Review Buku “Peradaban Atlantis Nusantara” di Good Reads
Kenyataan bahwa sebuah peradaban besar pernah mengambil tempat di
bumi Nusantara kini bukan hanya cerita belaka. Berbagai penemuan
spektakuler dan mencengangkan terbaru, diungkap dalam buku ini.
Penulisnya adalah orang Indonesia, dan pembahasannya pun dikaitkan
dengan beberapa teks yang termuat pada Kitab Suci. Sehingga siapa pun
yang membacanya dapat mengambil manfaat besar dari berbagai sudut
pandang. Sangat Lengkap, dan sesuatu yang direkomendasikan untuk dibaca.
Ditemukan:
• Piramida di Jawa Barat yang lebih besar dari piramida Mesir
• Situs Gunung Padang di Cianjur
• Situs Batujaya di Kerawang-Bekasi
• Situs Pasemah di Pagar Alam, Sumatra
• Relief-relief di Candi Penataran, Blitar.
• Berbagai situs purba yang belum tereksplor, dll
• Situs Gunung Padang di Cianjur
• Situs Batujaya di Kerawang-Bekasi
• Situs Pasemah di Pagar Alam, Sumatra
• Relief-relief di Candi Penataran, Blitar.
• Berbagai situs purba yang belum tereksplor, dll
Paperback, 560 pages
Published by Ufuk Press
ISBN : 6029159305 (ISBN13: 9786029159301)
edition language: Indonesian
original title : Peradaban Atlantis Nusantara, Paperback, 560 pages, Oct 18, 2011
Review Buku: Peradaban Atlantis Nusantara
Penemuan spektakuler dua sarjana terkemuka dunia: Prof.Dr. Aryisio Nunes des Santos dan Prof.Dr.Stephen
Oppenheimer terhadap bukti-bukti faktual sejarah besar Nusantara kuno
tentu saja sudah kontroversial dan mengguncangkan kemapanan dominasi
paradigma ilmu pengetahuan Barat moderen saat ini. Melalui ketekunan dan
kegigihan penelitian mereka berdua –walau masing-masing menggunakan
pendekatan interdisipliner dan fokus penelitian yang berbeda– ditemukan
fakta bahwa tanah Nusantara adalah tanah kelahiran Induk Peradaban besar
dunia.
Santos dengan bukunya “Atlantis, The
Lost Continent Has Finaly Found, The Definitive Localization of Platos’s
Lost Civilization” yang dalam edisi terjemahan Indonesianya bertajuk:
“Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peadaban Dunia”. Sedangkan Oppenheimer
dengan bukunya: “Eden in The East, Benua Tenggelam di Asia Tenggara”
dengan fokus utama pada hasil penelitian penelusuran jejak genetika umat
manusia, akhirnya menyimpulkan bahwa Indonesia atau tepatnya Nusantara
adalah lokasi Tanah Surga-nya Nabi Adam dan Siti Hawa, Bapak dan Ibu
Agung Umat manusia se-dunia, serta habitat tempat persemaian peradaban,
budaya dan ilmu pengetahuan awal umat manusia cerdas yang menjadi lahan
garapan para Nabi Allah SWT.
Namun demikian kedua hasil penelitian
para profesor tersebut terasa belum lengkap dan komprehensif karena
belum menyertakan sumber-sumber dan data mutakhir dari khazanah
pemikiran filsafat dan agama, khususnya sejarah filsafat Islam dan
pendekatan mistisisme atau ilmu Tasawuf (Irfan/islamic Mysticism)
sebagai sebuah disiplin ilmu dan kajian interdisipliner bidang kearifan
lokal dan sejarah Nusantara dari anak-anak warga pribumi Nusantara itu
sendiri. Nah, pada dimensi yang terakhir inilah buku karya Ahmad Y.
Samantho ini mengambil peran dan posisi strategisnya dalam wacana dan
upaya penelitian lanjutan terhadap “Misteri Sejarah Agung Peradaban Kuno
Nusantara”.
Lebih dari itu, dari kajian yang
dilakukan Samantho dalam buku ini, ditemukan warisan Peradabaan Agung
dan Luhur Nusantara yang sangat berharga dan bernilai tinggi, yaitu
kearifan filsafat dan kebijaksanaan abadi dan universal (Perennial
Wisdom) berupa “Kesadaran dan Ajaran Ketuhanan-Kemanusiaan” yang abadi,
lintas peradaban-budaya bangsa-bangsa, lintas zaman dan tradisi-tradisi
agama-agama.Inilah signiikansi pentingnya buku PERADABAN ATLANTIS
NUSANTARA, yang menyingkap Hikmah di balik dilema ANTARA MITOS DAN
REALITAS yang berada di alamnya.
Sekali lagi buku ini dengan jelas telah
mengupas secara kritis kelemahan dan kegalatan atau kerancuan serta
kegagalan dominasi paradigma sains (ilmu pengetahuan) Barat Modern yang
masih kental dengan Modernisme-nya yang sekular-materalistis dan
“bermata sebelah” dalam memandang dan mengungkap Realitas Mutlak
Ketuhanan dan manifestasi-Nya dalam Sejarah Induk Peradaban Umat Manusia.Buku
ini juga mengungkap kecenderungan kontroversial berbagai sarjana dan
pemikir dunia Barat yang kini telah berpaling dan berupaya menengok
kembali kepada Nilai-nilai dan Tradisi Luhur Ilmu Pengetahuan dan
Kearifan Timur sebagai suatu “Jalan Alternatif” dalam menyongsong “Fajar
Kebangkitan Spiritual Dunia Baru” di Milenium ketiga di Timur.
Hal ini diyakini sebagai solusi terbaik
untuk menanggulangi krisis multidimensional global umat manusia saat
ini, melalui jalan kembali ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan-Perwakilan, serta Keadilan Sosial,
berdasarkan kesadaran penuh dan kearifan “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hanna Dharma Mangrwa” (“Keaneka-ragaman dalam Kesatuan ‘sumber dan Tempat Kembali’, dan Tiada Kebenaran yang Mendua”).
Tentu saja apa yang dibahas dalam buku
ini masih harus ditindaklanjuti dengan berbagai penelitian
interdisipliner dari berbagai cabang ilmu pengetahuan dan metodologi,
karena masih banyak misteri yang belum terungkap dengan jelas. Salah
satunya, misalnya dengan diketemukannya beberapa bentang alam bukit atau
gunung berbentuk piramida di Nusantara, seperti bukit Lalakon,
Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, dan bukit Sadahurip, kabupaten
Garut, Jawa Barat, baru-baru ini. Juga berbagai penemuan situs-situs
bersejarah lainnya di berbagai penjuru Nusantara yang berusia ribuan
tahun seperti fosil hutan mangrove di kedalaman laut Jawa dan perairan
pantai selatan Kalimantan Selatan.
Sudah tentu, sejarah nasional Indonesia
harus ditulis dan disusun ulang kembali. Tulis ulang tersebut bukan
sekedar untuk penelitian dan pengembangan ilmu sejarah itu sendiri, tapi
demi kepentingan banyak aspek dan dimensi penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam maupun humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan), dan lain-lain aspek peradaban bangsa.Lebih
dari itu, pengungkapan sejarah peradaban Nusantara kuno, yang menurut
beberapa peneliti terkait dengan fakta sejarah Atlantis-Lemuria atau
negeri Eden in The East (Surga di Timurl) jelas sangatlah penting dalam
membangun kembali “National Character Buiding”. Yaitu,
membangun kembali jati diri dan watak bangsa, kebanggaan dan harga diri
sebagai sebuah bangsa besar dengan peradaban unggul dan mulia, yang
menjadi contoh dan prototype bagi semua peradaban besar lainnya di
dunia.
Kesadaran dan kebanggaan baru ini bukanlah untuk menjadikan kita
sombong dan takabur, melainkan untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa dengan cara giat dan tekun bekerja dan berbuat kebaikan bagi seluruh
alam semesta dan dunia. Bersyukur dengan giat dan tekun belajar dari
sejarah, agar dapat meneruskan semua kebaikan dan kemajuan leluhur
Nusantara, dan tidak lagi mengulangi berbagai kesalahan dan keburukan
mereka. Untuk kembali bersatu dengan alam, bersatu dengan penuh cinta
kasih dan tanggung jawab memelihara dan menjaga kelestariannya,
memanfaatkannya dengan penuh kearifan dan hikmah serta membagikannya
bagi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat dan bangsa dengan penuh
keadilan dan kemanusiaan. Terhindar dari keserakahan dan kerakusan
egois pribadi, keluarga dan kelompok sendiri yang dapat memecah belah
persatuan dan kesatuan bangsa dan NKRI karena itu akan merusak
sendi-sendi nilai keadilan, kemanusiaan dan ketuhanan.
Tentang buku ini, budayawan Indonesia terkemuka, Dr. Radhar Panca Dahana berkomentar: “Bahwa negeri kepulauan ini memiliki kejayaan sejak dulu, sebenarnya semakin terang dalam tahun-tahun belakangan ini. Bukan hanya melulu karena imajinasi dan ilusi sebagian dari kita, tapi juga karena fakta ilmiah yang berurutan membuktikannya. Sehingga kini tiadalah alasan bagi siapa pun untuk tidak mempercayai kemampuan, keberdayaan dan potensi luar biasa yang terpendam dalam diri kita, sebagai manusia, juga sebagai bangsa. Terlalu banyak alasan untuk meyakini: bahwa kita memiliki semua modal untuk menjadi besar. Buku Ahmad Samantho (dan Oman Abdurahman) ini menelisik dengan rajin dari mulai isyu, fakta, hingga opini tentang semua persoalan itu. Ia menyiapkan banyak alasan bagi siapa pun manusia Indonesia untuk meyakini dan mengembalikan kejayaan itu. Kecuali bagi mereka yang tidak mempercayai diri sendiri, lebih mempercayai pihak lain, mendustai, memanipulasi dan mengkhianati realitas historisnya ini. Semoga buku ini menjadi obat bagi mereka.”
Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang pernah menyarankan agar tema tentang Atlantis di nusantara ini agar dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, berkomentar: “Saya bersyukur bahwa melalui buku ini saudara Ahmad Samantho turut memperkenalkan teori Profesor Santos mengenai benua “Atlantis Indonesia” kepada khalayak pembaca yang semakin luas. Kadang-kadang, sejarah memang bukan hanya soal salah dan benar. Untuk mendorong impian warga bangsa menuju masa depan, kita memerlukan kesadaran sejarah tentang kebesaran-kebesaran masa lalu, makin jauh kita menghargai masa lalu, makin terbuka peluang dan tantangan bagi kita untuk berusaha mewujudkan mimpi tentang masa depan. Hanya dengan kesediaan dan kemampuan menghargai masa lalu itulah, kita berhak untuk bermimpi untuk membangun peradaban bangsa kita di masa depan.”
Sementara, Dr. Ir. Cahyana Ahmad Jayadi, MH, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, menyatakan: “Mengenal dan memahami peradaban masa lalu bagi setiap bangsa, merupakan salah satu kunci keberhasilan membangun karakter bangsanya. Hanya bangsa yang memiliki karakter-lah yang bisa survive menghadapi tantangan zaman di era globalisasi hari ini dan esok. Oleh karena itu, penerbitan buku karya Kang Ahmad Samantho ini, merupakan salah satu iktiar menyediakan referensi tentang sebuah peradaban yang pernah hadir di wilayah Nusantara ini, di mana dengan memahami keunggulan dan kelemahan peradaban Atlantis, kita dapat jadikan modal dasar untuk mengembangkan peradaban maju berbasis keunggulan budaya dan karakter bangsa Indonesia, Insya-Allah, Amin.”
Prof.Dr. Abdul Hadi WM, budayawan, Sastrawan dan Penyair Sufi Nusantara yang juga dosen PMIAI Universitas Paramadina-ICAS Jakarta, mengungkapkan: “Buku ini mempunyai pandangan apokaliptik, sebagaimana beberapa buku lainnya. Dari pandangan apokaliptik itu kemudian dikembangkan menjadi pandangan sejarah. Di antara buku seperti ini, misalnya oleh Ibnu Khaldun, Hegel, Oswald Spengler dan Toynbee. Mengikuti jejak Ibn Khaldun dan Spengler, Toynbee melihat sejarah dalam perputaran musim. Suatu peradaban berkembang subur dan marak pada mula pertamanya, ibarat tetumbuhan di musim semi. Lalu datanglah musim panas, peradaban mulai kerontang. Kemudian disusul musim gugur, krisis dan kerontokan mulai mengancam peradaban, antara lain ini disebabkan oleh dekadensi moral dan dehumanisasi, sehingga akhirnya tiba masa kematiannya di musim dingin. Perputaran musim berikutnya terus bergulir, menanti fajar musim semi.”
Tentang buku ini, budayawan Indonesia terkemuka, Dr. Radhar Panca Dahana berkomentar: “Bahwa negeri kepulauan ini memiliki kejayaan sejak dulu, sebenarnya semakin terang dalam tahun-tahun belakangan ini. Bukan hanya melulu karena imajinasi dan ilusi sebagian dari kita, tapi juga karena fakta ilmiah yang berurutan membuktikannya. Sehingga kini tiadalah alasan bagi siapa pun untuk tidak mempercayai kemampuan, keberdayaan dan potensi luar biasa yang terpendam dalam diri kita, sebagai manusia, juga sebagai bangsa. Terlalu banyak alasan untuk meyakini: bahwa kita memiliki semua modal untuk menjadi besar. Buku Ahmad Samantho (dan Oman Abdurahman) ini menelisik dengan rajin dari mulai isyu, fakta, hingga opini tentang semua persoalan itu. Ia menyiapkan banyak alasan bagi siapa pun manusia Indonesia untuk meyakini dan mengembalikan kejayaan itu. Kecuali bagi mereka yang tidak mempercayai diri sendiri, lebih mempercayai pihak lain, mendustai, memanipulasi dan mengkhianati realitas historisnya ini. Semoga buku ini menjadi obat bagi mereka.”
Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang pernah menyarankan agar tema tentang Atlantis di nusantara ini agar dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, berkomentar: “Saya bersyukur bahwa melalui buku ini saudara Ahmad Samantho turut memperkenalkan teori Profesor Santos mengenai benua “Atlantis Indonesia” kepada khalayak pembaca yang semakin luas. Kadang-kadang, sejarah memang bukan hanya soal salah dan benar. Untuk mendorong impian warga bangsa menuju masa depan, kita memerlukan kesadaran sejarah tentang kebesaran-kebesaran masa lalu, makin jauh kita menghargai masa lalu, makin terbuka peluang dan tantangan bagi kita untuk berusaha mewujudkan mimpi tentang masa depan. Hanya dengan kesediaan dan kemampuan menghargai masa lalu itulah, kita berhak untuk bermimpi untuk membangun peradaban bangsa kita di masa depan.”
Sementara, Dr. Ir. Cahyana Ahmad Jayadi, MH, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, menyatakan: “Mengenal dan memahami peradaban masa lalu bagi setiap bangsa, merupakan salah satu kunci keberhasilan membangun karakter bangsanya. Hanya bangsa yang memiliki karakter-lah yang bisa survive menghadapi tantangan zaman di era globalisasi hari ini dan esok. Oleh karena itu, penerbitan buku karya Kang Ahmad Samantho ini, merupakan salah satu iktiar menyediakan referensi tentang sebuah peradaban yang pernah hadir di wilayah Nusantara ini, di mana dengan memahami keunggulan dan kelemahan peradaban Atlantis, kita dapat jadikan modal dasar untuk mengembangkan peradaban maju berbasis keunggulan budaya dan karakter bangsa Indonesia, Insya-Allah, Amin.”
Prof.Dr. Abdul Hadi WM, budayawan, Sastrawan dan Penyair Sufi Nusantara yang juga dosen PMIAI Universitas Paramadina-ICAS Jakarta, mengungkapkan: “Buku ini mempunyai pandangan apokaliptik, sebagaimana beberapa buku lainnya. Dari pandangan apokaliptik itu kemudian dikembangkan menjadi pandangan sejarah. Di antara buku seperti ini, misalnya oleh Ibnu Khaldun, Hegel, Oswald Spengler dan Toynbee. Mengikuti jejak Ibn Khaldun dan Spengler, Toynbee melihat sejarah dalam perputaran musim. Suatu peradaban berkembang subur dan marak pada mula pertamanya, ibarat tetumbuhan di musim semi. Lalu datanglah musim panas, peradaban mulai kerontang. Kemudian disusul musim gugur, krisis dan kerontokan mulai mengancam peradaban, antara lain ini disebabkan oleh dekadensi moral dan dehumanisasi, sehingga akhirnya tiba masa kematiannya di musim dingin. Perputaran musim berikutnya terus bergulir, menanti fajar musim semi.”
Tebal : 540 halaman
Cetakan I: 1, Juli 2011, Cetakan Kedua: Oktober 2013
Penerbit : Ufuk Press
Harga : Rp 89.000,00
Membicarakan mengenai Atlantis seolah memang tidak akan pernah ada habisnya. Atlantis
sendiri secara tiak langsung melambangkan masyarakat utopis yang luar
biasa ideal, dan inilah sebabnya peradaban ini menjadi salah satu yang
paling menarik untuk terus diteliti dan diperbincangkan.Harga : Rp 89.000,00
Tempat ini disebutkan pertama kali oleh filsuf Plato dari Yunani Kuno sekitar abad 4 SM, dan sampai sekarang tidak kurang dari 500 buku dan film telah ditulis dan diangkat berdasarkan benua legendaris yang konon ditenggelamkan di dasar samudra.
Selain keberadaannya yang seolah “ada tapi tiada”, kontroversi ini juga berkaitan dengan letak sesungguhnya dari benua yang ditenggelamkan ini. Plato sendiri dalam karyanya Timeaus and Critias (ditulis pada 360 SM) menjelaskan bahwa pulau Atlantis terhampar di seberang pilar-pilar Hercules (yang selama ini dianggap sebagai semenanjung Gibraltar karena menghadap langsung ke samudra Atlantik).
Pulau makmur ini tenggelam ke laut hanya dalam waktu satu malam akibat hukuman para dewa yang murka kepada penduduk Atlantis. Entah Atlantis versi Plato ini hanya melambangkan suatu konsep Philosopher King dalam Republic-nya, ataukah dulu Atlantis ini memang benar-benar ada, yang jelas pencarian terhadap lokasi Atlantis tidak pernah berhenti.Beragam dugaan tentang letak tepat dari benua Atlantis pun bermunculan. Berbagai klaim dan perkiraan diajukan, di antaranya di Samudra Atlantik, di laut Mediterania, di pulau Siprus, hingga di laut Karibia di benua Amerika. Masalahnya, pada masa Plato (dan juga pada masa Herodotud dan Aristoteles), Atlantik digunakan untuk merujuk pada seluruh samudra atau lautan di seluruh dunia.
Bahkan, Plato merujuk kata “Atlantik” ini kepada Samudra Hindia sekarang. Seolah semua kontroversi itu belum cukup, pada tahun 2005 seorang profesor geologi dari Brazil yang bernama Prof. Dr. Aryo Santos meluncurkan bukunya Atlantis, the Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Ufuk) yang tidak kalah menghebohkan dunia. Santos, melanjurkan hipotesis Oppenheimer, mengajukan klaim bahwa Atlantis itu terletak di Nusantara, tepatnya di paparan Sunda atau laut dangkal antara pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan India.Alkisah, sekitar 10.000 tahun SM, ketika Bumi mengalami zaman es yang terakhir, diperkirakan memang ada sebuah peradaban besar yang maju.
Karena saat itu kawasan Amerika Utara, Asia, Timur Tengah, Eropa dan sebelah Selatan Afrika masih tertutup oleh tudung es yang luas, maka satu-satunya daratan yang memungkinkan munculnya peradaban adalah di wilayah tropis yang suhu udaranya hangat di samping datarannya yang luas. Dugaan ini lah yang digunakan Santos untuk mengajukan klaim bahwa Atlantis dulunya berada di kawasan Sundaland, sebuah dataran luas yang menyatukan India, Sumatra, Jawa dan Kalimantan.
Kondisi geografis Indonesia yang bergunung-gunung serta keadaan alamnya yang subur juga semakin menguatkan klaim Santos. Ledakan Megavolcano Toba, Krakatao, Tambora dan gunung-gunung lain di Nusantara Purba inilah yang kemudian menyebabkan tenggelamnya Atlantis.Buku Peradaban Atlantis Nusantara karya Ahmad Y. Samantho et.All ini ibarat bunga rampai yang sangat komprehensif untuk menguak misteri keberadaan benua Atlantis, terutama kaitannya dengan klaim bahwa Atlantis dulunya memang berada di Nusantara Purba.
Bagi Anda yang merasa buku Oppenheimer dan Santos—yang harganya di atas ratusan ribu—terlalu mahal, maka buku ini bisa menjadi semacam penghalang dahaga keingintahuan yang sangat memuaskan. Di dalamnya, kita bisa membaca rangkuman atau mungkin malah pemaparan secara lebih komprehensif mengenai karya Oppenheimer Eden in the East dan karya Santos Atlantis, Lost Continent finally Found. Lebih keren lagi, di buku ini juga ditampilkan sejumlah tulisan yang lebih lokal, yakni terkait dengan dugaan-dugaan dan/atau temuan-temuan sejumlah pakar Indonesia dari beragam ranah keilmuwan yang intinya hendak mendukung klaim bahwa Atlantis itu berada di Nusantara atau Sundaland. Misalnya saja, adanya kemiripan bentuk candi Sukuh yang menyerupai piramida bangsa Aztec, juga sebuah bukit di Jawa Barat yang diperkirakan adalah sebuah piramida yang tertimbun tanah karena bentuknya yang sangat simetris.
Bagian paling menarik dari buku ini bisa ditemukan pada bab 1, 2, 3, 4, 5, 6, 10, dan 13. Dengan tidak memungkiri pentingnya bab-bab yang lain; membaca bab-bab favorit di atas bisa diibaratkan seperti memutar film tentang Atlantis, mulai dari kemunculannya dalam karya Plato, hingga klaim bahwa Atlantis itu memang berada di Sundaland. Dalam bab-bab ini, pembaca akan menemukan jawaban dari mengapa peradaban yang besar itu bisa musnah tanpa meninggalakn jejak, sedahsyat apa bencana yang terjadi kala itu, apa keterkaitan antara tenggelamnya Atlantis dengan penyebaran atau diaspora penduduk dunia, benarkan nenek moyang bangsa-bangsa India dan Mesopotamia itu berasal dari Nusantara, bagaimana kisah terbentuknya selat Sunda terkait dengan tenggelamnya Atlantis, apakah pilar-pilar Herkules yang dimaksud Plato itu adalah gunung-gunung di Sumatra dan Jawa, dan masih banyak lagi tema-tema menarik seputar Atlantis yang luar biasa menarik untuk dibaca.
Karena formatnya yang berupa bunga rampai, mungkin sejumlah pembaca agak kecewa karena buku setebal 540 halaman ini tidak melulu membahas Atlantis. Beberapa bab di bagian belakang, bahkan membahas ranah filsafat ala Yunani yang mungkin sengaja dimasukkan dalam buku ini karena keterkaitan erat antara Atlantis, Plato, dan Yunani. Selain itu, masih dijumpai typo serta kekurangsempurnaan editan di halaman 70–90. Namun, secara garis besar, buku ini sangat memuaskan dahaga intelektual para pembaca yang mengidam-idamkan tema-tema Atlantis yang dibahas secara komprehensif dan ilmiah. Dan, para penyusun yang turut menyumbangkan tulisannya dalam buku ini pun sudah terbukti keandalannya dalam ranah masing-masing. Inilah yang membuat buku ini begitu bermutu dan berbobot. Sungguh sebuah karya yang mengajak kita untuk meneguhkan diri kita kembali sebagai bangsa yang besar. Dengan membaca buku ini, sejarah Nusantara mungkin harus sedikit direvisi kembali.
0 komentar:
Posting Komentar