ASAL MULA KALA SUNDA DAN ISTILAH SUNDA
ASAL PAWUKON/ KALA SUNDA
Cerita penemuan kembali Kala Sunda bermula ketika Ir. C.J Snijders,
astronom Belanda, menemukan Pawukon. Pawukon adalah sistem kalender yang
mempunyai waktu terukur, seperti wuku yakni penamaan per tujuh hari.
Ada 30 nama wuku. Ada juga wara, model penanggalan “mingguan” dari
seminggu hanya satu hari hingga seminggu ada yang sepuluh hari. Kala
Sunda hanya menggunakan dua wara, yakni panca wara dan sapta wara.
Dengan dua wara ini saja, Kala Sunda sudah berpenanggalan “stereo”
seperti radite-pahing, sukra-kliwon. Seseorang yang lahir pada Senin
wage, akan berbeda wataknya dengan orang yang lahir pada Senin-kliwon.
Pawukon adalah bukti adanya manusia tertua di Pulau Jawa. Dalam bukunya
Beginselen der Astrologie, Snijders menyebutkan Pulau Jawa dan
Kepulauan Indonesia lainnya sudah ada sejak jaman Lemuria atau
Pleistoceen, kira-kira sejuta tahun yang lalu. Umurnya pun lebih tua
dari daratan Asia sendiri. Di buku itu juga disebutkan perbandingan umur
kalender bangsa-bangsa dunia. Snijders menaksir kalender Quichuas,
penduduk asli Meksiko, berumur 15 ribu tahun. Usia kalender Cina 13 ribu
tahun, Babilonia 6500 tahun, dan India, yang disebut Surya Sidhanta,
berumur 2200 tahun. Adapun Sistem pawukon ini ditaksir berumur 17.183
tahun. Pawukon adalah bagian dari kalender Sunda. Dengan kata lain,
KALENDER SUNDA ADALAH KALENDER TERTUA DI DUNIA.
Merujuk pada
Ensiklopedi Winkler Prince, tingginya suatu peradaban, diukur dari
tingkat akurasi penanggalan kalendernya. Secara logis pun, bangsa yang
sudah mempunyai sistem kalender – terlebih yang rumit – pasti sudah
menguasai aksara, bahasa, ilmu hitung, dan ilmu baca. Dalam konteks Kala
Sunda, aksara yang digunakan atau dikuasai adalah Caraka atau Kagangan.
Sebelum urang Sunda membuat tulisan, pasti sudah mengenal bahasa dan
tata bahasa yang baku.
Bahkan, Dalam Penataran Dialetologi Tahap
I, Juni-Agustus 1976, Proto Austronesia Etyma cunstituting An
Asutronesian Cognate Finder List Dr. Bernd Nothafer, menggambarkan bahwa
PROTO-SUNDIC MERUPAKAN INDUK BAHASA LAIN, SEPERTI MELAYU, MADURA, BALI.
Keberadaan Pawukon/ Kala Sunda dan budaya Sunda pada era lebih dari
10.000 tahun yang lalu diperkuat dengan ditemukannya bukti arkeologis
berupa:
1. Situs Gunung Padang, Kabupaten Cianjur, dimana
berdasakan pengujian Laboratorium Beta Analytic Miami, Florida, Amerika
Serikat merilis usia bangunan bawah permukaan dari Situs Gunung Padang,
sebagai berikut: a). Pada lapisan tanah urug di kedalaman 4 meter
(diduga man made stuctures /struktur yang dibuat oleh manusia) dengan
ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras 5 pada
Bor-2, adalah sekitar 7.600-7.800 SM. Usia bangunan ini jauh lebih tua
dibandingkan dari Piramida Giza di Mesir yang berumur 2.560 SM.; b).
Sedangkan umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12
meter, adalah sekitar 14.500–25.000 SM. Ini Artinya situs gunung padang
ini telah ada sebelum peristiwa banjir besar (berakhirnya zaman es).
2. Penemuan kerangka manusia di sekitar Gua Pawon, Kabupaten Bandung
serta jejak-jejak kehidupan/ kebudayaan manusia di puncak Pasir Pawon
dan di lembah sekitar aliran Cibukur. Di puncak Pasir Pawon, di mana
terdapat stone garden (mirip stone henge di Inggris) dapat dijumpai
sebaran artefak berupa fragmen tembikar dan keramik. Selain itu juga
terdapat beberapa batuan beku yang kemungkinan merupakan sisa unsur
bangunan. Berdasarkan hasil analisis C-14 menunjukkan umur Manusia Pawon
antara 5.660±170 SM sampai 9.520±200 SM.
ASAL ISTILAH SUNDA
Selama ini sebutan “Sunda” lebih dikenal hanya sebagai sebuah kerajaan
atau suku (etnis) yang mendiami wilayah Jawa Barat, sesungguhnya itu
tidak benar dan sama sekali salah. “Sunda” adalah nama atau sebutan
sebuah wilayah yang sangat luas di Planet Bumi. Secara diagonal wilayah
itu mencakup dari ujung Timor, sebagian India selatan hingga belahan
timur Afrika dan kepulauan Madagaskar. Nama wilayah Sunda ini masih
dapat ditemui dalam istilah geografi internasional, antara lain:
1. KEPULAUAN SUNDA BESAR DAN SUNDA KECIL
Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan pada medio 1960 an, istilah
Sunda masih ditemukan didalam mata ajar Ilmu Bumi, suatu istilah yang
menunjukan gugusan kepulauan yang disebut Sunda Besar (meliputi: Pulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulaweis), serta Sunda Kecil (meliputi:
Pulau Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku).
2. PAPARAN SUNDA, TANAH SUNDA
a. PAPARAN SUNDA adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua
Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di
sekitarya. Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2. Kedalaman
laut dangkal yang membenam paparan ini jarang sekali melebihi 50 meter,
dan kebanyakan hanya sedalam kurang dari 20 meter. Tebing curam bawah
laut memisahkan Paparan Sunda dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan
Kepulauan Sunda Kecil.
b. TANAH SUNDA (SUNDALAND), Sundaland atau
Tanah Sunda, sebuah istilah yang merujuk kepada bentang daratan lempeng
benua dan landas kontinen di Asia Tenggara yang merupakan dataran di
atas permukaan laut ketika permukaan laut jauh lebih rendah pada zaman
es terakhir. Tanah Sunda termasuk Semenanjung Malaya, Kepulauan Sunda
Besar termasuk Kalimantan, Sumatera, dan Jawa, serta laut dangkal di
sekitarnya, yaitu Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, Teluk Siam,
dan bagian selatan Laut China Selatan.
3. SISTEM GUNUNG SUNDA
Adalah jajaran pegunungan yang melingkari paparan Sunda (CIRCUM-SUNDA
MOUNTAIN SYSTEM) yang panjangnya se kitar 7000 km. Paparan Sunda terdiri
dari dua bagian utama, yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan
Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian ba rat
dan (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke ti mur sejak Lembah
Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Paparan
Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan
dataran Sahul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3).
4. LAUT SUNDA (SOENDA ZEE)
Isitilah Laut Sunda atau Soenda Zee masih dikenal pada zaman pemerintah
kolonial Belanda hingga pada era sekitar tahun 1919. Soenda Zee adalah
wilayah laut meliputi Laut Jawa, Selat Karimata, dan Laut Cina Selatan
yang dikenal saat ini.
Istilah Sunda juga sebenarnya telah ada
pada masa kerajaan Tarumanegara, yang ditunjukkan pada Prasasti batu
yang ditemukan di kampung Pasir Muara (Cibungbulang) di tepi sawah
kira-kira 1 kilometer dari prasasti telapak gajah peninggalan
Purnawarman. Prasasti ini merupakan peninggalan pemerintahan Suryawarman
yang berisi inskripsi sebanyak 4 baris. Bacaannya (menurut Bosch):
”Ini sabdakalanda juru pangambai kawihaji panyca pasagi marsandeca
barpulihkan haji sunda”. Artinya: Ini tanda ucapan Rakeyan Juru
Pangambat dalam tahun Saka 458 bahwa pemerintahan daerah dipulihkan
kepada raja Sunda”. Suryawarman di dalam sejarah tatar Pasundan tercatat
sebagai raja Tarumanagara ketujuh. Diperkirakan memerintah pada tahun
457 sampai dengan tahun 483 Saka, bertepatan dengan tahun 536 sampai
dengan tahun 561 masehi, sedangkan tahun 458 Saka bertepatan dengan 536
masehi atau abad ke enam masehi.
Dari prasasti ini jelas bahwa
nama kerajaan Sunda yang didirikan raja Tarusbawa pada tahun 670 M bukan
merupakan nama baru, namun mengambil dari istilah Sunda yang telah ada
sejak zaman kerajaaan Tarumanegara, bahkan jauh lebih lama lagi. PERLU
DICATAT, BAHWA KERAJAAN TARUMANAGARA PADA AWALNYA MELIPUTI SELURUH
WILAYAH NUSANTARA, SEMENANJUNG MALAYA, THAILAND, KAMBOJA, bahkan mungkin
lebih luas lagi. Pemecahan wilayah kerajaan Tarumanagara diawali ketika
Maharaja Linggawarman (raja Tarumanagara terakhir) pada sekitar tahun
670 M memberikan wilayah Swarnadwipa (Sumatera), Kalimantan Barat,
semenanjung Malaya, Thailand dan Kamboja (Tarumanagara Barat) kepada
menantunya Dapunta Hyang Srijayanasa yang menikah dengan putrinya yang
bernama Sobakancana, yang selanjutnya diberi nama kerajaan SRIWIJAYA.
Dan sisanya, wilayah Tarumanagara Tengah dan Timur (pulau Jawa, Bali,
Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku) diserahkan kepada menantunya yang
lain, yaitu raja Tarusbawa yang menikah dengan putrinya yang bernama
Manasih, yang selanjutnya diberi nama KERAJAAN SUNDA.
Adanya
pemecahan wilayah ini mendorong KERAJAAN GALUH (kerajaan bawahan
Tarumanagara) yang dipimpin Wretikandayun untuk ikut memisahkan diri
dari kerajaan Sunda, untuk menjadi kerajaan mandiri, karena merasa bahwa
raja Tarusbawa adalah sederajat (hanya menantu/ bukan turunan langsung
dari raja Tarumanagara), dimana Kerajaan Galuh juga diawali dengan
terbentuknya kerajaan KENDAN yang didirikan oleh Manikmaya (menantu
Suryawarman) Tahun 526 M. Wretikandayun adalah cicit dari Manikmaya.
Wilayah Kerajaan Galuh meliputi wilayah Jawa Barat bagian Timur
(dibatasi oleh Sungai Citarum), Jawa Tengah bagian Selatan dan Jawa
Timur. Oleh karena itulah daerah sekitar Sidoarjo disebut sebagai Hujung
Galuh. Disamping kerajaan Galuh, wilayah lain yang memisahkan diri
adalah KERAJAAN KALINGGA yang dipimpin Ratu Shima, wilayahnya mencakup
wilayah Jawa Tengah bagian Utara.
Pemecahan wilayah kerajaan
Tarumanagara di atas direstui oleh Maharaja Linggawarman, dengan syarat
bahwa semua kerajaan yang memisahkan diri tetap harus menjalin
kekeluargaan dan menghormati Maharaja Sunda Tarusbawa sebagai penerus
dari kerajaan Tarumanagara. Hal lainnya adalah penobatan raja-raja tetap
dilakukan di kabataraan (tahta suci) yang ada di kerajaan Sunda. Inilah
sebabnya, kenapa Raja Panjalu (Kadiri) Prabu Kertajaya (1194-1222) juga
disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung. Paul Michel Munoz (2006)
berpendapat bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Prabu Kertajaya (Raja
terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah
Sukapura/Ciamis pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken
Angrok. Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Prabu Kertajaya bersembunyi
di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci. Tempat ini diperkirakan
adalah Kabataraan Gunung Sawal (Ciamis). Di tempat persembunyiannya ini
diperkirakan Prabu Kertajaya mendirikan kerajaan Panjalu Ciamis yang
merupakan kelanjutan dari kerajaan Panjalu Kadiri (Jawa Timur).
MASA PRA TARUMANAGARA
Masa ini dikenal dengan sebutan ”SUNDA PURBA”, yang meliputi wilayah:
Nusantara, semenanjung Malaya, Indo Cina, India Selatan, kepulauan
Madagaskar hingga belahan Timur Afrika, bahkan ada yang menyebut hingga
ke Jepang, Korea, dan benua Amerika. Beberapa sumber mengatakan bahwa
bangsa Indian di Amerika juga berasal dari wilayah Sunda Purba dan
dikenal dengan nama bangsa Melayu Indian (Indian Malay). Nama Sunda
Purba kemudian berubah menjadi “Sundalarang” (Sunda Besar) lalu menjadi
“Dwipantara” setelah itu berubah lagi menjadi “Nusantara” dan ketika
jaman penjajahan kolonial Belanda berganti nama menjadi “Hindia
Belanda”, lalu pada tahun 1928 ketika dicanangkan “Sumpah Pemuda” nama
negeri ini berubah menjadi “Indonesia” hingga sekarang.
Berdasarkan beberapa sumber yang dapat dipercaya mengatakan bahwa pada
tahun 52 Saka, Aki Tirem menyerahkan kekuasaan Kerajaan Sakalanagara
(diperkirakan berada di sekitar wilayah Pandeglang) kepada putrinya, Nyi
Putri Rarasati yang dinikahi oleh Dewa Warman. Cerita Sakalanagara ini
jatuh pada abad kedua masehi (122 M). Jika dicocokkan dengan naskah
Pangeran Wangsakerta (abad 17), sangat cocok. Apabila cerita
Sakalanagara jaman Aki Tirem dan naskah Pangeran Wangsakerta
dihubungkan, menurut data Atmadiredja, sangat cocok.
Ketika jaman
“Purbanagara” (nama kerajaan Sunda Purba) berakhir pada tahun 78 M yang
ditandai dengan pergantian nama wilayah besar Sunda Purba menjadi
“Dwipantara” yang artinya adalah dua panutan bernegara yaitu “Panatagama
dan Panatanagara”. Hal ini dapat diartikan bahwa tonggak atau pancang
awal berdirinya sebuah kedaulatan wilayah adalah dengan penataan agama
(spiritual/kepercayaan) dan penataan cara bernegara. Prinsip inilah yang
mendasari konsep ”Tritangtu”, Rasi, Rama dan Ratu. Rasi adalah dewan
(orang-orang) yang mengurusi urusan spiritual, wilayahnya disebut
Kabataraan (Tahta Suci), Rama adalah dewan (orang-orang) yang mengurusi
urusan peraturan, hukum, kebijakan negara (mirip dengan lembaga
Legislatif); Ratu adalah yang bertugas mengurusi kenegaraan/pemerintahan
(mirip dengan lembaga Ekskutif).
Pemerintahan negeri Dwipantra
dipegang oleh Aji Saka-I dengan gelar Haji Raksa Gapura Sagara, nama
kerajaannya disebut Salakanagara. Adapun misi negara pada saat itu
disebut Salaka Domas atau Mulla Sarwa Stiwa Danikaya (“berawal dari
kebersamaan menjadi kekayaan” atau dengan kata lain artinya ialah
“bersama membangun kejayaan”). Misi negara tersebut dilanjutkan oleh Aji
Saka–II yang bergelar Pangeran Dewawarman atau Sang Hyang Watugunung
atau Ratu Agung Manikmaya (132 M).
Ketika Aji Saka-II digantikan
oleh Aji Saka–III yang nama aslinya adalah Rakeyan Taruma Hyang (“Si
Tumang”, suami Dayang Sumbi) atau Pangeran Wisnu Gopa, ia mengganti nama
kerajaan Salakanagara dengan sebutan Tarumanagara. Di masa pemerintahan
Aji Saka-III inilah perwujudan dari misi Salaka Domas negeri Dwipantara
ini tercapai. Pernikahan antara Aji Saka-III dengan Dayang Sumbi yang
bergelar Dewi Mayang Sunda atau nama aslinya Galuh Kaniawati
menghasilkan lima orang anak yang kelak disebut sebagai Lima Putra Sunda
atau Panca Putra Dewa.
Memang sungguh mengherankan, ketika
bangsa Eropa menyusun sejarah Yunani-Romawi yang dilakukan dengan metode
(teknik) penelusuran Metahistori yang dikaji dari berbagai puing-puing
peninggalan serta artefak lainnya, tidak ada satupun bangsa yang menolak
tuturan sejarah mereka. Demikian pula ketika penyusunan perjalanan
sejarah peradaban kebudayaan Mesir Kuno di sekitar Sungai Nil atau
Sumeria, Babylonia, Mesopotamia, serta kebudayaan lainnya yang berada di
antara Sungai Tigris dan Eufrat. Dongeng sejarah yang mereka susun pada
akhirnya dipahami sebagai sebuah ilmu pengetahuan dan seolah tidak
diragukan lagi kebenarannya.
Berbeda halnya, ketika bangsa
Indonesia mencoba menggali sejarah bangsanya sendiri, dengan “cara
berpikir” bangsa Nusantara dan tidak dengan cara berpikir bangsa Barat,
setiap hasil penelusuran yang dilakukan akan “disalahkan dan ditentang
habis-habisan”, bahkan jika itu berupa fenomena logis sekalipun akan
segera dimentahkan dengan argumentasi ala Baratnya. Mereka lupa, bahwa
sejarah Nusantara adalah sejarah negerinya sendiri dan hanya dapat
digali dan ditemui kebenaran sejatinya jika mempergunakan cara berpikir
Nusantara yang penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Kamis, 03 Maret 2016
sejarah Bangsa Sunda(Orang Sunda) & Istilah Sunda
Diposting oleh
My Name Is Andy
| Kamis, 03 Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar