“Kira-kira kriya apa saja dari kebudayaan Sunda yang saat ini mengalami degradasi nilai, Pa?”
“Maaf, untuk “Sunda” di sini, saya batasi pada kebudayaannya di era 1920 ke bawah, Pa.
Mengingat
setelah tahun tersebut Sunda telah mengalami kelunturan. Terlebih pada
tahun 1928, ketika sumpah pemuda tercetus, dan menyatakan diri sebagai
bangsa Indonesia.”
Demikian
ungkapan seorang teman ketika kami sedang mencari informasi pada
narasumber yang sama. Dia membuat sebuah definisi operasional terhadap
istilah “Sunda”. Ya, jika berbicara mengenai Sunda tanpa dibatasi memang
akan sangat panjang jadinya. Bisa-bisa sampai menyentuh kawasan “proto
sundanic”, yang jika ditelusuri lebih jauh tentunya sangat menarik,
tetapi sayang telah banyak “slot” yang hilang.
Sunda yang menurut R. Mamun Atmamihardja dalam bukunya Sejarah Sunda I (1956) mencatat ada sebanyak 25 arti kata Sunda yang didasarkan pada berbagai kamus bahasa, seperti bahasa Sansekerta, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda.
Dari kekayaan arti kata Sunda itu saja kita dapat menggali “Siapa Sunda
itu?”. Salah satu arti kata Sunda yang dalam bahasa Sanksekerta SUNDA itu berasal dari kata Çuddha, yang berarti putih. Hal ini sejalan dengan pendapat Gonda (1973: 345-346), yang menyatakan bahwa pada mulanya kata suddha
dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada sebuah gunung yang menjulang
tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih bercahaya
karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Dan, Gunung Sunda itu terletak di sebelah barat Gunung Tangkuban Parahu. Ya, gunung itu terletak di Bandung Utara, seperti arti kata Sunda dalam bahasa Sanksekerta.
Juga sejalan dengan pendapat Rouffaer (1905: 16) yang menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu, kemungkinan dari akar kata sund atau kata suddha
dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang,
putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno
(Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian:
bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat,
waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570;
Winter, 1928: 219).
Dalam bahasa Jawa,
Sunda dapat diartikan sebagai penyusun. Hal ini diperkuat dengan adanya
prasasti, naskah, dan sejenisnya yang menjadi media adanya budaya tulis
yang cukup baik pada masyarakata Sunda. Prasasti Cibadak (1006-1016) yang berdasarkan sejarah Sunda dinilai sebagai prasasti tertua, peninggalan seorang raja Sunda Sri Jaya- bhupati. Di mana dalam prasasti tersebut tersuratlah konsep geografis-etnis dalam budaya Sunda, yaitu dengan
ditetapkan Sungai Sang Hyang Tapak sebagai kabuyutan yaitu tempat yang
disakralkan untuk ditaati oleh segenap rakyatnya. Salah satu terjemahan
kutipan Prasasti Cibadak tersebut adalah :
”Selamat, dalam tahun saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hariyang-Kliwon-ahad wuku Tambir. Inilah saat raja sunda Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti samarawijaya Sakalabuana Mandaleswaranindita Harogowardana Wikramotungga-dewa membuat di sebelah timur Sanghyang Tapak dibuat oleh Sri Jayabhupati raja Sunda dan jangan ada yang melanggar ketentuan di sungai ini. Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah kabuyutan Sanghyang Tapak di bagian hulu ...”
Naskah
kuno ”Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian” (Tahun 1518 M), yang dikenal
pada masa pemerintahan Sang Prabu Siliwangi (Jaya Dewata, Sri Baduga
Maharaja, Keukeumbingan Raja Sunu, Sang Pamanah Rasa – 1482 – 1521 M) di
kerajaan Pajajaran, terdapat satu kalimat yang mungkin agak asing bagi
telinga kita yaitu ”Ngertakeun Bumi Lamba” yang dapat diterjemahkan
dengan ”mensejahterakan kehidupan di dunia”. Jadi para leluhur
sunda sebenarnya telah mengajarkan kepada kita bahwa salah satu tugas
manusia hidup di dunia adalah untuk mensejahterakan seluruh makhluk
hidup di dunia ini.
Dari
catatan sejarah budaya tersebut, tatar sunda dinilai banyak memiliki
warisan kabuyutan dari para leluhur baik berupa hutan lindung yang
meliputi gunung dan bukit, situs purbakala dan peninggalan sejarah serta
sungai-sungai strategis dan lingkungannya. Para leluhur Sunda telah
mengingatkan agar seluruh kabuyutan di Tatar Sunda dilindungi, dijaga
kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.
Pesan-pesan
para leluhur Sunda tersebut menunjukkan bahwa makna dari kabuyutan
memiliki nilai yang tinggi dan strategis serta sangat dihormati oleh
masyarakatnya. Pesan moral yang awalnya terbatas hanya untuk masyarakat
kerajaan sunda ternyata memiliki nilai yang bersifat universal yang
dapat juga dijadikan panutan oleh masyarakat di luar etnis sunda agar
kita selalu bersikap arif memperlakukan alam. Karena secara nurani
setiap komunitas makhluk hidup termasuk manusia, siapa dan seberapapun
kecilnya selalu membutuhkan tatanan kehidupan yang seimbang, selaras dan
harmonis.
Menyimak
realitas kondisi keempat daya hidup (yang menurut pendapat budayawan WS
Rendra, setidaknya harus terdapat tujuh daya hidup yang harus dimiliki
oleh sebuah kebudayaan untuk dapat mempertahankan eksistensinya),
kebudayaan Sunda menghadapi berbagai bentuk tantangan. Kemampuan
beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespon berbagai tantangan
yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar dapat dikatakan
memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan,
kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan
dengan tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila
semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh
kebudayaan asing.
Sebagai
contoh yang paling jelas adalah bahasa Sunda yang merupakan bahasa
komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan
oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih
memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi
sehari-hari terkadang diidentikkan dengan “keterbelakangan”, untuk tidak
dikatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda
untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Kemampuan
tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda tidak kalah memprihatinkan.
Jangankan
berbicara paradigma-paradigma baru, itikad untuk melestarikan apa yang
telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor
misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang
sebenarnya kaya dengan folklor, tetapi seberapa jauh upaya yang
dilakukan untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap “membumi”
di masyarakat Sunda.
0 komentar:
Posting Komentar