang Cirebon. Namun, pengiriman pasukan itu dapat
dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) Keraton, Ki Purwa Galih.
Perang saudara pun akhirnya dapat dicegah.
Persekutuan
Demak-Cirebon sangat mencemaskan pikiran Sri Baduga di Pakuan. Mungkin
pula, kepindahan ibukota dari Kawali (Galuh) ke Pakuan atas pertimbangan
bahwa Kawali yang dekat dengan Cirebon (yang telah dikuasai Demak sejak
1475) merupakan target Demak berikutnya untuk menguasai Jawa Barat.
Mengingat wilayah Sunda belum tumbuh menjadi potensi politik Islam yang
nyata, Sri Baduga memusatkan perhatiannya terhadap Selat Sunda sambil
mendekati pihak Portugis di Malaka. Maka, pada tahun 1512 dan 1521, ia
mengirimkan misi datang dan persahabatan kepada Panglima Portugis,
Alfonso d’Albuquerque, di Malaka, yang ketika itu baru saja merebut
Samudra Pasai. Dengan dikuasainya Selat Sunda oleh Pajajaran dan Selat
Malaka oleh Portugis, bagi Demak sangat sukar untuk menguasai perairan
di Nusantara. Bagi pihak Demak, jelas upaya Pajajaran ini meresahkan
mereka.
Menurut
Carita Parahyangan, Sri Baduga Maharaja wafat pada 1521 setelah
memerintah selama 39 tahun. Ia dipusarakan di Rancamaya, maka itu
disebut secara Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya. Rancamaya
terletak kira-kira 7 km di sebelah tenggara Kota Bogor, di mana Sri
Baduga pernah membuat hutan buatan dan telaga. Setelah itu yang menjadi
raja di Pakuan adalah Surawisesa. Pada masa inilah, Pajajaran banyak
kehilangan wilayah kekuasaannya. Dua pelabuhannya berturut-turut jatuh
ke pihak Demak-Cirebon-Banten; tahun 1526 pelabuhan Banten, tahun 1527
Sunda Kalapa. Pada tahun berikutnya, 1528, peperangan bergeser ke arah
timur, di Rajagaluh, Majalengka. Tahun 1530, terjadi peperangan di
Talaga, daerah di mana salah seorang istri Surawisesa berasal. Sementara
Cirebon melanjutkan serangannya dari Talaga menuju jantung ibukota
Galuh dan Galunggung.
Setelah
Surawisesa mangkat, berturut-turut raja di Pakuan silih berganti, dari
Ratu Dewata, Ratu Saksi, hingga Prabu Nilakendra. Pada masa Nilakendra,
serangan ke Pakuan pun dilancarkan oleh pihak Banten pimpinan Panembahan
Hasanuddin alias Pangeran Sabakingkin yang diangkat menjadi sultan
Banten tahun 1552 oleh ayahnya, Syarif Hidayatullah. Pada masa
selanjutnya, yang memerintah Pajajaran adalah Ratu Ragamulya alias
Suryakancana, di mana ia tak lagi diam di Pakuan melainkan di tempat
pelarian di Pulasari, Pandeglang. Pada era inilah di tahun 1579, Pakuan
berhasil dimasuki tentara Banten pimpinan Panembahan Maulana Yusuf,
meski istananya tetap tak bisa dijebol karena telah diperkuat dengan
parit-parit yang cukup terjal oleh Sri Baduga dulu.
Pihak
Banten yang merasa berhak atas wilayah Pajajaran segara membawa
palangka (singgasana) Sriman Sriwacana ke Surosowan, ibukota Kesultanan
Banten. Sriman Sriwacana, tempat duduk untuk penobatan takhta ini, ini
berukuran 200 x 160 x 20 cm; oleh orang Banten disebut Watu Gilang (batu
mengkilat). Pemboyongan palangka ke Banten ini bertujuan agar di Pakuan
tidak ada lagi penobatan raja baru. Dengan begitu, Maulana Yusuf berhak
mengklaim sebagai penerus Pajajaran. Palangka Sriman Sriwacana ini bisa
ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten.
Ketika
Pajajaran ini runtuh pada 1579, menurut Kitab Waruga Jagat, saat itulah
wilayah Sumedang Larang pun menyatakan sebagai negara “penerus
Pajajaran” dengan Prabu Geusan Ulun sebagai raja pertamanya. Besar
kemungkinan, banyak penghuni Pakuan yang pindah ke Sumedang; dan
sebagian lagi bermigrasi ke Banten mengikuti kepemimpinan Sultan Banten.
Diperkirakan, banyak pengikut dan punggawa Pajajaran yang pergi dan
menetap di daerah Lebak, yang menerapkan tata cara kehidupan tradisional
yang cukup ketat, dan dikenal sebagai orang Baduy.
Keruntuhan
Pajajaran ini ternyata, salah satunya, disebabkan oleh rongrongan
mereka yang masih keturunan raja Pajajaran sendiri. Cirebon dan Banten,
dua kerajaan baru dengan ideologi baru, yakni Islam, telah berhasil
mengambil alih kekuasaan politik Sunda-Pajajaran; dan orang yang paling
berperan dalam hal ini adalah Syarif Hidayatullah, cucu Prabu
Siliwangi-Subang Larang, sekaligus pendiri pondasi Kesultanan Cirebon
dan Banten.
Mengenai
kisah Prabu Siliwangi, banyak cerita yang beredar. Menurut sebuah
legenda, konon Prabu Siliwangi pergi meninggalkan keraton Pakuan lalu
menuju ke Hutan Sancang di selatan Garut, setelah dikejar-kejar putranya
sendiri yakni Kian Santang agar masuk Islam. Sang Prabu yang enggan
masuk Islam, disertai sejumlah pengikut setianya, pantang berseteru
dengan putranya sendiri dikarenakan hanya masalah keyakinan. Untuk
menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Prabu Siliwangi berubah wujud
(ngahiyang) menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjadi
harimau loreng.
Kritik
Apa yang diberitakan CPCN tentang Nhay Subang Larang tentu tak dapat dikatakan seratus persen akurat. Alasan pertama, karena kitab tersebut ditulis hampir dua abad setelah Subang Larang tiada. Kedua, kitab-kitab yang ditulis sezaman dengan Subang Larang, misalnya Carita Parahyangan, tak menyebut-nyebut nama Subang Larang. Pun kitab-kitab sesudahnya, seperti Carita Ratu Pakuan, tak membahas keberadaan Subang Larang ini. Ketiga, ada versi-versi yang berbeda mengenai kisah perjalanan Subang Larang—meski perbedaannya tak mencolok. Ada yang mengatakan bahwa Raden Pamanah Rasa pertama melihat Subang Larang ketika putri Ki Gedeng Tapa ini tengah mengaji Al Qur’an di Pesantren Quro. Karena langsung jatuh hati, Pamanah Rasa pun meminang sang putri, dan kemudian pernikahan dilakukan di pesantren milik Syekh Hasanuddin di Karawang tersebut. Ini berbeda dengan versi CPCN yang mengisahkan bahwa Pamanah Rasa memperisitri Subang Larang setelah berhasil memenangkan sayembara di Surantaka.
Apa yang diberitakan CPCN tentang Nhay Subang Larang tentu tak dapat dikatakan seratus persen akurat. Alasan pertama, karena kitab tersebut ditulis hampir dua abad setelah Subang Larang tiada. Kedua, kitab-kitab yang ditulis sezaman dengan Subang Larang, misalnya Carita Parahyangan, tak menyebut-nyebut nama Subang Larang. Pun kitab-kitab sesudahnya, seperti Carita Ratu Pakuan, tak membahas keberadaan Subang Larang ini. Ketiga, ada versi-versi yang berbeda mengenai kisah perjalanan Subang Larang—meski perbedaannya tak mencolok. Ada yang mengatakan bahwa Raden Pamanah Rasa pertama melihat Subang Larang ketika putri Ki Gedeng Tapa ini tengah mengaji Al Qur’an di Pesantren Quro. Karena langsung jatuh hati, Pamanah Rasa pun meminang sang putri, dan kemudian pernikahan dilakukan di pesantren milik Syekh Hasanuddin di Karawang tersebut. Ini berbeda dengan versi CPCN yang mengisahkan bahwa Pamanah Rasa memperisitri Subang Larang setelah berhasil memenangkan sayembara di Surantaka.
Namun,
sebagai sosok historis, keberadaan Nhay Subang Larang cukup penting
dalam perjalanan sejarah sosial, relegi, dan politik di Tatar Sunda di
kemudian hari. Kejayaan Pajajaran diganti oleh kehadiran Kesultanan
Cirebon dan Banten, di mana sosok Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung
Jati, cucu Subang Larang, merupakan tokoh kunci dari segala perubahan
yang terjadi di Jawa bagian barat, yang dimulai pada abad ke-15, hingga
kini.
Sumber Bacaan:
Atja dan Edi S. Ekadjati. 1987. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara I.1: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sunardjo, Unang, R.H. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito.
Atja dan Edi S. Ekadjati. 1987. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara I.1: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sunardjo, Unang, R.H. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito.
0 komentar:
Posting Komentar