Senin, 18 Agustus 2014

KEBUDAYAAN SUNDA

0 komentar

Kamis, 18 November 2010

SERENTAUN, CIGUGUR, KUNINGAN

Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda, seperti Desa Kenekes Baduy, Desa Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, dan Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara.

Upacara Seren Taun Cigugur


Upacara seren taun adalah ungkapan syukur dan do’a masyarakat sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama setahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang. Seren taun dilaksanakan setiap tanggal 22 Bulan Rayagung sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender sunda. Selain ritual-ritual yang bersifat sakral, digelar juga kesenian dan hiburan. Dengan kata lain kegiatan ini merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan, dan juga dengan sesama mahluk atau alam baik lewat kegiatan kesenian, pendidikan, dan sosial budaya.

Upacara Seren Taun diawali dengan upacara ngajayak ( Menjemput Padi ), pada tanggal 18 Rayagung yang dilanjutkan dengan upacara penumbukan padi dan sebagai puncak acaranya pada tanggal 22 Rayagung. Ngajayak dalam bahasa sunda berarti menerima dan menyambut, sedangkan bilangan 18 yang dalam bahasa sunda diucapkan “dalapan welas” berkonotasi welas asih yang artinya cinta kasih serta kemurahan Tuhan yang telah menganugerahkan segala kehidupan bagi umat-Nya di segenap penjuru bumi.
Puncak acara Seren Taun berupa penumbukan padi pada tanggal 22 Rayagung juga memiliki makna tersendiri. Bilangan 22 dimaknai sebagai rangkaian bilangan 20 dan 2. Padi yang ditumbuk pada puncak acara sebanyak 22 kwintal dengan pembagian 20 kwintal untuk ditumbuk dan dibagikan kembali kepada masyarakat dan 2 kwintal digunakan sebagai benih. Bilangan 20 merefleksikan unsur anatomi tubuh manusia.
Baik laki-aki ataupun perempuan memiliki 20 sifat wujud manusia, adalah : 1. getih atau darah, 2. daging, 3. bulu, 4. kuku, 5. rambut, 6. kulit, 7. urat, 8. polo atau otak, 9. bayah atau paru, 10. ari atau hati, 11. kalilipa atau limpa, 12. mamaras atau maras, 13. hamperu ataun empedu, 14. tulang, 15. sumsum, 16. lamad atau lemak, 17. gegembung atau lambung. 18. peujit atau usus. 19. ginjal dan 20. jantung.
Ke 20 sifat diatas menyatukan organ dan sel tubuh dengan fungsi yang beraneka ragam, atau dengan kata lain tubuh atau jasmani dipandang sebagai suatu struktur hidup yang memiliki proses seperti hukum adikodrati. Hukum adikodrati ini kemudian menjelma menjadi jirim ( raga ), jisim ( nurani ) dan pengakuan ( aku ). Sedangkan bilangan 2 mengacu pada pengertian bahwa kehidupan siang dan malam, suka duka, baik buruk dan sebaginya.
Dalam upacara seren taun yang menjadi objek utama adalah PADI. Padi dianggap sebagai lambang kemakmuran karena daerah Cigugur khususnya dan daerah sunda lain pada umumnya merupakan daerah pertanian yang berbagai kisah klasik satra sunda, seperti kisah Pwah Aci Sahyang Asri yang memberikan kesuburan bagi petani sebagai utusan dari Jabaning Langit yang turun ke bumi. Dalam upacara seren taun inilah dituturkan kembali kisah-kisah klasik pantun sunda yang bercerita tentang perjalanan Pwah Aci Sahyang Asri. Selain itu, padi merupakan sumber bahan makanan utama yang memiliki pengaruh langsung pada ke-20 sifat wujud manusia diatas.
Dalam kesempatan Upacara Seren Taun kali ini menampilkan, Damar Sewu merupakan sebuah helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat seren taun Cigugur. Merupakan gambaran manusia dalam menjalani proses kehidupan baik secara pribadi maupun sosial. Tari Buyung yang merupakan tarian adat sunda yang mencerminkan masyrakat sunda dalam mengambil air, Pesta Dadung merupakan upacara sakral masyarakat dilaksanakan di Mayasih yang merupakan upaya meruwat dan menjaga keseimbangan antara positif dan negatif di alam, jadi pesta dadung merupakan upaya meruwat dan menjaga keseimbangan alam agar hama dan unsur negatif tidak menggangu kehidupan manusia.
Ngamemerokeun merupakan upacara sakral didalam tradisi Sunda Wiwitan yang masih dilaksanakan di daerah Kanekes ( Baduy ). Upacara ini berintikan “ mempertemukan dan mengawinkan “ benih padi jantan dan betina. Selanjutnya Tarawangsa yakni seni yang berasal dari mataram kira-kira abad ke XV, seni Tarawangsa disebut juga seni jentreng, menginduk kepada suara kecapi, juga ada yang menamai seni ngekngek, menginduk kepada suara tarawangsa. Mula-mula yang dipentaskan hanya tabuhan kecapi dan tarawangsa saja, tapi disertai penari, agar lebih menarik akhirnya Tarawangsa dilengkapi dengan tarian-tarian sederhana yang disebut tari Badaya.
Pwah Aci atau yang lebih dikenal dengan Dewi Sri merupakan tokoh yang telah melegenda dan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat agraris khususnya tatar sunda. Tari Pwah Aci merupakan salah satu seni tari spiritual yang di dalamnya tersirat ungkapan rasa hormat dan bhakti kepada Sang Pemberi Hidup melalui gerak dan ekspresi.
Seribu Kentongan merupakan acara penutup rangkaian acara di bukit Situ Hyang. lebih dari 1000 orang terdiri dari masyarakat dan anak-anak sekolah serta seluruh peserta pendukung rangkaian acara seren taun menuju Paseban Tri Panca Tunggal ditutup dengan 10 orang rampak kendang. Dimulai dengan pukulan induk oleh Ketua Adat kemudian diikuti oleh ribuan peserta. Ini memiliki makna bahwa kentongan awi ( Bambu ) memiliki arti kita harus senantiasa ingat dan eling pada asal wiwitan atau hukum adikodrati yang menentukan nilai kemanusian dan kebangsaan.
Dilihat dari sisi budaya, upacara adat seren taun yang sudah berjalan tahunan di Kabupaten Kuningan ini, tentunya merupakan hal yang dapat dibanggakan oleh masyarakat karena setiap helatan Seren Taun ini dilaksanakan, dapat mendatangkan ribuan pendatang wisatawan domestik maupun mancanegara. Hanya saja dilihat dari sisi ekonomis belum dapat memberikan efek ekonomi kepada masyarakat sekitar.
Sehingga merupakan tugas kita semua, dalam setiap helaran yang rutin dilaksanakan setiap tahun ini dapat memberikan nilai ekonomi yang fositif kepada masyarakat sekitar. Seperti contoh masyarakat sekitar dapat membuat cendra mata khas Cigugur dan barang-barang yang mempunyai nilai khas sehingga para pendatang mempunyai kenangan tersendiri terhadap upacara seren taun ini dengan membeli barang tersebut.
Semoga di tahun-tahun yang akan datang hal ini dapat dimanfaatkan sebagai ajang peningkatan ekonomi masyarakat dan juga meningkatkan dunia pariwisata masyarakat Kabupaten Kuningan. ( Bagian Humas Setda Kabupaten Kuningan).


Etimologi

Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda seren yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti tahun. Jadi Seren Tahun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan meningkat pada tahun yang akan datang.
Lebih spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. [1] Ada dua leuit; yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimat, leuit inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit pangiring atau leuit leutikLeuit indung digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung. (lumbung kecil).

Sejarah

Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuna. Kini upacara seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
Di Cigugur, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara.

Ritual Upacara

Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka ragam dari satu desa ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare (induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.
Puncak acara seren taun biasanya dibuka sejak pukul 08.00, diawali prosesi ngajayakbuyung, angklung baduy, dan angklung buncis-dimainkan berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang hidup di Cigugur. (menyambut atau menjemput padi), lalu diteruskan dengan tiga pergelaran kolosal, yakni tari
Rangkaian acara bermakna syukur kepada Tuhan itu dikukuhkan pula melalui pembacaan doa yang disampaikan secara bergantian oleh tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia. Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan akhir dari Ngajayak, yaitu penyerahan padi hasil panen dari para tokoh kepada masyarakat untuk kemudian ditumbuk bersama-sama. Ribuan orang yang hadir pun akhirnya terlibat dalam kegiatan ini, mengikuti jejak para pemimpin, tokoh masyarakat, maupun rohaniwan yang terlebih dahulu dipersilakan menumbuk padi. Puluhan orang lainnya berebut gabah dari saung bertajuk Pwah Aci Sanghyang Asri (Pohaci Sanghyang Sri).
Dalam upacara Seren Taun dilakukan berbagai keramaian dan pertunjukan kesenian adat. Ritual seren taun itu sendiri mulai berlangsung sejak tangal 18 Rayagung, dimulai dengan pembukaan pameran Dokumentasi Seni dan Komoditi Adat Jabar. Setiap hari dipertunjukkan pencak silat, nyiblung (musik air), kesenian dari Dayak Krimun, Indramayu, suling rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang dari Baduy.

Sejarah Berdirinya Kabupaten Bandung

0 komentar
 BERDIRINYA KABUPATEN BANDUNG MENURUT
Prof. Dr. A. Sobana H. M.A
(Wawancara tanggal 14 Oktober 2011)
Kamis,19 Desember 2013

    Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur.

Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut.

    Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut. Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.



Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.



Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administrative yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sajarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Sungat Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede.

Wilayah administrative Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanah medang.

Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Pemerintah Kerajaan Mataram, dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, maka sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis symbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.

Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.

Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ketangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram - Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni.Sistem pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon - Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).

Salah satu kewajiban utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni - VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.

Sumber:
PENELUSURAN SEJARAH Pemerintah Kabupaten Bandung Tahun 1846 - 2010

Jumat, 15 Agustus 2014

Buka Bersama Alumni Smp @ Sabtu 12 Juli 2014

0 komentar














Selasa, 12 Agustus 2014

MENGENAL PROFIL RAJA RAJA KEMAHARAJAAN SUNDA (669 S/D 1579 M)

0 komentar

MENGENAL PROFIL RAJA RAJA KEMAHARAJAAN SUNDA (669 S/D 1579 M)


  1. Maharaja Tarusbawa
      Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
     Tarusbawa dianggap sebagai  bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “tohaan di Sunda (raja Sunda). Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang memerintah  berikutnya.
     Setelah menerima tahta tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  kemudian memindahkan ibukota  kerajaan yang baru  di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang).
     Ia berusaha untuk mengembalikan kejayaan tarumanagara, seperti  yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon  kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya.), karena itu ia kemudian mendirikan ibukota baru.
    
  1. Sanjaya
    Setelah Tarusbawa  meninggal (w. 723 M), Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja Sunda, mewakili istrinya, yang merupakan cucu dari Tarusbawa. Pada tahun itu juga Sanjaya  berhasil merebut kekuasaan Galuh dari rahyang Purbasora, yang merebut kekuasaan dari ayahnya, Bratasenawa (rahyang Sena). Oleh karena itu seluruh wilayah Sunda  dan galuh berada di bawah kekuasaan Sanjaya.

  1. Temperan Barmawijaya
      Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram. Temperan berkuasa selama 7 tahun,  dari tahun 732-739 M. Ia meninggal ketika terjadi kudeta oleh Sang manarah atau Ciung Wanara.

  1. Hariang banga (739-766 M)
      Hariang banga  atau sang banga atau Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.
     Dari istrinya yang bernama Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah), sang banga  mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian menggantikan kekuasaan setelahnya.
      Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang banga  pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja  yang merdeka dari Galuh.
     Lepasnya pakuan dari galuh terjadi setelah  20 tahun Banga menjadi pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk  kekuasaanya adalah sebelah barat Citarum


  1. Rakeyan Medang
     Rakeyan Medang merupakan putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar Parbu Hulu Kujang.
     Ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.

                                            
  1. Rakeyan Hujung Hulon
       Rakeyan Hujung kulon bergelar Prabu Gilingwesi. Ia naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.
    Ia berasal dari galuh, putra Sang Mansiri. Karena  Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan menantunya, Rakeyan Hjung Kulon.
     Rakeyan Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga  tahta kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara.


  1. Rakeyan Diwus Prabu Pucuk Bumi (MP. 795-812 M)
        Rakeyan Diwus naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeya Hujung Kulon Prabu Giling Wesi, yang berkuasa selama 24 tahun., dari  tahun 795 hingga 812 M. Ia kemudian diagntikan oleh putranya, rakeyan Wuwus.


  1. Rakeyan Wuwus
      Rakeyan Wuwus naik tahta Sunda  menggatikan ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
    Ia menikah dengan putri Sang Welengan , Raja Galuh (mp. 806-813 M). Kekuasaan Galuh juga jatuh padanya ketika kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M), meninggal dunia. Sehingga Sunda Galuh berada di satu tangan lagi.
     Setelah Rakeyan Wuwus meninggal, kekuasaan tahta Sunda jatuh kepada adik iparnya dari Galuh, Arya Kedatwan. Hanya saja karena tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda, ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M. Dan kekuasaan jatuh kepada putranya, Rakeyan Windusakti.


  1. Prabu Darmaraksa (891-895 M)
      Arya Kedathan  bergelar Prabu Darmaraksa bersal dari istaanan Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan kaka iparnya, Rakeyan Wuwus meninggal dunia.
      Tetapi ia  tidak disenangi oleh pembesar istana Sundapura, sehingga kemudian ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M. Dan kekuasaan jatuh kepada putranya, Rakeyan Windusakti.


  1. Rakeyan Windusakti (895-913 M)
Rakeyan Windusakti  dengan gelar Prabu Dewageng, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Rakeyan Wusus. Ia berkuasa dari tahun 895 sampai 913 M.
    Ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading pada tahun 913 M.
                           

  1. Rakeyan Kamuning gading (913-916 M)
    Rakeyan Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi,  naik tahta  menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916 M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.

  1. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942 M)
      Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.


  1. Rakeyan Watu  Agung  (942-954 M)
       Rakeyan Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
      Ia kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M)

  1. Limburkancana  (954-964 M)
      Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta Rakeyan Watuagung. Ia merasa berhak tahta Sunda dan memerbut kekuasaan sebagai balasan terhadap kudeta yang dilakukan oleh pamannya, Rakeyan Jayagiri, terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.
      Setelahnya, tahta Sunda kemudian diteruskan oleh putra sulungnya, rakeyan Sundasamabawa yang bergelar Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M).


  1. Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M) 
      Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Prabu Limbur Kancana. Karena tidak mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh  kepada adik iparnya, Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.


  1. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung
     Prabu jayagiri rakeyan Wulung gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia naik tahta karena kakaknya tidak mempunyai anak.
     Rakeyan Jayagiri ini kemudian mewariskan kekuasaanya  kepada putranya,  Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).


  1. Prabu Brajawisesa (989-1012 M)
     Rakeyan Gendang dengan gelar Prabu Brajawisesa naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan Jayagiri. Ia kemudian digantikan oleh cucunya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)


  1. Prabu Dewa Sanghiyang (mp. 1012-1019 M)
      Prabu Dewa Sanghiyang naik tahta Sunda menggantikan kakeknya, Prabu Brajawisesa.
     Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).


  1. Prabu sanghiyang Ageung (1019-1030 M)
     Raja ke-19 dari tahta Sunda, yang memerintah dari tahun 1019 hingga 1030 M. Ia memerintah kerajaan Sunda dan berkedudukan di istana Galuh.
    Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati inilah yang kemudian  membuat prasasti Cibadak.


  1. Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M)
       Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M)
     Ayahnya,  Prabu sanghiyang Ageng , sedang ibunya berasal dari ibu dari putri Sriwijaya. Ia  menjadi menantu dari Darmawangsa Teguh dari Jawa, yang juga mertua dari Erlangga. Istrinya merupakan adik dari  Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian menjadi prameswarinya.  Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
     Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
     Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
    
21.    Prabu Dharmaraja (1042-1065 M)

     Raja Sunda ke-21, yang naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang meninggal pada tahun 1042 M.
      Prabu Dharmaraja  atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti Salakasunda buana. Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng  Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
     Jadi ada gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda  terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja.
      Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan kepada menantunya,  Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)


  1. Prabu Langlangbumi (mp. 1065-1155 M)

       Prabu Langlang bumi  atau Prabu langlang Buana naik tahta Sunda ke-22, menggantikan mertuanya, Prabu Darmaraja.
      Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M)

  1. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (mp. 1155-1157 M)
      Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Setelahnya tahta sunda kemudian diteruskan oleh putranya,  Prabu Darmakusuma. (mp. 1157-1175 M).


  1. PRABU DARMAKUSUMA (mp. 1156-1175 M)
    Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24,  menggantikan ayahnya, rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M). Dan kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dharmasiksa..


  1. PRABU DARMASIKSA (mp. 1175-1297 M)
      Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa.  Ia naik tahta menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), yang berkedudukan di Pakuan.
     Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan  ia  memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.
       Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M.

26.    RAKEYAN SAUNGGALAH PRABU RAGA SUCI  (mp. 1297-1303 M)
      Rakeyan Saunggalah bergelar Prabu Ragasuci, naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa, yang berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297 hingga 1303 M. Ia memerintah berkedudukan Di Saunggalah (Kuningan).
     Setelah meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman, sehingga  ia kemudian dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.
    

  1. PRABU CITRA GANDA (1303-1311 M)
       Prabu Citraganda naik tahta sunda menggantikan ayanya, Prabu ragasuci, Ia berkuasa selama 8 tahun (dari tahun 1303-1311 M), dan  berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.
      Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Prabu Linggadewata.  Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan (dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng tanjung.         

  1. PRABU LINGGA DEWATA (1311-1333 M)
      Prabu Linggadewata naik tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Citra Ganda.  Ia memerintah tahta Sunda  berkedudukan di Kawali  selama 22 tahun (mp. 1311-1333 M).
     Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa.
      Setelah meninggal ia dipusarakan di  Kikis, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama  Sang Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan kepada menantunya,  Prabu Ajiguna Linggawisesa.


  1. PRABU AJIGUNA WISESA (1333-1340 M)
       Prabu Ajigunawisesa naik tahta Sunda menggatikaan mertuanya, Prabu Linggadewata.   Ia memerintah berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun (mp. 1333-1340 M).
     Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati, putri dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang anak, yang pertama yaitu Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot, yang kemudian menggantikan tahtanya. Yang kedua adalah Dewi Kiranasari yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang ketiga (bungsu) adalah Prabu Suryadewata yang menjadi Raja (Ratu) Galuh. Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga, dan ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
     Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding.

  1. PRABU RAGAMULYA LUHUR PRABAWA ( mp. 1340-1350 M)
        Prabu Ragamulya Luhur Prabawa  naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Ia memerintah selama 10 tahun (mp. 1340-1350 M).
       Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Prabu Luhur Prabawa  terkenal juga dengan nama  Sang Aki Kolot.
      Setelah meninggal, ia dikenal  dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman. Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja  Linggabuana wisesa (mp. 1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat.


  1. MAHARAJA PRABU LINGGABUANA (1350-1357 M)
   
      Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, yang memerintah selama 7 tahun (1350-1357 M).
     Ia  gugur di medan perang bubat,  dalam mempertahankan harga diri dan melawan kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi.
     Karena anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka  kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.
      Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan nama  Sang Mokteng Bubat.

  1. PRABU BUNISORA (mp. 1357-1371 M)
      Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.  Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih kecil (unur 9 tahun). Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371 M)
     Pada masa pemerintahan  Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih mangkubumi, dan menggantikan kedudukannya, ketika sang raja  gugur.

  1. PRABU ANGGALARANG / PRABU NISKALA WASTUKANCANA (mp. 1371-1475 M).
     Prabu anggalarang  atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
       Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
     Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).

  1. PRABU SUSUK TUNGGAL (mp. 1382-1482 M)
      Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah Sunda cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.
      Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
      Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati.
          Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
        Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.


  1. SRIBADUGA MAHARAJA JAYADEWATA (mp. 1482-1521M)
     Prabu Jayadewata  merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
    Pada tahun 1482 M,  Jaya Dewata menerima tahta  Galuh dari ayahnya,  Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
      Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran
      Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.

  1. PRABU SURAWISESA (mp. 1521-1535 M)

      Surawisesa merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk Tunggal.    Surawisesa dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
         Surawisesa memerintah  selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
                               
  1. RATU DEWATA (mp. 1535-1543 M)
    Prabu Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia  naik tahta raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
    Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Rati Dewata sangat alim  dan taat beragama.
    Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah  dengan baik. Tapa brata  seperti yang dilakukannya hanya boleh  dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan  engkau berpurapura rajin puasa).
     Rupanya penulis kisah kuno ini  melihat bahwa kealiman  Ratu Dewata  itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).

  1. PRABU  SAKTI (mp. 1543-1551 M)
    Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun  .
     Untuk mengatasi  yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
     Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.



  1. PRABU NIKALENDRA (mp. 1551-1567 M)
     Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya,  naik tahta  sebagai penguasa Pajajaran  yang ke-5 (penguasa Sunda ke-   ), pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda  ke segala lapisan masyarakat.
    Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja  dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya  raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.

  1. PRABU SURYAKANCANA (mp. 1567-1579 M)
      Prabu Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang  berkuasa dari tahun.
      Prabu Surya Kancana atau Prabu Raga Mulya atau dalam cerita parahiyangan di sebut Nusya Mulya. Prabu Surya Kancana sendiri merupakan nama yang diberikan dalam naskah Wangsakerta.
      Prabu Suryakanacana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

Sabtu, 09 Agustus 2014

SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA

0 komentar


(Bagian-1 : Periode Sebelum Masehi s/d awal berdirinya Kerajaan Pajajaran)

Menurut cerita yang beredar di kalangan para sesepuh Sunda, runtutan para Buyut dan Rumuhun (Karuhun/Leluhur/Nenek Moyang) perjalanan bangsa Sunda di awali dari daerah Su-Mata-Ra. Mereka membangun kebudayaan selama beribu-ribu tahun di kawasan Mandala Hyang (Mandailing) daerah Ba-Ta-Ka-Ra sampai ke daerah Pa-Da-Hyang (Padang) pada periode 100.000 – 74.000 Sebelum Masehi. Pada masa tersebut para Karuhun tersebut telah memeluk ajaran yang disebut dengan nama “Su-Ra-Yana” atau ajaran Surya. Hingga satu masa Gunung Batara Guru meletus hingga habis, dan meninggalkan sisa Kaldera yang sekarang menjadi danau (Toba) yang sangat luas (100 Km2). Diberitakan dunia tertutup awan debu selama 3 bulan akibat meletusnya gunung tersebut.

Masa berganti cerita berubah, pusat kebudayaan bangsa Sunda yang disebut dengan mandala Hyang bergeser ke arah Selatan ke gunung Sunda, yang sekarang terkenal dengan nama Gunung Krakatau (Ka-Ra-Ka-Twa). Pada saat itu belum dikenal konsep Negara, tapi lebih kepada konsep Wangsa (bangsa). Wilayah Mandala Hyang pada masa itu dikenal dengan sebutan “Buana Nyungcung” karena terletak pada kawasan yang tinggi. Sementara Maya Pa-Da (Jagat Raya) dikenal dengan sebutan Buana Agung/Ageung/Gede dan Buana Alit (Jagat Alit), kata buana di jaman yang berbeda mengalami metaformosis kata menjadi “Banua” atau “Benua”. Puncak Pertala di Buana Nyungcung Gunung Sunda dijadikan Mandala Hyang, begitu juga dengan gelar Ba-Ta-Ra Guru yang menggantikan petilasan/tempat yang sudah hilang-menghilang. Pada masa ini kehidupan wangsa menunjukan kemajuan yang luar biasa, perkembangan budaya serta aplikasinya mencapai tahap yang luar biasa, dengan berbagai penemuan teknologi di darat dan laut. Daerah ini terkenal dengan sebutan “Buana A-ta” (Buana yang kokoh dan tidak bergeming). Oleh bangsa luar dikenal dengan sebutan “Atalan”(mungkin maksudnya Ata-Land).

Kembali kemajuan disegala bidang tersebut terhenti kembali ketika Gunung Sunda meletus (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), daratan terbagi menjadi dua (Sumatra dan Jawa), dan mengakibatkan banjir besar dan berakhirnya zaman es pada sekitar 15.000 SM. Semua bukti kemajuan jaman wangsa tersebut hilang dan tenggelam. Paska peristiwa banjir besar tersebut, bangsa Sunda kembali membangun peradabannya hingga menurut cerita dipimpin oleh seorang raja bernama Prabu Sindhu (Sang Hyang Tamblegmeneng, putra Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya) yang kemudian mengajarkan kepercayaan Sundayana (Sindu Sandi Sunda). Ajaran tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia. 

Perjalanan Prabu Sindu ke wilayah Jepang membuat ajarannya diberi nama Shinto, ajaran Surya (matahari), bahkan ajaran tersebut kemudian dijadikan bendera bangsa. Perjalanan penyebaran ajaran tersebut kemudian bergerak sampai ke daerah India, sampai kepada sebuah aliran sungai besar yang membelah sebuah lembah yang nantinya dikenal dengan Lembah Sungai Sindu (Barat mengenalnya dengan nama Lembah sungai Hindus), tepatnya di daerah Jambudwipa. Perkembangan ajaran tersebut sangat luar biasa sehingga menghasilkan sebuah peradaban tinggi “Mohenjodaro dan Harapa” yang memiliki kemiripan nama dengan “Maharaja-Sunda-Ra dan Pa-Ra-Ha/Hu persis dengan sebuah tempat di wilayah Parahyangan sekarang. Ajaran Prabu Sindu yang selanjutnya disebut agama Hindu asalnya merupakan ajaran Surayana-Sundayana, yang hingga kini masih tersisa di wilayah Nusantara ada di daerah Bali sekarang, serta agama Sunda Wiwitan yang isinya sama menjadikan Matahari serta Alam sebagai panutan hidup, dan bila dikaji lebih mendalam ajaran ini merupakan ajaran ”Monotheism” atau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kebudayaan bangsa Sunda yang berlokasi di sekitar Gunung Sunda (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), dibuktikan dengan ditemukannya fakta sejarah, dan penemuan arkeologis yang ada daerah Sumatera bagian Tengah dan Jawa bagian Barat, sebagai berikut:
1. Kota Barus di pesisir Barat Sumaetara
Merupakan satu-satunya kota di Nusantara yang namanya telah disebut sejak awal abad Masehi oleh literatur-literatur dalam berbagai bahasa, seperti dalam bahasa Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. Berita tentang kejayaan Barus sebagai bandar niaga internasional dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian dari kapur barus. Diceritakan, kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari Barousai itu merupakan salah satu bahan pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II, atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.

2.. Kerajaan Melayu Tua di Jambi

Meliputi : kerajaan Kandis yang terletak di Koto Alang, wilayah Lubuk Jambi, Kuantan, Riau. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada periode 1 Sebelum Masehi. Di samping itu, di daerah Jambi terdapat tiga kerajaan Melayu tua yaitu: Koying, Tupo, dan Kantoli. Kerajaan Koying terdapat dalam catatan Cina yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari wangsa Wu (222-208) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam ensiklopedi T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-812) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedi Wen-hsien-t’ung-k’ao. Diterangkan bahwa di kerajaan Koying terdapat gunung api dan kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau.

3. Kerajaan Salakanagara. 

Kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan tertua di Nusantara. Kerajaan ini berkedudukan di Teluk Lada Pandeglang namun ada juga yang menyatakan kerajaan ini berkedudukan di sebelah Barat Kota Bogor di kaki gunung Salak, konon nama gunung Salak diambil dari kata Salaka. Tidak diketahui pasti sejak kapan berdirinya kerajaan Salakanagara, namun berdasarkan catatan sejarah India, para cendekiawan India telah menulis tentang nama Dwipantara atau kerajaan Jawa Dwipa di pulau Jawa sekitar 200 SM, yang tidak lain adalah Salakanagara. Naskah Wangsakerta menyebutkan bahwa sejak ± tahun 130 Masehi pada saat itu sudah ada pemerintahan kerajaan Salakanagara di Jawa Barat. Salakanagara (kota Perak) pernah pula disebutkan dalam catatan yang disebut sebagai ARGYRE oleh Ptolemeus pada tahun 150 M. Kerajaan Salaka Nagara, memiliki raja bernama Dewawarman (I – VIII), yang menjadi asal muasal kemaharajaan Sunda Nusantara.

4. Situs Gunung Padang, Cianjur.

Merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Menurut legenda dan cerita para leluhur, Situs Gunungpadang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Dan ada juga yang mengatakan bahwa situs ini merupakan tempat penobatan para raja yang ada di dalam wilayah kemaharajaan Sunda Nusantara. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda (Sunda Wiwitan) untuk melakukan upacara. Berdasarkan Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan adanya suatu tempat "kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, yang tidak lain adalah situs ini.

Diduga situs gunung padang sesungguhnya bukanlah gunung, melainkan bangunan berbentuk mirip dengan piramida yang telah terkena timbunan debu vulkanik, sehingga terlihat seperti gunung yang sudah ditumbuhi pepohonan. Di dalam situs gunung padang dipercaya memiliki ruang didalamnya yang kini telah tertimbun tanah. Dalam situs gunung padang ditemukan alat musik yang berupa batu persegi panjang yang bergelombang pada bagian atasnya. Jika setiap gelombang dipukul, maka akan mengeluarkan bunyi yang berbeda antar gelombang satu dengan yang lain. dan alat musik dari batu itu dapat dimainkan dengan benar. 

Laboratorium Beta Analytic Miami, Florida, Amerika Serikat merilis usia bangunan bawah permukaan dari Situs Gunung Padang, sebagai berikut: 1). Pada lapisan tanah urug di kedalaman 4 meter (diduga man made stuctures /struktur yang dibuat oleh manusia) dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras 5 pada Bor-2, adalah sekitar 7.600-7.800 SM. Fantastis!! Usia bangunan ini jauh lebih tua dibandingkan dari Piramida Giza di Mesir yang berumur 2.560 SM. 2). Sedangkan umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter, adalah sekitar 14.500–25.000 SM. Ini sangat mengejutkan!! Artinya situs gunung padang ini telah ada sebelum peristiwa banjir besar (berakhirnya zaman es). Kontroversi merebak setelah Tim Katastropik Purba merilis ada sejenis piramida di bawah Gunung Padang. "Apa pun nama dan bentuknya, yang jelas di bawah itu ada ruang-ruang,". "Selintas tak seperti gunung, seperti manmade." Kecurigaan ini berawal dari bentuk Gunung Padang yang hampir segitiga sama kaki jika dilihat dari Utara

SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA

KERAJAAN SALAKANAGARA

1. Dewawarman I
2. Dewawarman II
3. Dewawarman III
4. Dewawarman IV
5. Dewawarman V
6. Dewawarman VI
7. Dewawarman VII
8. Dewawarman VIII

KERAJAAN TARUMANAGARA

1. Jayasingawarman (358 – 382) dia adalah menantu dari Dewawarman VIII
2. Dharmayawarman (382 – 395)
3. Purnawarman (395 – 434)
4. Wisnuwarman (434 – 455)
5. Indrawarman (455 – 515)
6. Candrawarman (515 – 535)
7. Suryawarman (535 – 561)
Tahun 526 menantu Suryawarman yang bernama Manikmaya mendirikan kerajaan baru di wilayah Timur (dekat Nagreg Garut) yang kemudian cicit dari Manikmaya yang bernama Wretikandayun mendirikan kerajaan baru tahun 612 yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan Galuh.
8. Kertawarman (561 – 628)
9. Sudhawarman (628 – 639)
10. Hariwangsawarman (639 – 640)
11. Nagajayawarman (640 – 666)
12. Linggawarman (666 – 669)
Anak Linggawarman yang bernama Sobakancana menikah dengan Daputahyang Srijayanasa yang kemudian mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anaknya yang bernama Manasih menikah dengan Tarusbawa yang kemudian melanjutkan kerajaan Tarumanagara dengan nama kerajaan Sunda. Karena Tarusbawa merubah nama kerajaan Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda maka Wretikandayun pada tahun 612 menyatakan kerajaan Galuh adalah sebagai kerajaan yang berdiri sendiri bukan dibawah kekuasaan kerajaan Sunda walaupun sebenarnya kerajaan-kerajaan itu diperintah oleh garis keturunan yang sama hanya ibukotanya saja yang berpindah-pindah (Sunda, Pakuan, Galuh, Kawali, Saunggalah).

KERAJAAN SUNDA/GALUH/SAUNGGALAH/PAKUAN

1. Tarusbawa (670 – 723)
2. Sanjaya/Harisdarma/Rakeyan Jamri (723 –732) ibu dari Sanjaya adalah putri Sanaha dari Kalingga sedangkan ayahnya adalah Bratasenawa (raja ke 3 kerajaan Galuh) Sanjaya adalah cicit dari Wretikandayun (kerajaan Galuh) Sanjaya kemudian menikah dengan anak perempuan Tarusbawa yang bernama Tejakancana.
3. Rakeyan Panabaran/Tamperan Barmawijaya (732 – 739) adalah anak Sanjaya dari istrinya Tejakancana. Sanjaya sendiri sebagai penerus ke 2 kerajaan Sunda kemudian memilih berkedudukan di Kalingga yang kemudian mendirikan kerajaan Mataram Kuno dan wangsa Sanjaya (mulai 732)
4. Rakeyan Banga (739 – 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
6. Prabu Gilingwesi (783 – 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (795 – 819)
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819 – 891)
9. Prabu Darmaraksa (891 – 895)
10. Windusakti Prabu Dewageng (895 – 913)
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916 – 942)
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
14. Limbur Kancana (954 – 964)
15. Prabu Munding Ganawirya (964 – 973)
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
17. Prabu Brajawisesa (989 – 1012)
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012 – 1019)
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030 – 1042) Ayah Sri Jayabupati (Sanghyang Ageng) menikah dengan putri dari Sriwijaya (ibu dari Sri Jayabupati) sedangkan Sri Jayabupati sendiri menikah dengan putri Dharmawangsa (adik Dewi Laksmi istri dari Airlangga)
21. Raja Sunda XXI
22. Raja Sunda XXII
23. Raja Sunda XXIII
24. Raja Sunda XXIV
25. Prabu Guru Dharmasiksa
26. Rakeyan Jayadarma, istri Rakeyan Jayadarma adalah Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal anak dari Mahesa Campaka, Mahesa Campaka adalah anak dari Mahesa Wongateleng, Mahesa Wongateleng adalah anak dari Ken Arok dan Ken Dedes dari kerajaan Singasari.
27. Anak Rakeyan Jayadarma dengan Dyah Singamurti bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya. Karena Jayadarma meninggal di usia muda dan Dyah Singamurti tidak mau tinggal lebih lama di Pakuan maka pindahlah Dyah Singamurti dan anaknya Raden Wijaya ke Jawa Timur yang kemudian Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit pertama.
28. Prabu Ragasuci (1297 – 1303) dia adalah adik dari Rakeyan Jayadarma. Istri Ragasuci bernama Dara Puspa seorang putri dari Kerajaan Melayu. Dara Puspa adalah adik Dara Kencana (yang menikah dengan Kertanegara dari Singasari).
29. Prabu Citraganda (1303 – 1311)
30. Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333)
31. Prabu Ajigunawisesa (1333 – 1340) menantu Prabu Lingga Dewata
32. Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357), dijuluki Prabu Wangi yang gugur di Perang Bubat.
33. Prabu Mangkubumi Suradipati/Prabu Bunisora (1357 – 1371) adik Lingga Buana
34. Prabu Raja Wastu/Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) anak dari Prabu Lingga Buana (Prabu Wangi). Istri pertamanya bernama Larasarkati dari Lampung memiliki anak bernama Sang Haliwungan setelah menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri keduanya adalah Mayangsari putri sulung Prabu Mangkubumi Suradipati/Bunisora memiliki anak yang bernama Ningrat Kancana setelah menjadi Raja Galuh bergelar Prabu Dewaniskala.

Setelah Prabu Raja Wastu meninggal dunia kerajaan dipecah menjadi 2 dengan hak serta wewenang yang sama, Prabu Susuktunggal menjadi raja di kerajaan Sunda sedangkan Prabu Dewaniskala menjadi raja di kerajaan Galuh. Putra Prabu Dewaniskala bernama Jayadewata, mula-mula menikah dengan Ambetkasih putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian menikah lagi dengan Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa yang menjadi raja Singapura) setelah itu ia menikah lagi dengan Kentringmanik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal.

Pada tahun 1482 Prabu Dewaniskala menyerahkan kekuasaan kerajaan Galuh kepada puteranya (Jayadewata), demikian pula dengan Prabu Susuktunggal, ia menyerahkan tahta kerajaan kepada menantunya (Jayadewata), maka jadilah Jayadewata sebagai penguasa kerajaan Galuh dan Sunda dengan gelar Sri Baduga Maharaja atau yang dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.

PENUTUP:

Kami berharap kisah/cerita/fakta sejarah dapat diungkap dengan proporsional karena selama ini saya dan juga bangsa Indonesia lainnya merasa telah “tertipu” oleh politik yang menyembunyikan fakta sejarah yang sebenarnya. Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa Sanjaya pendiri Mataram Kuno adalah seorang putra Sunda? Mengapa tidak pernah disebutkan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya seorang putera Sunda? Demikian pula dengan sejarah Majapahit, kenapa tidak pernah pula disebutkan bahwa Raden Wijaya raja pertama Majapahit adalah seorang putera Sunda? 

Mudah-mudahan kejadian “penipuan sejarah” tidak terulang lagi dimasa yang akan datang, terlepas dari keuntungan politik yang akan diperoleh, walau bagaimananpun juga masyarakat tentu akan lebih menghargai informasi yang jujur.
SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA
(Bagian-2) - Sejararah Kerajaan Pajajaran

SEJARAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN

Nama-nama Raja Pajajaran:

1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513)
Pada masa inilah kerajaan Pajajaran mengalami kemajuan serta kemakmuran.
2. Surawisesa (1513 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5.Raga Mulya (1551 – 1579)

1. Jayadewata/Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi (1474 – 1513).

Kerajaan Pakuan Pajajaran diawali oleh pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) yang memerintah selama 39 tahun (1474 – 1513). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya. Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima Tahta Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima Tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. 

Di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya). Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). 

Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di perang Bubat dan digelari Prabu Wangi. Tentang hal ini, Pustaka Raja-raja Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan cerita kebesaran dari Prabu Maharaja Lingga Buana, sebagai berikut:

“Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat”. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja Linggabuana membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja Lingga Buana mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

“Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan “dasa”, “calagra”, “kapas timbang”, dan “pare dongdang”.

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran agama. Dengan tegas di sini disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu “dasa” (pajak tenaga perorangan), “calagra” (pajak tenaga kolektif), “kapas timbang” (kapas 10 pikul) dan “pare dondang” (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.

Dalam kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa “piteket” karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas “kabuyutan” di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai “lurah kwikuan” yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak. Untuk kesejahteraan rakyatnya yang sebagian besar bertani dan juga untuk menghalangi serangan pihak musuh maka pada masa itu dibuat sebuat sodetan sungai yang sekarang dikenal dengan nama kali Cidepit dan Cipakancilan. Sungai Cidepit dan Cipakancilan adalah sungai buatan yang sumber airnya berasal dari sungai Cisadane. Sama seperti kerajaan sebelumnya, kerajaan Pajajaran sendiri pada masa kejayaannya sudah menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah serta Eropa. Pelabuhan lautnya ada di Sunda Kalapa yang kemudian berubah nama menjadi Batavia dan kemudian berubah lagi menjadi Jakarta yang sekarang.

Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai jaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.

Prabu Siliwangi memiliki beberapa orang anak dari beberapa orang isteri. Dari istrinya yang bernama Kentring Manik Mayang Sunda (beragama islam, puteri Prabu Susuktunggal, raja kerajaan Sunda) keturunan-keturunannya pergi mengembara serta membangun wilayah pesisir Utara di wilayah Karawang. Dari istrinya yang bernama Subang Larang (juga beragama Islam, puteri Ki Gedeng Tapa, menjadi raja Singapura), memiliki 3 orang anak yaitu: Kian Santang, Cakrabuana, dan Rara Santang. 

Kian Santang adalah anaknya yang paling sakti serta memiliki ilmu yang sangat tinggi. Pada usia 22 tahun, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Munding Kawati, putra sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Kian Santang muda tertarik untuk mengikuti agama ibunya (Subang Larang), hingga untuk itu beliau belajar agama islam ke Timur Tengah dan tanah suci Mekkah. Sementara adiknya Cakrabuana mengembara ke sekitar wilayah Cirebon. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana dari mertuanya (Ki Danusela), sedangkan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang). Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Menurut cerita versi Pajajaran beliau yang mendirikan kota Cirebon. Adapun Rara Santang mengembara hingga ke Sumatera untuk belajar agama Islam, hingga sampai ke Timur Tengah dan MENIKAH DENGAN SYARIEF ABDULLAH AL MISRI (RAJA MESIR) keturunan RASULULLAH MUHAMMAD SAW yang ke XXII. Rara Santang dikenal juga sebagai Ibu Syarifah Mudaif, ibu dari Syarief Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Wali Sanga), Raja Cirebon. 

Sekembalinya dari tanah suci, Kian Santang mulai menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran, termasuk di lingkungan istana Pajajaran. Pada suatu ketika, Kian Santang berniat mengajak ayahnya Prabu Siliwangi untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget mendengar niat anaknya tersebut, walaupun beliau tidak membenci agama Islam (istrinya Subang Larang beragama islam), namun beliau lebih menyukai agama leluhur (Sunda Wiwitan), dan menolak terhadap ajakan anaknya tersebut. Kian Santang kecewa, namun beliau tak dapat memaksa ayahnya, dan terus menyebarkan agama Islam di bumi Pajajaran. 

Dalam naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2, diceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka (1479 M), Syarief Hidayatullah menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah cucu Sri Baduga dari putrinya Rara Santang, yang dijadikan raja (penguasa) Cirebon oleh uanya, Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Karena Syarif Hidayatullah juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Sri Baduga. Pangeran Cakrabuana dan Syarif Hidayatullah tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu ketegangan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah peperangan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. 

Seiring perjalanan waktu, semakin banyak rakyat Pajajaran yang memeluk agama Islam. Perkembangan ini menimbulkan ketegangan antara Kian Santang dengan ayahnya (Prabu Siliwangi), hingga pada suatu ketika terdengar berita oleh Sri Baduga bahwa Kian Santang hendak menyerang kerajaan dan memaksa ayahnnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi tidak ingin berperang melawan putranya Kian Santang, akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan istana kerajaan. Mendengar kepergian ayahnya, Kiansantang bersedih dan bermaksud untuk mengejar ayahnya untuk diajak kembali ke istana. Dengan kesaktiannya, Kian Santang dapat mengejar ayahnya hingga ke daerah Garut Selatan. Namun Prabu Siliwangi tidak ingin menemui putranya, dan beliau beserta pengikutnya memilih untuk moksha di daerah Garut Selatan (Legenda menceritakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pengikutnya berubah menjadi harimau).

Kiansantang kembali ke istana Pajajaran, dan selanjutnya diangkat menjadi Raja Pajajaran. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu beliau berniat bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'rifatan. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Surawisesa (saudara seayah, dari istri Prabu Sliwangi, Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal).

2. Surawisesa (1513 – 1535)

Setelah Sri Baduga tiada, Pajajaran dengan Cirebon berada pada generasi yang sejajar. Meskipun yang berkuasa di Cirebon adalah Syarief Hidayatullah, tetapi dibelakangnya berdiri Pangeran Cakrabuana (dikenal juga sebagai Haji Abdullah Iman). Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa, beliau dipuji dalam Carita Parahiyangan dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Untuk memajukan perdagangan dan memperkuat pertahanan kerajaan, Surawisesa melakukan perjanjian dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dalam perjanjian ini disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Kemudian pada saat benteng mulai dibangun, pihak Sunda akan menyerahkan 1000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan muatan sebanyak dua “costumodos” (kurang lebih 351 kuintal). Perjanjian ini ditandatangani tanggal 21 Agustus 1522, ketika Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme berkunjung ke Ibukota Pakuan. Ten Dam menganggap bahwa perjanjian itu hanya lisan. Namun, sumber Portugis yang kemudian dikutip Hageman menyebutkan “Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield”.

Perjanjian Pajajaran – Portugis sangat mencemaskan Trenggana, Sultan Demak III. Selat Malaka, pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara sudah dikuasai Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai. Bila Selat Sunda yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara di selatan juga dikuasai Portugis, maka jalur perdagangan laut yang menjadi urat nadi kehidupan ekonomi Demak terancam putus. Trenggana segera mengirim armadanya di bawah pimpinan Fadillah Khan yang menjadi Senapati Demak. Fadillah Khan adalah menantu Raden Patah sekaligus menantu Syarief Hidayatullah (Fadillah Khan memperistri Ratu Pembayun, janda Pangeran Jayakelana. Kemudian ia pun menikah dengan Ratu Ayu, janda Sabrang Lor /Sultan Demak II. Selain itu Fadillah masih terhitung cucu Sunan Ampel (Ali Rakhmatullah) sebab buyutnya adalah kakak Ibrahim Zainal Akbar ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah mertua Raden Patah (Sultan Demak I). Carita Parahiyangan menyebut Fadillah dengan Arya Burah.

Pasukan Fadillah yang merupakan gabungan pasukan Demak-Cirebon menyerang Banten, pintu masuk Selat Sunda. Kedatangan pasukan ini telah didahului dengan huru-hara di Banten yang ditimbulkan oleh Pangeran Maulana Hasanudin, putra Syarief Hidayatullah dan para pengikutnya. Serangan pasukan Fadillah menyebabkan pasukan Pakuan Pajajaran di Banten terdesak. Bupati Banten beserta keluarga dan pembesar keratonnya mengungsi ke Ibukota Pakuan. Pangeran Hasanudin kemudian diangkat oleh ayahnya (Syarief Hidayatullah), menjadi Bupati Banten (1526), bagian dari Kesultanan Cirebon. Setahun kemudian, Fadillah bersama pasukannya menyerang dan merebut pelabuhan Kalapa. Bupati Kalapa bersama keluarga dan para menteri kerajaan yang bertugas di pelabuhan gugur. Pasukan bantuan dari Pakuan pun dapat dipukul mundur. Keunggulan pasukan Fadillah terletak pada penggunaan meriam yang justru tidak dimiliki oleh Laskar Pajajaran.

Bantuan Portugis datang terlambat karena Francisco de Sa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Keberangkatan ke Sunda dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. Galiun yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai di Teluk Benggala. De Sa tiba di Malaka tahun 1527. Ekspedsi ke Sunda bertolak dari Malaka, mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai Hasanudin, perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di Muara Cisadane, De Sa memancangkan padrao pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane “Rio de Sa Jorge”. Kemudian galiun De sa memisahkan diri. Hanya kapal brigantin (dipimpin Duarte Coelho) yang langsung ke Pelabuhan Kalapa. Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fadillah. Dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai. 

Demikianlah, pada masa pemerintahan Surawisela, wilayah Banten dan Sunda Kalapa dikuasai oleh Cirebon-Demak. Meskipun, Cirebon sendiri sebenarnya relatif lemah. Akan tetapi berkat dukungan Demak, kedudukannya menjadi mantap. Perang Cirebon – Pajajaran berlangsung 5 tahun lamanya. Yang satu tidak berani naik ke darat, yang satunya lagi tak berani turun ke laut. Cirebon dan Demak hanya berhasil menguasai kota-kota pelabuhan. Hanya di bagian timur pasukan Cirebon bergerak lebih jauh ke selatan. Pertempuran Cirebon dengan Galuh terjadi tahun 1528. Di sini pun terlihat peran Demak karena kemenangan Cirebon terjadi berkat bantuan Pasukan meriam Demak tepat pada saat pasukan Cirebon terdesak mundur. Laskar Galuh tidak berdaya menghadapi “panah besi yang besar yang menyemburkan kukus ireng dan bersuara seperti guntur serta memuntahkan logam panas”. Tombak dan anak panah mereka lumpuh karena meriam. Maka jatuhlah Galuh. Dua tahun kemudian jatuh pula Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh.

Sumedang masuk ke dalam lingkaran pengaruh Cirebon dengan dinobatkannya Pangeran Santri menjadi Bupati Sumedang pada tanggal 21 Oktober 1530. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Syarief Hidayatullah. Buyut Pangeran Santri adalah Syekh Datuk Kahfi pendiri pesantren pertama di Cirebon. Ia menjadi bupati karena pernikahannya dengan Satyasih, Pucuk Umum (Unun?) Sumedang. Secara tidak resmi Sumedang menjadi daerah Cirebon. Dengan kedudukan yang mantap di timur Citarum, Cirebon merasa kedudukannya mapan. Selain itu, karena gerakan ke Pakuan selalu dapat dibendung oleh pasukan Surawisesa, maka kedua pihak mengambil jalan terbaik dengan berdamai dan mengakui kedudukan masing-masing. Tahun 1531 tercapai perdamaian antara Surawisesa dan Syarief Hidayatullah. Masing-masing pihak berdiri sebagai negara merdeka. 

Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang untuk mengenang kebesaran ayahandanya. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap mendiang ayahnya, beliau membuat sasakala (tanda peringatan) buat ayahnya. Itulah Prasasati Batutulis yang diletakkannya di Kabuyutan tempat tanda kekuasaan Sri Baduga yang berupa lingga batu ditanamkan, dan memuat tulisan:

“Semoga selamat, ini adalah tanda peringatan untuk Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana dinobatkan dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran. Sri sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit pertahanan Pakuan, dia putra Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusalarang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, undakan untuk hutan Samida dan Sahiyang Talaga Rena Mahawijaya. Dibuat dalam saka 1455.”

Surawisesa tidak menampilkan namanya dalam prasasti. Ia hanya meletakkan dua buah batu di depan prasasti itu. Satu berisi astatala ukiran jejak tangan, yang lainnya berisi padatala ukiran jejak kaki. Mungkin pemasangan batutulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu “penyempurnaan sukma” yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu, sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi.

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang kesemuanya penguasa di Tanjung Barat. Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Surawisesa memerintah selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya, ia wafat dan dipusarakan di Padaren. Di antara raja-raja jaman Pajajaran, hanya dia dan ayahnya yang menjadi bahan kisah tradisional, baik babad maupun pantun. Babad Pajajaran atau Babad Pakuan, misalnya, semata mengisahkan “petualangan” Surawisesa (Guru Gantangan) dengan cerita Panji.

(Bersambung.....)
SEJARAH DAN SILSILAH KEMAHARAJAAN SUNDA NUSANTARA
(Bagian-3)
3. Ratu Dewata (1535 – 1534)
Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekarang ”vegetarian”.
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya). Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Kokohnya benteng Pakuan merupakan jasa Rakeyan Banga yang pada tahun 739 M menjadi raja di Pakuan. Beliau berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu di awali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada jaman Sri Baduga, seperti yang diceritakan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 sebagai berikut (artinya saja):
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang dalam jaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
“Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”
 (Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman susah).
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. ”Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali”.
Kemudian raja ini melakukan pelanggaran, yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan.
5. Ratu Nilakendra (1551 – 1567)
Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan sudah tidak menentu dan rasa frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.
Prabu Nilakendra tidak perduli pada situasi ini, dia lebih suka berfoya-foya dan dan mengadakan pesta pora makanan enak, seperti diceritakan dalam Carita Parahyangan:
“Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beunghar”
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Prabu Nilakendra juga tidak perduli untuk membangun pertahanan kerajaannya, malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. Beliau beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Mengenai musuh yang harus dihadapinya, ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh.
Kondisi kerajaan yang tak menentu dan melihat penderitaan rakyat Pajajaran, menyebabkan penguasa Banten ketika itu, Sultan Maulana Hasanuddin (putra Syarief Hidayatullah atau masih buyut dari Sri Baduga Prabu Siliwangi) memutuskan untuk mengambil alih kerajaan Pajajaran.Serangan Banten terjadi melibatkan Sultan Maulana Hasanuddin dan putranya Maulana Yusuf. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Syarief Hidayatullah masih hidup. Demikianlah, sejak saat itu ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dikuasai oleh kesultanan Banten.
6. Raga Mulya (1567 – 1579)
Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. Walaupun hanya menguasai wilayah kecil saja, namun prabu Raga Mulya masih dapat bertahan selama 12 tahun di wilayah sekitar Pandeglang, sebelum akhirnya diserang kembali oleh kesultanan Banten pimpinan Sultan Maulana Yusuf.
Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):
“Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”.
Walaupun tahun Alief baru digunakan oleh Sultan Agung Mataram dalam tahun 1633 M, namun dengan perhitungan mundur, tahun kejatuhan Pakuan 1579 itu memang akan jatuh pada tahun Alif. Yang keliru hanyalah hari, sebab dalam periode itu, tanggal satu Muharam tahun Alif akan jatuh pada hari Sabtu.
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :
“Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” .
(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M. Sisa-sisa pengawal istana Pakuan selanjutnya menjadi cikal bakal penduduk Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Naskah Banten memberitakan, bahwa benteng Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu.
Dan berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Sultan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan diboyongnya Palangka tersebut, maka resmilah Sultan Maulana Yusuf menjadi penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah”, karena beliau juga adalah cicit dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.
KESULTANAN BANTEN DAN SUNDA NUSANTARA
Setelah Kerajaan Pajajaran berakhir, maka selanjutnya Kesultanan Banten dibawah Sultan Maulana Yusuf memegang tampuk kekuasaan di wilayah Banten, dan Pajajaran. Pada awalnya Banten merupakan wilayah bawahan Kesultanan Cirebon. Namun setelah wafatnya Syarief Hidayatullah (1568 M), Banten memisahkan diri dari Cirebon. Pada tahun 1570, Sultan Maulana Yusuf resmi dinobatkan sebagai Sultan Banten menggantikan ayahnya Sultan Maulana Hasanuddin, dan Banten resmi menjadi kerajaan merdeka bertepatan dengan wafatnya Fadillah Khan (Fatahillah), Sultan Cirebon pengganti Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Kesultanan Banten merupakan pewaris ”sah” dari Kerajaan Sunda Nusantara, penerus dari Maharaja Purnawarman, raja Tarumanagara, yang wilayah kekuasaannya mendunia.  
Berikut adalah silsilah raja-raja di Kesultanan Banten
1.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF HIDAYATULLAH AL MISRI (SUNAN GUNUNG JATI/JATI PURBA) (1513-1552). Beliau adalah raja kesultanan Cirebon yang melepaskan diri (merdeka) dari kerajaan Pakuan Pajajaran setelah Sri Baduga Prabu Siliwangi wafat tahun 1513. Beliau adalah CUCU SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI, dari putrinya, NYAI RATU RARA SANTANG, setelah menikah dengan RAJA MESIR SYARIEF ABDULAH AL-MISRI (Keturunan RASULULLAH SAW ke-22). MENIKAH DENGAN KANJENG GUSTI RATU PREMBAYUN (PUTERI TERTUA MAHARAJA KESULTANAN DEMAK, SULTAN FATAH/ PUTERA TERTUA dari RAJA MAJAPAHIT, PRABU BRAWIJAYA V). Wilayah kekuasaanya mencakup wilayah Cirebon, serta Banten dan Sunda Kalapa, setelah kedua wilayah tersebut direbut dari kerajaan Pakuan Pajajaran.
2.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA HASANUDIN AL MISRI/ MAULANA SABA KIN-KING (1552-1570). Pada masa pemerintahan beliau, Ibu kota dipindahkan dari Charuban(Cirebon) ke Taruma Nagara (Sunda Kelapa).
3.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA YUSUF AL MISRI (1570-1580). Pada tahun 1579, beliau menjadi penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran yang sah, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Istana Surasowan di Banten.
4.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN SYARIEF MAULANA MUHAMMAD AL MISRI (1580-1596) -
5.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MAFACHIR RACHMATULLAH AL MISRI (1596-1640)
6.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SUSUHUNAN ABUL MA’ALI ACHMAD RACHMATULLAH AL MISRI/ KYAI AGENG TIRTAYASA (1640-1651)
7.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA KANJENG SULTAN AGUNG ABUL TATGHI ABDUL FATAH AL MISRI/ SULTAN WANGI AGENG TIRTAYASA (1651-1675). Pada masa pemerintahannya, kesultanan Banten mengalami kemajuan pesat. Beliau memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda (VOC), dan  menolak perjanjian monopoli. Oleh karena itu beliau menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional
8.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NAZAR ABDUL KAHAR AL MISRI (1675-1687)
9.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABU FADHL MOEHAMMAD YAHYA (1687 – 1690)
10.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ZAINUL ABIDIN AL MISRI (1690-1733).
11.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL FATAH MUHAMMAD SYAFEI ZAINUL ARIFIN AL MISRI (1733-1747)
12.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUN NASAR MOEHAMMAD ZAINUL ASIKIN AL MISRI (1753-1776). Beliau beristrikan Kanjeng Ratu Sepuh, putri dari Susuhunan Mataram bergelar Prince Kanjeng Gusti Pangeran Harya Puger Susuhunan Paku Buwono I. Dengan adanya pertalian melalui pernikahan tsb., maka pada dasarnya kekuasaan Kerajaan Maha Raja Sunda, Benua Sunda, Sunda Nusantara mencakup wilayah kekuasaan dari Daratan Sunda Malaka (Melayu dan Singapura) dan dari Jawa Barat sampai ke wilayah Kendal, Banyumas, Jepara dan seluruh Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Siam, Siak, Indrapura, dan Indragiri (Pulau Sunda Besar Andalas) serta Pulau Sunda Besar Borneo
13.   SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD ALI’OEDDIN AL MISRI (1776-1810). Pada tanggal 4 Juli 1776 Amerika Serikat mendapat kemerdekaannya dari Kanjeng Sultan Abul Mafachir Moehammad Alioeddin I, bukan dari Kerajaan Inggris. Mundurnya Inggris bukan lantaran menangnya tentara Amerika, tetapi karena desakan Sultan Alioeddin kepada administratur benua Amerika yaitu Kerajaan Inggris dalam upaya Sultan ingin menggembalikan pemerintahan Bangsa Malay-Indian (nama sebenarnya Bangsa Indian). Bantuan Sultan Alioeddin kepada pemerintah Amerika Serikat diawal berdirinya (4 Juli 1776) dengan memberikan pinjaman keuangan/ koleteral (ribuan ton emas). Sultan Alioeddin juga merupakan Raja pertama yang memberi pengakuan kepada George Washington (presiden pertama AS), serta membuatkan gedung pemerintahan White House yg serupa dibangun di Kebon Raja Bogor (Istana Bogor). Peristiwa ini menyulut tragedi Banda.
14.  SERI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ACHMAD AL MISRI (1802-1810-1811). Berkedudukan di Istana Merdeka, Istana Cipanas, Istana Bogor, dan Istana Serosowan Bantan. Dalam peperangan terbuka (10 Mei 1810) dapat menumpas pasukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Wiliem Daendeles. Dalam peperangan itu ditaklukkan (10 Mei 1810-1811) Gubernur Jenderal HW Daendeles beserta pasukannya menyerah tanpa syarat dan H.W Daendeles dipenjarakannya.
  
Untuk merayakan kemenangannya, Sultan Achmad mengundang sahabatnya sewaktu beliau belajar di Kerajaan Inggris, Thomas Stamford Raffles (1810-1816), untuk berkunjung dan jalan-jalan ke pulau Banda Maluku (Pulau Sunda Kecil). Beliau mengira bahwa kerajaan Inggris adalah seteru dari kerajaan Perancis yang menjajah Belanda (H.W Daendels ketika itu mewakili kerajaan Perancis). Namun T.S. Raffles menghianati maksud baik Sultan Achmad, karena dia ternyata mengemban misi rahasia dari raja Inggris, George IV yang dendam terhadap Sultan Moehammad Alioedin I (ayah Sultan Achmad) yang telah memberi kemerdekaan kepada Amerika Serikat, untuk menagkap Sultan Achmad dan membebaskan H.W. Daendels, yang merupakan keluarha bangsawan De’Orange, sepupu keluarga Buckingham.
  
Sultan Achmad yang ketika itu hanya dikawal sedikit prajuritnya ditangkap oleh T.S. Raffles yang telah siap dengan pasukannya di P. Banda, kemudian diikat dan  tinggalkan begitu saja (tragedi P. Banda). Selanjutnya pemerintahan Sunda Nusantara diambil alih dan pengambilan alihan itu meluas sampai Selat Malaka-Singapura. Untuk melicinkan kepentingan politiknya, T.S. Raffles menghilangkan bukti sejarah lainnya dengan menghancurkan Istana Surosowan Banten. Kemudian pada tahun 1816, T.S. Raffles menyerahkan pendudukan (Annexation) administratif kolonial di wilayah Sunda Nusantara kepada Kerajaan Belanda (sahabat kerajaan Inggris) yang diwakili oleh Herman William Daendels di Semarang.
  
Ribuan ton emas dijarah sejak saat itu, yg digunakan untuk modernisasi England & pembangunan persemakmuran negara jajahannya (Kanada, Australia, Singapura, Hongkong, Afrika Selatan dst). Keluarga kerajaan-kerajaan di Nusantara dibantai dan dirampok. Arsip (bukti-bukti) pemerintahan dimusnahkan dan diambil untuk dihilangkan. Sebagian besar arsip yang menuliskan sejarah bumi dan pemerintahan masih disimpan di Mahkamah Internasional di Den Haag dan Universitas Leiden, Amsterdam. Inilah sebabnya Mahkamah Internasional berada di Belanda, karena sejarah aset dunia tersimpan disana beserta literatur pendukungnya.
Dari rangkaian peristiwa diatas (kasus Pulau Banda dan Semarang), dimulailah proses manipulasi Sejarah Kebangsaan Bangsa Sunda Nusantara dan pemalsuan sejarah dunia berlanjut terus sampai diperkenalkannya nama “Indonesia” hingga saat ini.
15.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABDULAH AL MISRI.  Berkedudukan di Istana Cipanas, Bogor. Wafat 1860.
16.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN GUNAWAN MARTAKUSUMAH AL MISRI.
17.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA PANGERAN ABDULLAH HALIM PRAWITA PURNAMA AL MISRI.
18.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA SULTAN ABUL MAFACHIR MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI. WAFAT DI BOGOR 12 NOVEMBER 1989.
19.  SRI BADUGA BAGINDA MAHARAJA  KANJENG GUSTI PANGERAN  HADIPATI HARYA RACHMATULLAH HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II/  HIS IMPERIAL MAJESTY SERI PADUKA YANG MAHA MULYA  BAGINDA MAHARAJA MAJESTY KAISER KANGJENG MAHA PAGUSTEN EMPEROR SULTAN AGUNG MAHA PRABU SYARIEF ABUL MAFACHIR  MOEHAMMAD HEROENINGRAT SILIWANGI AL MISRI II. Lahir di Jakarta 30 september 1963 (Legal Crown of THE Monarchies of the Sovereign Emperor of the Sovereign Empire of Sunda-Sunda Maindland-The Sunda-Archipelago or the Sunda-Nusantara-Pasific-a Greater part of the Pasific-the Mountain-Pasific in the part of-the Pasific Sunda-Malay-Asia-Minor. The Empire Parlementer was Manual Democratie, Basically the Religons and Humanity.
PENUTUP
Pada tahun 1976, pemerintah Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara mengajukan resolusi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Mahkamah Internasional (MI), yang menyampaikan penjelasan eksistensi Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara. Selanjutnya PBB dan Dunia Internasional ternyata masih mengakui keberadaan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara dan pemerintahan Kerajaan Maha Raja Sunda Nusantara masih berlanjut. Pengakuan PBB dan Dunia Internasional tersebut masing-masing tahun ; 1970, 1976, 1985, 1991, 1992, 1993, 1995, 2001. . . . . dst 2005, 2006, 2007, dan sampai saat ini pun pengakuan Dunia Internasional bukan hanya kepada wilayah territorial (Territorial Integrity) milik Kerajaaan Maha Raja Sunda Nusantara tapi juga kepada pemerintahan dan Bangsa Sunda Nusantara, yang sampai saat ini tampuk Kekaisaran di pegang oleh Seri Baginda Abul Mafachir Moehammad Heroeningrat Siliwangi Al – Misri II.
Keberadaan Al Misri II di jaman Order Baru sangat di takuti keberadaannya. Kerena itu tidak heran jika beberapa anggota keluarga Al Misri II pernah mendekap di sel karena di curigai akan berbuat makar. Namun keberadaan mereka diakui dunia Internasional, maka penahanannya tidak lebih dari 2 hari. Di tempat yang sama Al Misri II melalui sekretaris pribadinya, menunjukkan CD (Corps Diplomatics). Dengan kartu CD yang isinya Simbol, bendera, keterangan, cap kerajaan, dan tanda tangan kaisar dapat dengan mudah dalam urusannya ke luar negeri. Karenanya, kata beliau, CD telah diuji kebenarannya saat dirinya membuat paspor Ke Brunei Darussalam. Diakuinya, hanya dalam waktu 3 jam semuanya telah selesai. Hal itu tak lain dari pengakuan hukum-hukum internasional yang mengakui keberadaan kekaisaran Sunda Nusantara.
Kesejahteraan seluruh bangsa rakyat Sunda Nusantara didaratan Sunda Nusantara-Sunda Melayu sampai saat ini di simpan di 93 Negara dalam bentuk assat-asset :
• Collaterals in federal reserve certificate of the united states America
• Bound Guarantee Redland Merchant Bank of Switzerland 
• Obligation certificate of deposit credit Swiss Bank International 
• Certificate of Swiss Bank Corporation
• Obligation treasure Bound National Bank of England Bank de Netherlands City Bank New Yorkand United Overseas Bank Singapore 
Selain itu asset-asset ini juga berbentuk logam mulia, platinum, dan benda-benda berharga lainnya yang dikumpulkan oleh Raja-raja di seluruh Sunda Nusantara di daratan Sunda Melayu Nusantara Bangsa Sunda Nusantara di daratan Sunda Nusatara di kepulauan Sunda Besar-Sunda Kecil, Di samping itu masih tersimpan uang sebesar 4000 triliun poundsterling yang tersimpan di Negara Inggris. Dapat dibayangkan betapa besarnya asset-asset bangsa Sunda Nusantara yang hingga saat ini masih tersimpan dan tersebar di luar negeri yang di sebut the making of a super power danSunda Nusantara Dollar Trilion, milik pemerintah Negara Kerajaan Bangsa Sunda Nusantara.