Mencermati Peninggalan Kerajaan Sunda
Oleh Andy Suhandi
Surat Kabar Pikiran Rakyat 20 November 2007 memberitakan bahwa barang peninggalan Pajajaran terbakar. Ini terjadi di padepokan Padjadjaran yang berada di kampung Adawarna, desa Sirnajaya, kecamatan Sukaraja, kabupaten Tasikmalaya. Sungguh membuat hati ngangres. Semua barang yang memiliki nilai sejarah peninggalan kerajaan Pajajaran, barang antik yang ada di padepokan itu habis dilalap api. Terjadi pada hari minggu tanggal 18 November 2007.
Pusaka
peninggalan kerajaan Padjadjaran yang terbakar antara lain tempat tidur
Ratu Kalinyamat, stempel kerajaan Padjadjaran, guci emas, dan alat
bertani zaman dulu. Ikut ludes pula uang darurat zaman Kerajaan
Majapahit, dan belasan lusin piring anti racun. Ironisnya,
pada saat ini kita sedang rame-ramenya mengupayakan bangkitnya
apresiasi budaya sunda. Termasuk upaya penyimpanan dan pemeliharaan
peninggalan karuhun Sunda.
Lima
tahun yang lalu tepatnya tanggal 18 Agustus 2002, di Bojongmenje, desa
Cangkuang, kecamatan Rancaekek, kabupaten Bandung, ditemukan secara tak
sengaja titinggal kerajaan Sunda abad ke 7 Masehi, berupa candi hindu. Kini dikenal sebagai candi Bojongmenje. Terletak 500 m dari jalan raya Rancaekek.
Temuan
tak sengaja ini menimbulkan perhatian masyarakat luas termasuk para
arkeolog yang rame-rame terjun ke Rancaekek meneliti peninggalan
kerajaan Sunda buhun ini. Para ahli
menyimpulkan bahwa candi ini merupakan candi hindu tertua, lebih tua
dari candi Borobudur di Jawa Tengah. Malahan seumur dengan candi Dieng.
Selang
beberapa waktu setelah diketemukannya candi peninggalan kerajaan Sunda
buhun tersebut, tiada lagi tindak lanjutnya. Baik kegiatan pemeliharaan
maupun pengamanan terhadapnya. Bahkan ada kesan ditinggalkan begitu
saja. Menurut sesepuh disana, diwilayah Bojongmenje dikabarkan terdapat 3
candi lain yaitu candi Kukuk di Rancamalaka, candi Orok di Bojongmenje,
candi Wayang di Legokrampa. Yang disebut candi Orok tersebut sebetulnya
itu adalah candi Bojongmenje.
Tak
ada keterangan yang jelas mengapa renovasi dan pemeliharaan candi
peninggalan kerajaan Sunda itu melempem tak dilanjutkan. Apakah tiada
anggaran yang cukup? Atau karena risih mengusir pabrik yang berada
diwilayah Bojongmenje?
Saya
teringat kepada tembang sunda Cianjuran (Papatet) yang dilantunkan oleh
Nenden Dewi Kania juara Damas tahun 2003. VCD nya telah dijual di
toko-toko kaset:
Pajajaran kari ngaran. Pangrango geus narikolot;
Mandalawangi ngaleungit. Nya dayeuh ngajadi leuweung;
Nagara geus lawas pindah. Saburakna Pajajaran;
Di gunung Gumuruh suwung. Geus tilem jeung nagarana.
Bagi
masarakat Sunda, terutama yang sudah pada sepuh, bisa dipastikan
tembang dan rangkaian kata dan kalimat tadi membuat hatinya semakin,
kagagas dan ngangres. Apalagi dengan adanya kejadian tak terurusnya
peninggalan kerajaan buhun Pajajaran.
“Na
kamarana atuh para pamimpin jeung inohong Sunda téh? Jigana abah mah
engké dina Pilkada atawa Pilprés, rék milih bupati atawa Présidén téh nu
gedé katineung sareng nyaahna kana patilasan Sunda.” Demikian ucapan lugu seorang sepuh di Tarogong Garut.
Padahal,
di setiap kabupaten di Jawa Barat terdapat banyak
peninggalan-peninggalan jaman dulu, seperti di Majalengka (kerajaan
Talaga), di Ciamis (prasasti dari kerajaan Kawali dan Galuh), di
Tasikmalaya (kerajaan Galunggung), di Bogor (Batutulis dari Prabu Sri
Baduga Maharaja, kerajaan Pakuan Pajajaran). Sanghyang Tapak di Cibadak,
Sukabumi; prasasti Tugu; prasasti Ciaruteun; prasasti Kebun Kopi dan
prasasti Pasir Jambu, dan banyak-banyak lagi peninggalan sejenis
tersebar di wilayah Jawa Barat.
Mungkin
diantara kita khususnya masarakat Sunda sudah tak kenal lagi terhadap
kerajaan Galunggung yang pernah jaya pada abad ke 8. Letaknya di
perbatasan kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Jaman kerajaan
Galuh, Galunggung telah menjadi daerah Kabuyutan raja-raja Sunda, tempat
berkumpulnya para intelektual kerajaan jaman itu. Bahkan kerajaan
Galunggung menjadi acuan dan penentu raja-raja Sunda. Salah seorang
rajanya yaitu Batara Hyang pernah membuat prasasti Geger Hanjuang yang
ditemukan di tutugan gunung Galunggung. Sedangkan penerusnya yaitu
Rakean Darmasiksa membuat Amanat Galunggung, yang diketemukan di situs
Kabuyutan Ciburuy Garut Selatan.
Akhir-akhir
ini diberitakan ada dua arca yang berada di taman dekat kandang burung
di Kebon Binatang, Jalan Tamansari Bandung, yang ternyata sudah tak
terpelihara lagi. Arca-arca tersebut berasal dari abad ke 11 M atau
zaman Kerajaan Pajajaran. Ternyata keberadaan kedua arca tersebut kurang
mendapatkan perhatian pemeliharaan yang semestinya.
Menurut
penelitian Dra. Endang Widyastuti dari Balai Kepurbakalaan Bandung
tahun 2004, arca perempuan adalah arca Dewi Durga atau Dewi Durgamaha
Sisuramardhini isteri dewa Siwa. Arca laki-laki adalah resi Agastya,
yang berbentuk pria berjanggut. Kedua arca tersebut memiliki nilai
histories sebagai peninggalan dari zaman kerajaan Pajajaran (PR 28
November 2007). Padahal, seharusnya keberadaan kedua arca tersebut
mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan, berdasarkan UU Cagar Budaya
No. 59/1992.
Saya
merasa iri apabila melihat perlindungan dan pemeliharaan sisa-sisa
peninggalan kerajaan lama di Propinsi lain ternyata lebih baik bila
dibandingkan dengan di Jawa Barat. Misalnya Candi Umbul di Kabupaten
Magelang, tepatnya di desa Candi Umbul, kecamatan Grebeg. Terkenal
dengan kolam air panasnya, peninggalan kerajaan Dinasti syailendra abad
ke -9. Demikian pula candi Borobudur yang dibangun oleh Raja Samaratungga dan Dinasti Syailendra pada abad ke-7.
Akhirnya,
bukan mustahil peninggalan-peninggalan kerajaan Sunda Pajajaran lambat
laun akan punah terlupakan, apabila tak ada upaya penyimpanan dan
pemeliharaan yang seksama terhadap mereka. Tentunya upaya ini tidak
hanya dari pihak pemerintah semata, namun dari semua pihak khususnya
para seuweu siwi Pajajaran. Tentunya kita tidak menghendaki ”Pajajaran
Tinggal Ngaran”, sebagaimana dilantunkan dalam tembang Cianjuran oleh
Nenden Dewi Kania, sang juara Damas tahun 2003. Semoga!***
0 komentar:
Posting Komentar