KUJANG
(Oleh Aries Kurniawan)
Pusaka kujang pada awal penciptaannya berfungsi sebagi simbol atau lambang ajaran Sunda Besar dan kekuasaan wilayah atau teritorial
Ketika pusaka dan pakarang kujang diciptakan, belum ada provinsi Jawa Barat dan etnis Sunda.Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Melalui penelusuran sejarah berkenaan dengan para atau pande atau Mpu pembuat Kujang dan hubungannya dengan jenis pusaka yang lain.
Kujang adalah sejenis parang khas milik masyarakat suku Sunda pada masa lampau.Konon merupakan senjata pusaka di Kerajaan Galuh Pajajaran, terutama Prabu Siliwangi.Kujang juga terkenal karena bentuknya yang menyeramkan, namun terlihat mewah.
Kujang bagi orang Sunda merupakan piandel atau berfungsi sebagai penguatan karakter atau jati diri, karena kujang merupakan simbol dari kosmologi Sunda (mikrokosmos/jagat leutik dalam bahasa Sunda) dan Kosmogoni Sunda (makrokosmos/jagat gede dalam bahasa Sunda).
Kujang bagi orang Sunda merupakan piandel atau berfungsi sebagai penguatan karakter atau jati diri, karena kujang merupakan simbol dari kosmologi Sunda (mikrokosmos/jagat leutik dalam bahasa Sunda) dan Kosmogoni Sunda (makrokosmos/jagat gede dalam bahasa Sunda).
Pada dasarnya apabila di lihat dari sistem pemerintahan nagara purba, kujang tidak dapat dipisahkan dalam kerangka sistem Nagara Purba dan proses penciptaanya .
Kujang
berasal dari kata Ku Jawa Hyang atau Ku Dyah Hyang dan kemudian menjadi
Kudi Hyang, yang menyiratkan Jawa Dwipa berperan sebagai Ibu Pertiwi
dan pulau- pulau lainnya di luar P. Jawa sebagai Nusa Persada. Secara
totalitas wilayah teritorial nagara purba menyiratkan bahwa Nusa Persada
ada di pangkuan Ibu Pertiwi atau disebut dengan istilah ”Papat kalima
pancer”, yaitu: Jawa Dwipa, Swarna Dwipa , Simhala Dwipa, Waruna Dwipa
dan Parahyangan sebagai Pancer atau Kamaharaja’an.
Nusa
Persada dalam sistematika nagara purba berkarakteristik Kadatuan
(Kadaton) atau Ka-Resi-an, dan para pemimpinnya bergelar Datuk atau
Resi, sementara Jawa Dwipa menjadi Pancer atau Puser, disebut juga
Ka-Ratu-an (Karaton) dan para pemimpinnya bergelar Ratu. Para Resi atau
Datuk mempunyai kekuatan hukum dan keilmuan dalam nagara. Resi mempunyai
tugas sebagai penasehat Ratu dalam menjalankan roda pemerintahan
nagara. Sementara Ratu berfungsi sebagai pelaksana program atau
instruksi dari para Datuk atau Resi. Ratu mempunyai kekuasaan teritorial
atau wilayah. Pada awalnya Pusaka kujang menjadi lambang kekuasaan para
Ratu, dan keris menjadi pusaka atau gagaman para resi atau Ku Resi.
Seiring
dengan perkembangan sistem ketatanagaraan purba dan semangat
perkembangan jaman ( Upgrading Spiral ), pusaka Kudi dan Kujang
mengalami banyak perkembangan, baik dari segi bahan baku atau material
dasar, teknis pengolahan atau garap, variasi bentuk dapuran, ukuran dan
fungsinya. Pusaka kudi dan kujang secara keseluruhan merefleksikan
ajaran Sunda Besar sebagai wujud dari nagara, ajaran, ratu dan
karajaan.
Petuah
Sunda Besar, bahwa dalam kehidupan ”Tekad, Ucap, Lampah kudu saluyu”,
hal ini tercermin dalam bahan dasar kujang, yang terdiri dari : Waja,
Wesi dan Pamor. Waja melambangkan kekerasan sebuah tekad, Wesi
melambangkan bener dan jujur dalam laku-lampah, dan Pamor sebagai
keindahan ucap dan santun dalam bertutur kata.
Kesederhanaan
bentuk kujang merupakan hasil integrasi dari nilai-nilai luhur, tafsir
dan makna di dalam : Agama Budaya, Negara, Sejarah, Filsafat dan Hakekat
(Simplification is the Crown of Beauty). Refleksi dari karakteristik
budaya Sunda Besar, yang ”Depe-depe Handap asor”, ” Teu sudi ngajajah ,
Teu Sudi Dijajah ”, “Teu Sirik Pidik Jail Kaniayaya“, tercermin dalam
perjalanan nagara purba dimulai dari Salaka Nagara-Taruma Nagara-
Cupunagara – Banjar Nagara - Pajajaran Nagara.
Hal ini bisa dilihat dari komponen rincikan atau elemen struktur pusaka dan senjata yang lain seperti keris.Banyak terdapat yang kesamaan , yaitu bahan dasar logam dan elemen rincikannya,seperti: pesi / peksi / paksi, pejetan dan lain-lain. Begitu pula dengan nama dapuran keris, seperti Bango Dolog, Kuntul Ngantuk, Merak dan lain-lain.Para Mpu pembuat Kujang seperti Mpu Ni Mbo Somro, Mpu Kuwung , Mpu Loning, Mpu Windu Sarpa dan lain–lain , yang berasal dari Jawa Kalwan atau Jawa Kulon - Sunda , menciptakan pula berbagai keris ketika hijrah ke Jawa Pawatan atau Jawa Pawetanan (Medang – Galuh) , atas perintah para wali nagara, yang berdasar pada sistematika Nagara Purba dan keilmuan.
Ditemukan pula nama – nama lain yang menyiratkan kujang, seperti : Kajang, Kijing, Kidang, Kudang, Parung Kujang (asal kata dari Para Hyang Kujang) dan banyak lagi yang lainnya.
Secara keseluruhan pusaka kujang merupakan lambang dari satu konsep ajaran Sunda Besar, dimana dalam proses penciptaannya merupakan hasil dari integrasi konsep : Agama,Budaya,Negara,Sejarah,Filsafat - Hakekat . Konsepsi ajaran tersebut diatas bersifat abstrak. Melalui kebajikan dan kebijakan para pendahulu bangsa ini mampu menterjemahkannya menjadi satu bentuk visual yaitu pusaka kujang. Penggayaan stilasi, abstraksi, dan deformasi bentuk pusaka kujang menyatu dengan ajaran kenegaraan dan ageman atau keyakinan.Kujang masih menyisakan misteri, karena dengan dasar meta logika akan mampu mengungkap meta historika kebudayaan Sunda Besar.
KUJANG MENURUT FUNGSI
Sebagai pakarang (senjata); kujang
dengan ukurannya yang relatif pendek, tidak termasuk alat tebas, tapi
tergolong alat tikam, alat tusuk, alat toreh, dan alatkerat. Wujud
senjata ini (secara hipotesis), mungkin disesuaikan dengan karakter
manusia Sunda Pajajaran itu sendiri yang bersifat defensif tatkala
menghadapi marabahaya, tidak bersifat ofensif. Hal ini terungkap dari
kisah “Pakujajar Majajaran” yang memberitakan bahwa “Sunda Pajajaran
lain mudu pinter perang, tapi mudu pinter diperangan” (Sunda Pajajaran
bukan mesti pandai berperang, tapi mesti pandai di kala diperangi).
Pernyataan
ini terbukti pula, bahwa dalam seluruh cerita pantun, tidak ada satu
pun kisah yang memberitakan Kerajaan Pajajaran menyerang atau menaklukan
kerajaan lain, kecuali malah digempur negara lain. Mengingat karakter
Sunda Pajajaran yang defensif tadi, kujang dengan fungsinya sebagai
senjata, bukan hanya untuk menyerang tetapi hanya untuk “bela diri” di
kala keadaan susah sangat terdesak. Dalam cara pembelaan diri tersebut,
kujang digunakan dengan sekali tusuk ke perut, ketika ditarik mampu
merobek-robek seisi perut. Atau dengan sekali toreh dan sekali kerat
saja musuh bisa langsung sekarat mendadak dan mati.
Sebagai pangarak (alat upacara); Kujang
Pangarak dalam kegiatan upacara menggunakannya dengan dipikul pada satu
prosesi tertentu, oleh pelaku barisan terdepan. Dalam keadaan mendesak,
kujang semacam ini bisa digunakan sebagai alat membela diri dengan cara
ditusukkan atau dilemparkan kepada musuh dari jarak agak jauh, sebab
kujang ini bertangkai panjang semacam tombak.
Sebagai pamangkas (alat pertanian); Pantun
Bogor memberitakan, bahwa zaman jayanya Kerajaan Pajajaran, kujang
berupa perkakas yang multiguna. Kujang dalam kapasitas dan fungsinya
sebagai alat pertanian (Kujang Pamangkas), kini masih dipergunakan di
lingkungan masyarakat adat “Urang Kanekes” (Baduy) dan masyarakat
“Pancer Pangawinan”.
KUJANG MENURUT FISIK
Bagian-bagian kujang dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Papatuk/congo : adalah bagian ujungsenjata yang berujung lancip dan tajam
- Eluk/siih : adalah lekukan pada bagian punggung
- Mata : yaitu lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak
- Tonggong: adalah bagian punggung kujang yang melengkung ke dalam, bagian ini biasanya tudak tajam
- Pamor : garis-garis alur besi hasil tempaan yang terdapat pada mata pisau yang tajam
- Beuteung : bagian kujang yang melengkung ke dalam, mata pisau yang tajam
- Tadah : adalah lengkungan menonjol pada bagian perut/beuteung
- Paksi : Bagian bawah kujang yang sedikit menonjol yang menjadi batas antara gagang dengan besi kujang
- Selut : Cincin logam yang dipasang pada gagang sebagai pelindung dan batas gagang dengan kujang
- Ganja/Landean : Kepala gagang yang diukir dengan seksama. Ukiran pada kepala gagang menunjukan tingkat sosial pemegangnya dan dapat pula menunjukan fungsi kujang tersebut.
Pemilikan dan pemakaian kujang, ditentukan oleh kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti:
Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
Kujang Jago : dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
Kujang Kuntul : dipakai
oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih
Jaba, dan Patih Palaju), juga
digunakan oleh para Mantri (Mantri
Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan
Mantri Jero)
Kujang Bangkong : dipakai oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
Kujang Naga : dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
Kujang Badak : dipakai
oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para
Palayang, para Pangwelah, para Bareusan,
parajurit, Paratulup,
Sarawarsa, para Kokolot.
Selain
diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh
kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung,
yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”.
Kujang
Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang
bermata-9, sama dengan peruntukan raja.Kujang Ciung bagi para Pandita
bermata-7, para Geurang Puun,Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang
Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang
Ciung bermata-1.
Di
samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan
pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya
khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana,
Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja
dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi
utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka
pengayom kesentosaan seluruh isi negara.
Kelompok
lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita
Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi
tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu
Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla
Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya
terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya
yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya
biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.
Untuk
membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan
untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan
yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya
kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning
pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke
bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.
Kaum
wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang
ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut
Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian
perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang,
ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan
kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya,
bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.
BENTUK-BENTUK UNIK KUJANG
Kujang yang dikenal oleh masyarakat kita pada umumnya adalah Kujang Ciung.
Pada lambang daerah, pada lambang perusahaan pupuk dan semen, pada
lambang batalion, pada tugu-tugu dan lain-lain tampak jelas mengindikasi
pada bentuk Kujang Ciung. Padahal, kujang memiliki beragam bentuk dan
nama yang menyesuaikan bentuk tersebut. Beragam bentuk dan nama
diperkirakan memiliki simbol yang dipakai dalam tatanan masa keemasan
kujang yaitu masa kerajaan Sunda Pajajaran.
Istilah kujang sendiri memiliki banyak penafsiran, salah satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata kudi dan hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan Madura.
Istilah kujang sendiri memiliki banyak penafsiran, salah satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata kudi dan hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan Madura.
Bentuk-bentuk kujang yang unik adalah sebagai berikut:
1. Kujang Cupu
2. Kujang Karsagada
3. Kujang Bondan
4. Kujang Kundang
5. Kujang Puraga
6. Kujang Raksa
7. Kujang Kembang
8. Kujang Naga
9. Kujang Wayang
10. Kujang Pasundan
Sumber:
PATOKAN DALAM PEMBUATAN KUJANG
Proses Pembuatan Kujang
Pada
zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan
benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada
patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:
Patokan Waktu.
Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya,
ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan
“Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang
Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang
digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang
Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara
waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam
dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku
di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).
Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang). Seorang
Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti
dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa
syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu.
Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di
samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia
mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam
membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib
Sakti” sebagai tuahnya.
Bahan Pembuatan Kujang. Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:
- Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
- Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.c) Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
- Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
- “Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb.
- Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
- “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.
Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang. Tempat
untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi baja, baik kudi,
golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau
Panday. Tempat khusus untuk membuat membuat (menempa) perkakas
kujang disebut Paneupaan. Seperti dalam lakon Pantun Bogor
kisah“Kalangsunda Makalangan” terdapat ungkapan yang menggamvarkan
kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan
kalimat berbunyi:
“Yuni
Kudi sa-Gosali, rua Kujang sa-Paneupaan”, ungkapan tersebut
mengindi-kasikan bahwa istilah “Paneupaan” benar-benar berupa nama untuk
tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini lebih diperjelas lagi dengan
sebutan “Guru Teupa” bagi si pembuat kujang, yang mungkin sederajat
“Empu” pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa.
CARA MENGGUNAKAN KUJANG
Cara Membawa Kujang: Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.
Disoren;
yaitu dengan cara digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan
menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang
dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti
Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.
Ditogel;
yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan
tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking
(kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang
Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil.
Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu
dibawa dengan cara ditogel.
Dipundak;
yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa
tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak,
karena memiliki tangkai panjang.
Dijinjing;
yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa
dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai
sarung (kowak) alias telanjang.
Cara Menggunakan Kujang: Tersebar
berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya
(paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai) menggunakan ibu jari
kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk
dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa
cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata
“telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak).
Jika
para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian,
hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk
ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor
senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok,
arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi,
sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari
tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa
sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.
Berita
tadi jika dibandingkan dengan berita Pantun Bogor dan beberapa temuan
penulis, ternyata bertabrakan. Sebagaimana diutarakan pada bagian
terdahulu, bahwa Kujang Pajajaran merupakan benda tajam yang lengkap
memakai ganja (tangkai) dan memakai kowak (sarung). Kalau timbulnya
pendapat seperti tadi, hal ini mungkinberanjak dari temuan-temuan yang
tergali dari dalam tanah, mayoritas kujang telanjang tanpa ganja tanpa
kowak bahkan tanpa mata (berlubang-lubang).
Sebenarnya,
keberadaan kujang yang ditemukan seperti itu akibat dari terlalu
lamanya tertimbun tanah, sehingga ganja atau kowak-nya yang terbuat dari
kayu mengalami lapuk dan hancur. Sedangkan jarang ditemukan kujang yang
masih lengkap dengan matanya, inipun mungkin saja setiap penemu kujang
tadi mencungkilnya, sebab kebanyakan mata kujang terbuat dari emas, batu
permata yang indah-indah, dan cukup mahal harganya. Kujang yang masih
lengkap dengan matanya, kini masih bisa dilihat di Museum Geusan Ulun
Kabupaten Sumedang.
Pada bagian-bagian terdahulu diutarakan, bahwa kujang memiliki fungsi sebagai pusaka, pakarang, pangarak, pamangkas.
0 komentar:
Posting Komentar