BERDIRINYA KABUPATEN BANDUNG MENURUT
Prof. Dr. A. Sobana H. M.A
(Wawancara tanggal 14 Oktober 2011)
Kamis,19 Desember 2013Sebelum Kabupaten Bandung
berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut
naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur
adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar.
Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak
pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun
temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur.
Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah
yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri
atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
|
||
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis). |
Ketika
Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri
Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah
kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun
berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat
terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang
berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan
Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan
Kesultanan Banten.
Untuk
mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria
Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan
(1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal
dengan sebutan Rangga Gempol I. Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan
Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya,
jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I
pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga
Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan
Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran
Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut.
Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram. |
Terjadinya
pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara
lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara
langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan
daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari
pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah.
Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan,
pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur.
Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung
Lumbung (daerah Bandung) pada tahun1632. Setelah "pemberontakan" Dipati
Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati
Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari
hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di
Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah
Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu
Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura
dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap
telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Ketiga
orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti
diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung
Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi
Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha.
Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan
Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip
(penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan
hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai
hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.
Berdirinya
Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama
dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian
(bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian
Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah
dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga
bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali
ke daerah masing-masing. Sajarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa
Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram
kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di
sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung
Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang
terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah
pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten.
Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya
disebut Bumi Tatar Ukur Gede.
Wilayah
administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga
akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat
yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber
pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah
antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan,
Sagaraherang, dan sebagian Tanah medang.
Boleh
jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang,
Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar
Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan
wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini
benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya
mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin,
Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan
lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.
Kabupaten
Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan
Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka
sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan
Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal
khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar
dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya. Besarnya
kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan
hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah
hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang,
hak memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan
dan hak mengadili.
Dengan
sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka
tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati
Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat
dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan
miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati
dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu,
demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala
distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.
Kabupaten
Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677.
Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi
akibat perjanjian Mataram - Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20
Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan
Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa
tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.Sistem
pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena
Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan
jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini
bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak
lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan.
Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai
pengawas (opzigter) daerah Cirebon - Priangan (Cheribonsche
Preangerlandan).
Salah
satu kewajiban utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan
penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan
hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara
itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya.
Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati
tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar
bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik,
pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang
itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun
rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya
ditentukan oleh Kompeni.
Hingga
berakhirnya kekuasaan Kompeni - VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung
beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara
turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun
(merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun
1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni
Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung
Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R.
Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A.
Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829.
Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten
Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.
Sumber:
PENELUSURAN SEJARAH Pemerintah Kabupaten Bandung Tahun 1846 - 2010
0 komentar:
Posting Komentar