Lompat batu syarat menikah bagi lelaki Nias? Ini perlu diluruskan..!
Mungkin anda pernah mendengar gurauan saudara-saudara kita non Nias yang mengatakan bahwa lompat batu adalah syarat bagi lelaki untuk bisa menikah. Memang hal itu tidak sepenuhnya salah, namun perlu diluruskan.Hari ini saya menelusuri sebuah karya ilmiah penelitian (tesis) melalui www.pps.unud.ac.id. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa ada pergeseran makna-makna filosofis atraksi hombo batu dan atribut serta atraksi pendukung lainnya yang dikemas dalam suatu paket wisata. Contoh ‘makna’ hombo batu (lompat batu) yang begitu populer di media seperti yang ditulis oleh Hernasari berikut ini:
“Di Pulau Nias, Sumatera Utara, ada
tradisi yang tidak boleh Anda lewatkan jika berlibur ke sana.
Saksikanlah hombo batu, tradisi lompat batu setinggi 2 meter untuk para
pemuda. Mereka belum boleh menikah, jika belum lulus ujian ini”.
Dalam tulisan Hernasari diatas seolah-olah merupakan kebenaran nyata
yang terjadi di Nias secara menyeluruh. Apalagi pada paragraf ke enam
tulisannya begitu meyakinkan pembaca bahwa apa yang disaksikannya
adalah benar adanya dengan menulis seperti berikut:
“Uniknya, pemuda yang akan menikah
diharuskan lulus ujian lompat batu ini. Karena setiap pemuda yang
berhasil melompati batu dianggap sudah dewasa dan matang secara fisik.
Jika belum berhasil, maka ia belum dinilai dewasa dan belum diizinkan
menikah. Menantang bukan?”
Cuplikan artikel tersebut, kelihatannya menarik,unik dan
menantang. Namun, pemaknaan secara filosofis yang sesungguhnya perlu
diluruskan.Menurut para orang tua di beberapa desa di Maenamőlő seperti di Desa Bawőmataluo, Hilisimaetanő, Hiliamaetaniha dan beberapa desa adat lainnya yang dirangkum oleh budayawan Nias: Hikayat Manaő, bahwa “Latar belakang hombo batu di Teluk Dalam, dimulai karena perang sering terjadi antar-desa. Lompat batu di Teluk Dalam didirikan sebagai patokan untuk setiap orang dalam rangka untuk dipersiapkan sebagai seorang patriot untuk dikirim ke medan perang.” Artinya, batu ini sebagai sarana untuk berlatih secara tangkas dalam melompati pagar-pagar atau rintangan yang mungkin dialami di medan perang. Dengan latihan secara rutin, para pemuda akan semakin kuat secara fisik dan siap menjadi patriot bagi desanya bila ada ancaman dari luar atau desa lain.
Lalu bagaimana sebenarnya sejarah lompat batu Pulau Nias tersebut? Dalam tesis Tafaewasi tersebut dituliskan seperti berikut ini:
Munculnya hombo batu pada mulanya bukan sebagai olah raga atau hiburan semata seperti yang kita saksikan dewasa ini. Hombo batu memiliki sejarah yang sarat oleh peperangan, patriotisme dan bersifat heroik.
Menurut penuturan Bapak Emanuel Fau yang diamini oleh Bapak Amuri Z. Wau selaku kepala adat (BalöZi’ulu) Hiliamaetaniha, hombo batu pada mulanya tercetus karena sering terjadi perang antar-daerah atau Öri. Kala itu, Öri Maenamölö yang dipimpin oleh Amada Samofo mau direbut oleh Öri Laraga yang dipimpin oleh Etebaekhu. Melihat jumlah prajuritnya yang tidak sebanding dengan jumlah prajurit Öri Laraga, Amada Samofo membuat strategi dengan cara menunjuk sebatang pohon beringin besar yang sudah roboh dengan ketinggian diameternya sekitar empat meter, untuk dilompati. Fau menjelaskan bahwa Amada Samofo memberi syarat, siapa di antara kedua pemimpin öri yang berhasil muhomboi (melompati/melampaui) pohon beringin tersebut maka öri-nyalah yang berhak menduduki Maenamölö. Sebaliknya, apabila Öri Laraga yang kalah, maka mereka harus meninggalkan Maenamölö. Kedua pimpinan daerah (öri) ini merupakan manusia yang tangguh.
Amada Samofo sudah menduga bahwa beliau dan musuhnya, yakni Etebaekhu akan mampu melompati geu avöni (pohon beringin) tersebut. Oleh karena itu, beliau minta giliran pertama untuk melompati batang pohon tersebut, dan dia berhasil melakukannya. Beliau tidak rela apabila Öri Maenamölö dikuasai oleh Laraga. Maka, ketika akan tiba giliran Etebaekhu yang melompati batang pohon itu, Amada Samofo memberikan isyarat kepada prajuritnya untuk menyambut Etebaekhu di seberang pohon tersebut dengan menebas paha dan lehernya ketika dia akan mendarat dari lompatan terhadap pohon beringin tersebut. Pada akhirnya, Laraga dipukul kalah dan pimpinannya yakni Etebaekhu mati dibunuh. Dengan demikian Öri Maenamölö tetap dipertahankan hingga saat ini. Ketika memukul kalah Laraga, Amada Samofo menancapkan tongkatnya di Hilimaera yang kini populer disebut sebagai Daro’o Ji’o (ujung tongkat) sebagai perbatasan daerah Maenamölö dengan Laraga yang sekarang dikenal sebagai daerah Aramö di Nias bagian tengah.
Menyadari bahwa Laraga belum musnah dan pasti akan menuntut balas akan kekalahan dan kematian pimpinan mereka, maka Öri Maenamölö dihimbau untuk manöli, yakni memagari setiap desa di daerah Maenamölö dengan bambu runcing setinggi lebih dari 4 meter sehingga tidak dapat dilewati oleh musuh. Selain itu, para pemuda di tiap-tiap desa di Maenamölö dilatih untuk dapat melompati pagar-pagar tersebut. Barang siapa yang mampu melewati pagar tersebut maka akan dicalonkan jadi prajurit perang. Mengingat bambu runcing tidak begitu tebal sehingga mudah dilewati oleh musuh, maka para pemuda mulai memiliki inisiatif untuk meningkatkan kemampuan mereka di medan perang.
Bapak Emanuel Fau sebagai turunan keenam dari Amada Samofo dan Bapak Amuri Zohahau Wau selaku pimpinan adat (balöji’ulu) desa Hiliamaetaniha saat ini sekaligus sejarahwan Nias Selatan, menceritakan bahwa pada mulanya rintangan ini dibuat dari tanah liat yang dibangun setinggi 3 meter dengan ketebalan atau lebar ke belakang bagian bawah sekitar 120cm dan lebar lagö-lagö (cup/penutup) sekitar 90cm. Ketika diuji coba, ternyata tidak ada pemuda yang mampu melompatinya sehingga ketinggian diturunkan menjadi 2 meter. Pada ketinggian 2 meter, para pemuda mampu melompati tanah liat tersebut. Agar terdapat lompatan maksimal, di atas penutup tanah liat tersebut ditambahkan janur sehingga ketinggian menjadi 2,5 m. Ternyata, para pemuda masih mampu melewati tantangan tersebut. Kelemahan tanah liat adalah mudah roboh dan rusak. Oleh karena itu, para si’ulu mbanua (golongan bangsawan) membuat batu bersusun setinggi 2,5 m, tebal bagian bawah satu meter dan bagian atas (lagö- lagö) sekitar 80 cm. Si’ulu menjajikan kepada para pemuda desa bahwa siapa pun yang mampu melompati batu bersusun tersebut secara berturut-turut sebanyak tiga kali, akan dipilih menjadi prajurit perang. Hal senada diungkapkan oleh Bapak Bajamaoso Fau selaku balo ji’ulu di Desa Bawömataluo bahwa hombo batu didirikan sebagai syarat untuk memilih prajurit di medan perang.
Tantangan yang sangat menggiurkan pada saat itu bagi para pemuda bukan hanya kemampuan mereka dalam melompati batu tersebut. Sebab itu hanya syarat untuk menjadi prajurit di medan perang. Ketika telah menjadi prajurit, maka mereka berkesempatan untuk menjadi samu’i yakni prajurit perang yang berhasil mengalahkan musuh di medan perang dan mampu membawa penggalan kepala musuh yang akan dipersembahkan kepada si’ulu. Dengan berhasilnya seorang prajurit di medan perang, dia akan diberikan fondrakö (penghargaan) berupa rai ana’a (mahkota yang terbuat dari emas) dan dijamu dengan pesta yang sangat meriah.
Kedatangannya pun disambut oleh para wanita terhormat dan terpilih. Mereka menyambut pahlawan ini dengan anggun, gerakan mereka sangat lemah gemulai yang biasa disebut mogaele oleh warga Maenamölö. Beberapa pria pilihan juga mengiringi para wanita ini di sebelah kanan dan kiri sebagai pengawal sambil fatele yakni gerakan tarian yangmelambangkan kemenangan. Mereka bergerak dari rumah raja menuju pintu gerbang desa (bawagöli) sambil menyongsong samu’i tersebut, seperti terlihat pada gambar berikut ini:
sumber: Kumpulan Tesis Unud (Tesis Tafaewasi Wau)
0 komentar:
Posting Komentar