Sabtu, 27 Juli 2013

Peniggalan KeRajaan Pajajaran

0 komentar

Bokor Emas
Mahkota Binokasih Sanghyang Pake merupakan Legitimasi Penerus Pajajaran kepada
Prabu Geusan Ulun selaku Nalendra Sumedanglarang
Siger Mahkota Binokasih Sanghyang Pake

Ikat Bahu Pasangan Mahkota Binokasih
Badik Curug Aul Senopati Pajajaran Jayaperkosa

CIRI KETURUNAN PRABU SILIWANGI & CIRI KETURUNAN SUNAN GUNUNG JATI - Wattpad

0 komentar
CIRI KETURUNAN PRABU SILIWANGI & CIRI KETURUNAN SUNAN GUNUNG JATI - Wattpad

Senin, 22 Juli 2013

Benarkah Sunda Pajajaran Adalah Kerajaan Hindu?..

0 komentar





























































Benarkah Sunda Pajajaran Adalah Kerajaan Hindu?..IPajajaran, sebuah kerajaan yang pernah eksis di tatar Sunda, dikenal oleh khalayak sebagai kerajaan Hindu. Bila merujuk pada buku-buku pelajaran Sejarah yang digunakan di sekolah maupun instansi pendidikan umumnya, maka Pajajaran akan diletakkan dalam kategori kerajaan Hindu-Budha yang pernah berjaya di bumi nusantara. Mungkin tidak terpikir oleh kita bahwa sejarah resmi yang diyakini oleh mainstream masyarakat tersebut sebenarnya masih menjadi perdebatan hingga kini.
Sebagian masyarakat Sunda yang menganut agama Sunda Wiwitan (agama asli Sunda) justru meyakini bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Sunda Pajajaran maupun Galuh (kerajaan yang ada sebelum Pajajaran muncul) adalah agama Sunda Wiwitan, bukan agama Hindu. Beberapa sejarawan dan budayawan Sunda pun berpendapat sama, yakni ada kesalahan interpretasi sejarah dengan menyebut Pajajaran sebagai kerajaan Hindu. Pendapat yang tentunya disertai argumentasi rasional dan dapat dipertanggung jawabkan.
Pajajaran dan Agama Sunda
Sumber-sumber sejarah yang penulis ketahui memang menunjukkan adanya kepercayaan asli Sunda yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Sunda pra maupun pasca Pajajaran terbentuk.[1] Naskah Carita Parahyangan, misalnya, mendeskripsikan adanya kaum pendeta Sunda yang menganut agama asli Sunda (nu ngawakan Jati Sunda). Mereka juga disebut mempunyai semacam tempat suci yang bernama kabuyutan parahyangan, suatu hal yang tidak dikenal dalam agama Hindu.
Naskah Carita Parahyangan juga menceritakan mengenai kepercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh adalah sewabakti ring batara upati dan berorientasi kepada kepercayaan asli Sunda.[2] Selain naskah Carita Parahyangan, keberadaan agama asli Sunda pada masa lampau juga diperkuat oleh karya sastra Pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng episode “Curug Si Pada Weruh.” Dalam pantun tersebut diberitakan begini:
Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama Sunda tea..”
Artinya : “Sebelum orang Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo pun, leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama Sunda.”
Yang dimaksud dengan “urang Hindi” dalam pantun tersebut adalah orang Hindu dari India yang kemudian bertahta di tanah Sunda (Kadu Hejo). Bila kita menelusuri sejarah Sunda hingga masa ratusan tahun sebelum Kerajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran berdiri, maka akan dijumpai Kerajaan pertama di tatar Sunda yang bernama Salakanagara. Kerajaan inilah yang dimaksud dengan Kadu Hejo dalam pantun Bogor tersebut. Naskah Wangsakerta mencatat kerajaan ini sebagai kota tertua di Pulau Jawa, bahkan di Nusantara.
Konon, kota yang kemudian berkembang menjadi pusat kerajaan ini terletak di daerah Pandeglang, Banten. Kerajaan Salakanagara yang pusat pemerintahannya terletak di Rajatapura telah ada sejak abad 2 Masehi. Aki Tirem merupakan penguasa pertama daerah ini. Penguasa Salakanagara berikutnya adalah Dewawarman, imigran sekaligus pedagang dari India yang kemudian menjadi menantu Aki Tirem.[3] Dewawarman inilah yang dimaksud sebagai “urang Hindi” oleh Pantun Aki Buyut Baju Rambeng. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebelum kedatangan Dewawarman dan rombongannya ke Salakanagara, penduduk Rajatapura telah memiliki agama sendiri, yakni agama Sunda. Dewawarman sendiri bertahta di Salakanagara dari tahun 130-168 M. Sedangkan dinastinya tetap berkuasa hingga akhirnya pusat kekuasaan dipindahkan ke Tarumanagara pada tahun 362 M oleh Jayasingawarman, keturunan ke-10 Dewawarman.[4]
Masih menurut naskah Pustaka Wangsakerta, agama Sunda pada masa Sunda kuno memiliki kitab suci yang menjadi pedoman umatnya, yaitu Sambawa, Sambada dan Winasa. Hal terpenting yang perlu diingat adalah bahwa ketiga kitab suci tersebut baru ditulis pada masa pemerintahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu, yang berkuasa di tatar Sunda pada periode 1175-1297 M.[5] Menarik untuk disimak, bahwa agama Sunda yang telah berumur sekitar 1000 tahun atau 1 Milenium, baru mempunyai kitab suci tertulis pada masa pemerintahan Prabu Sanghyang Wisnu. Penulis berasumsi, mungkin selama era sebelum Prabu Sanghyang Wisnu berkuasa, kehidupan beragama di tanah Sunda belum mendapat perhatian yang serius dari penguasa kerajaan. Setelah masa Prabu Sanghyang Wisnu pulalah agama Sunda menjadi agama resmi kerajaan.
Beberapa bukti sejarah itu menunjukkan keberadaan agama Sunda asli atau Sunda Wiwitan sebagai sebuah agama yang dianut oleh masyarakat maupun penguasa Sunda kuno adalah fakta tak terbantahkan. Lalu bagaimanakah kedudukan agama Hindu di era Sunda kuno atau Sunda Pajajaran? Bukankah cikal bakal kerajaan Sunda kuno berasal dari orang-orang India yang notabene beragama Hindu? Bagaimana pula perbedaan mendasar antara agama Hindu dan agama Sunda Wiwitan?
Perbedaan Hindu dan Sunda Wiwitan
Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan pada faham Monoteisme atau percaya akan adanya satu Tuhan yang dikenal sebagai Sanghyang Keresa atau biasa juga disebut Batara Tunggal. Dalam menjalankan “tugasnya” mengatur semesta alam, Sanghyang Keresa dibantu oleh para Sang Hyang lainnya seperti Sanghyang Guru Bumi, Sanghyang Kala, Sanghyang Ambu Jati, Sunan Ambu, dan lainnya.
Agama Sunda Wiwitan juga mengenal klasifikasi semesta alam menjadi tiga bagian, yakni Buana Nyungcung (tempat bersemayamnya Sanghyang Keresa), Buana Panca Tengah (tempat hidup manusia dan mahluk hidupnya) dan Buana Larang (neraka). Selain itu, dalam ajaran Sunda Wiwitan juga dikenal adanya proses kehidupan manusia yang harus melalui sembilan mandala di dunia fana dan alam baka. Kesembilan mandala yang harus dilalui manusia tersebut adalah (secara vertikal): Mandala Kasungka, Mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Seba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar dan Mandala Agung.
Bila kita merujuk pada ajaran Hindu, akan ditemukan perbedaan mendasar dengan ajaran agama Sunda terutama menyangkut konsep teologis. Hindu merupakan agama yang memiliki karakteristik Politeisme atau meyakini adanya lebih dari satu Tuhan atau Dewa. Dalam agama Hindu dikenal banyak dewa, diantaranya tiga dewa yang paling utama (Trimurti) yakni dewa Wisnu (pelindung), Brahma (pencipta) dan Siwa (perusak). Tidak dikenal istilah Sanghyang Keresa dalam ajaran Hindu.
Perbedaan lainnya adalah mengenai sarana peribadatan dari kedua agama. Pada era Sunda Pajajaran, agama Sunda Wiwitan mengenal beberapa tempat suci yang juga dijadikan sarana peribadatan seperti Balay Pamunjungan, Babalayan Pamujan serta Saung Sajen. Hampir semua tempat ibadah tersebut berbentuk punden berundak yang terdiri dari kumpulan batu-batu besar dan arca.[6] Sementara pada masa kejayaan Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sarana peribadatan yang banyak didirikan justru candi yang hingga kini masih dapat kita temui peninggalannya. Bahkan candi juga terkait dengan simbol kekuasaan penguasa tertentu.
Sedangkan budaya keberagamaan masyarakat Sunda yang menganut Sunda Wiwitan pada masa Sunda kuno sungguh berbeda. Mereka tidak mendirikan candi untuk beribadah, melainkan memusatkan kegiatan keagamaannya pada beberapa punden berundak yang dikenal sebagai kabuyutan. Di punden berundak inilah ritual atau prosesi keagamaan khas Sunda Wiwitan dilakukan oleh masyarakat Sunda. Beberapa peninggalan tempat ibadah era Pajajaran yang masih dapat kita temukan kini adalah kabuyutan Sindang Barang (kini menjadi kampung budaya Sindang Barang, Bogor) dan Mandala Parakan Jati di kaki Gunung Salak.
Hal inilah yang juga dapat menjawab pertanyaan sebagian orang mengenai “kelangkaan” candi di tatar Sunda. Fakta sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat penganut Sunda Wiwitan memang tidak membutuhkan candi sebagai sarana peribadatan, melainkan kabuyutan yang masih kental tradisi megalitiknya. Jadi sedikitnya candi di tanah Sunda bukan karena “kemiskinan” peradaban Sunda di masa lampau, melainkan kondisi sosio-religiusnya yang berbeda dengan masyarakat Jawa-Hindu.
Bukti lainnya yang juga menunjukkan kelemahan klaim sejarah yang berhubungan dengan ke-Hindu-an kerajaan Sunda Pajajaran adalah tidak ditemukannya stratifikasi sosial khas masyarakat Hindu atau kasta pada masyarakat Sunda Kuno. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian serta sumber-sumber sejarah lainnya tidak menunjukkan adanya strata sosial yang didalamnya terdapat kasta Waisya, brahmana atau Sudra sebagaimana masyarakat Hindu di Jawa dan Bali. Disamping itu, tidak ditemukan pula konsep raja adalah titisan Tuhan atau Dewa (God-King) pada sistem pemerintahan Sunda Pajajaran atau Galuh sebagaimana dijumpai dalam sistem kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Timur.
Tidak tertutup kemungkinan memang, terjadi akulturasi antara agama Sunda Wiwitan dengan agama Hindu, mengingat leluhur keluarga kerajaan Sunda kuno sebagian berasal dari India. Namun akulturasi tersebut tidak terjadi dalam aspek sistem nilai. Bila merujuk pada konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat, terdapat tiga jenis budaya dalam satu unsur kebudayaan, yakni sistem nilai, perilaku dan kebendaan (artefak). Akulturasi dalam kasus ini hanya terjadi dalam aspek kebendaan dan perilaku, itupun tidak seluruhnya. Hal ini dapat terlihat dari nama-nama raja dan beberapa istilah dalam agama Sunda Wiwitan seperti Batara dan Resi. Namun untuk substansi ajaran, tidak tampak adanya akulturasi yang menjurus pada sinkretisme.
Sunda Wiwitan di Masa Kini
Sudah jelaslah kini bila kategorisasi kerajaan Sunda Pajajaran ataupun Galuh sebagai kerajaan Hindu merupakah hal yang perlu dikoreksi. Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa masyarakat Sunda kuno telah menganut suatu agama lokal yang mapan dan relatif mandiri dari pengaruh teologis Hindu-Budha, yakni agama Sunda Wiwitan.
Pada masa kini, Sunda Wiwitan masih dianut oleh sebagian etnis Sunda terutama kalangan suku Baduy di desa Kanekes, Banten. Selain  itu, penganut Sunda Wiwitan juga terdapat di Ciparay Bandung (terkenal dengan nama aliran Perjalanan Budi Daya), Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang), dan kampung adat Cireundeu Cimahi. Masing-masing komunitas memiliki penjabaran dan karakteristik ajarannya sendiri namun tetap berbasiskan inti ajaran agama yang sama, Sunda Wiwitan.
Namun nasib mereka tidak seberuntung penganut agama lainnya di negeri ini, karena agama Sunda Wiwitan bukanlah agama yang secara resmi diakui keberadaannya oleh negara.[7] Akibatnya berbagai perlakuan diskriminatif dari aparatur negara kerap mereka terima, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Alangkah lucunya negeri ini, ketika kekuasaan politik berhak menentukan mana yang termasuk kriteria agama dan mana yang bukan. Yang pasti diskriminasi terhadap penganut Sunda Wiwitan masih terus langgeng hingga detik ini. Jangan-jangan, penulisan buku sejarah resmi yang masih memasukkan Pajajaran sebagai kerajaan Hindu juga bernuansa diskriminatif, yang orientasinya ingin menghapukan jejak kebudayaan Sunda Wiwitan dalam sejarah? Wallahualam
HISKI DARMAYANA, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan alumni Antropologi FISIP Universitas Padjajaran.


[1] Nama Pajajaran sendiri resmi digunakan pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata (1482-1521), yang juga bergelar Prabu Siliwangi dan Sri Baduga Maharaja. Pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, daerah Batutulis Bogor sekarang. Sementara sebelum nama Pajajaran muncul, kerajaan yang ada di tatar Sunda dikenal dengan nama Sunda-Galuh, yang berdiri  sejak runtuhnya Tarumanagara dan berkuasanya Tarusbawa di tahun 669 M.
[2] Hal ini pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan. Tulisan beliau pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[3] Sejarah Salakanagara atau Rajatapura diuraikan secara rinci dalam naskah Wangsakerta Cirebon, Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara.
[4] Jayasingawarman juga merupakan pendiri kerajaan Tarumanagara yang berkuasa hingga tahun 382 M.
[5] Dalam beberapa cerita Pantun, beliau  dijuluki Prabu  Resi Wisnu Brata. Julukan ini diberikan karena beliaulah raja Sunda yang gencar menyiarkan agama Sunda di kalangan penduduk Sunda dan yang pertama kali membuat kitab suci Sunda dalam bentuk tertulis.
[6] Ulasan tentang sarana ibadah agama Sunda Wiwitan pada masa Pajajaran terdapat dalam tulisan budayawan Sunda, Anis Djatisunda yang berjudul Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuno Menurut Berita Pantun & Babad.


LAMBANG & INTERPERSEPSI MASYARAKAT SUNDA DI BUMI PARAHYANGAN












 

Batu Tulis: Hikayat Penobatan Raja-Raja Pajajaran

1 komentar
Penobatan Raja-Raja Pajajaran I Tidak ada yang tahu pasti di mana letak persis Istana Kerajaan Pajajaran. Bahkan sejumlah arkeolog dari mancanegara sekalipun kehilangan jejak, ketika mengumpulkan bukti-bukti sejarah guna mencari tahu keberadaan satu-satunya kerajaan di pulau Jawa yang kabarnya tidak takluk kepada Majapahit itu.
Banyak versi ihwal raibnya istana yang diperintah oleh Prabu Siliwangi. Ada yang mengatakan istana Pajajaran dibumihanguskan oleh bala tentara dari Banten yang dipimpin oleh Syekh Maulana Yusuf ketika menyerang Pajajaran pada tahun 1579 masehi.
Alasannya politis. Yakni mengakhiri masa Pajajaran dan menumpas agama Sunda Wiwitan, mengingat Syekh Maulana Yusuf menyerang Pajajaran dengan misi meluaskan pengaruh Islam.
Pembuktian cerita versi ini dikuatkan dengan ditemukannya Palangka Sriman Sriwacana yang tak lain adalah singgasana raja Pajajaran di depan bekas keraton Surasowan di Banten.
Sejarah merisalahkan, bala tentara Islam yang memenangkan peperangan, memboyong Palangka Sriman Sriwacana dari Pakuan, Ibu Kota Pajajaran (sekarang Bogor) ke Surasowan di Banten.
Jika ingin melihatnya, batu berukuran 200x160x20 cm itu letaknya tidak jauh dari Masjid Agung Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, yang berarti batu mengkilat atau batu berseri. Secara harafiah gigilang sama artinya dengan kata Sriman.
Sumber lain menyebutkan, Istana Kerajaan Pajajaran mengirab, menghilang atau dihilangkan dari pandangan mata manusia biasa ketika perang dengan Banten tersebut. Cerita versi ini berkembang dari mulut ke mulut di tataran rakyat Sunda.
Istana Pajajaran
Bila dikira-kira, letak Istana Pajajaran, kemungkinan besar di Bogor. Dasarnya, dalam naskah-naskah kuno Nusantara, kerajaan ini sering disebut dengan nama Negeri Sunda atau Bumi Pasundan, yang ber-ibukotakan Pakuan Pajajaran.
Daerah Pakuan, ya Bogor sekarang setelah nama sebelumnya Buitenzorg. Layaknya negara di zaman sekarang, yang istananya terletak di ibukota negara, begitu pulalah kerajaan di masa lalu.
Meski istananya tidak ditemukan, namun sejumlah prasasti yang sampai sekarang masih ada dapat diketahui bahwa kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sanghyang Tapak di Sukabumi.
Pajajaran punya kaitan erat dengan kerajaan-kerajaan sebelumnya di Jawa Barat, yakni Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, dan Kawali. Pemerintahan Kerajaan Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Prasasti sejarah yang memperkuat bahwa istana Pajajaran adanya di Bogor adalah Batutulis. Batutulis merupakan lokasi penobatan raja-raja Pajajaran. Istilah penobatan sama dengan pelantikan.
Baru-baru ini, saya diajak kesana oleh Budayawan C. Supandi ke sana. Lokasinya di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.
Di area seluas kurang lebih 17 x 15 meter itu, selain prasasti Batutulis yang ada di dalam pendopo, juga ada sejumlah batu-batu artefak lainnya. Macam-macam bentuknya, ada juga yang tersusun seperti pusara.
Artefak Batu Tulis, bertuliskan sembilan baris aksara sunda kuno. Bentuknya segitiga tapi tidak rata.
Bunyi tulisannya; Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyanl sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi.

Kurang lebih begini artinya; Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida , membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka ‘Panca Pandawa Mengemban Bumi’
Samida, merupakan lokasi hutan yang sekarang dipakai sebagai Kebun Raya Bogor. Sedangkan Panca Pandawa Mengemban Bumi’ adalah sangkala yang artinya adalah 5 5 4 1 atau kalau dibalik adalah 1455 Saka (1533 Masehi).
Persis di depan batu bertulis itu ada tiga onggok batu kecil-kecil. Di barisan pertama, persis di depan batu tulis, ada lobang berbentuk segitiga. Di tengah, berbentuk dua telapak kaki manusia. Dan di barisan selanjutnya tidak terdapat bekas apa-apa.
Di samping batu bertulis, ada batu berbentuk panjang lonjong. “Ini disebut juga lingga yoni. Perlambang laki-laki dan perempuan. Atau simbol kemakmuran dan kesuburan,” kata C. Supandi.
Didampingi Ibu Maemunah, kuncen tempat itu, saya diberi arahan untuk melakukan semacam ritual. Awalnya berdiri di batu kecil di baris ketiga dari batu tulis. Lalu mengucapkan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali.
Setelah itu maju ke batu yang ada bekas tapak kaki. Kedua telapak kaki saya dicocok-kan, dan sangat pas ukurannya. Kemudian, dari posisi berdiri, masih dibekas tapak kaki, saya disuruh jongkok dengan lutut kaki kanan ditempelkan ke lobang segitiga yang ada di batu di depan batu bertulis.
Selanjutnya, kening dan kedua telapak tangan saya ditempelkan ke prasati batu tulis. Saya disuruh memanjatkan doa apa saja yang diiginkan. Setelah itu berjalan ke arah belakang Batutulis menuju batu berbentuk lonjong yang ada di sampingnya.
Saya diperintahkan membelakangi batu lonjong itu dalam posisi punggung menempel. Kedua pergelangan tangan saya diarahkan untuk membuat lingkaran memeluk batu itu dari belakang.
Katanya sih, jika pada saat itu jari jemari bisa dipertemukan, maka insyaallah apa yang dicita-citakan tercapai. Wallahualam!
Disebutkan demikianlah dulunya ritual penobatan raja-raja Pajajaran. Hanya saja sedikit dimodifikasi dengan berucap dua kalimat syahadat.



















Kamis, 18 Juli 2013

Situs Tugu Gede Cengkuk Sukabumi Jawa Barat

0 komentar

Situs Tugu Gede Cengkuk

From: oman abdurahman 
Subject: Perjalanan ke Ciptagelar & Cengkuk-
Haturan kang CA, kang Danny, kang Pon, kang Anto, dan sahabat semua,
Bupati Sukabumi (membelakangi kamera) sedang mendengarkan penjelasan situs Cengkuk — with Info Pariwisata Palabuhanratu and Rully B Tedjasukmana.
  1. Pada hari Jum’at-Ahad, 12-14 Oktober 2012, kami melakukan perjalanan ke masyarakat adat Sinarresmi dan Ciptagelar; dan Situs purbakala Tugu Gede, Cengkuk, Cikakak, Kabupaten Sukabumi. Banyak yang kami dapatkan dari perjalanan tsb dan menjadi semacam charger yang hebat bagi kami untuk tetap bersemangat memperjuangkan Indonesia yang lebih baik. Kedua perjalanan dalam satu paket tsb bagi kami sangatlah impresif, dan berikut laporan singkatnya:

 1) Perjalanan ke Kampung Adat Sinarresmi dan Ciptagelar
Perjalanan (lalampahan) ka Ciptagelar sangat berkesan. Perjalanan tsb memang agak dipaksakan, dalam arti saya khususnya, sedang berada dalam bulan2 yang sangat sibuk dengan tugas2 kantor. Namun, saya sudah bertekad untuk menjadikan tawaran (ajakan) dari Miftah beberapa minggu sebelumnya sebagai kesempatan berharga untuk dapat berkunjung ke Sinarresmi dan Ciptagelar, melengkapi pengalaman saya berkunjung ke Kanekes (Baduy dalam) kl 15 tahun yl (tuh pan bedana oge tos 15 taun :)). Miftah adalah seorang anak muda, guru geografi di sebuah SMA di kawasan Bumi Parahiyangan sekaligus penggiat geowisata dari “Geotourism Community”.
Oleh-oleh perjalanan lumayan banyak. Mudah-mudahan sy dapat menuliskannya walau hanya berupa status di FB atau celetukan komentar terhadap status dari peserta yang kemarin ikut dalam rombongan perjalanan, yaitu: Kuke, Martha, Miftah, plus 7 urang siswa SMA, muridna Miftah. Namun, secara umum, pengalaman ke Sinarresmi dan Ciptagelar itu lebih bernuansa perjalanan budaya, khususnya budaya masyarakat adat di Banten pakidulan. Selain itu, minat saya juga terhadap jenis padi-padian (lebih dari 100 jenis) dan juga kayu-kayuan disana yang jumlahnya – menurut sesepuh adat di Sinarresmi – mencapai ratusan (untuk padi-padian sudah dicatat Miftah, yg belum dilakukan adalah mengambil foto dari setiap jenis padi-padian tsb, ini tentu perlu waktu lama).
Di Sinarresmi dan Ciptagelar, nilai-nilai yang paling utama adalah kerukunan hidup, bermitra dengan alam dan sistem leuit sebagai sarana ketahanan pangan, dasar-dasar kebersamaan mereka dan penghormatan terhadap padi (Dewi Sri). Status saya di FB tentang padi dan leuit di Ciptagelar dapat dilihat disini:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10151191373178291&set=a.449672263290.229744.627503290&type=1&theater
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10151193303603291&set=a.10150747268818291.428779.627503290&type=1&theater
(mohon untuk teman-teman yang sebelumnya sudah melihat status tsb).
Dari respon mitra yang begitu banyak terhadap status tsb, ternyata sistem penghormatan terhadap padi dan leuit yang kita dapatkan dari Ciptagelar menarik perhatian dan masih diminati anak muda. Kang Pon bahkan setengah “menantang” untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tsb, tentu saja dengan revitalisasi dan konsep yang disesuaikan dengan kondisi kita yang hidup di perkotaan.
 2. Perjalanan ke Situs Tugu Gede, Cengkuk
Selain ke Sinarresmi dan Ciptagelar, sebetulnya kemarin kami bertiga (saya, Kuke dan Martha) juga menyempatkan diri melihat Situs Tugu Gede Cengkuk (nama singkatnya: Situs Cengkuk); sementara Miftah dan muridnya menghabiskan waktu di pantai. Perjalanan ini pun tak kalah menariknya dan penting untuk dilakukan perjalanan/survei lanjutan, terutama untuk meneliti apa makna situs tsb, dan bagaimana hubungannya dengan tinggalan dan penemuan yang ada saat ini seperti Gn Padang, dll.
Lokasi situs Cengkuk terletak di sebuah lembah di kaki bukit (namanya juga menunjukkan morfologi ini: “cengkuk”) menghadap Gunung Halimun di sebelah utaranya, di Kp Cengkuk, Desa Margalaksana, Kec. Cikakak, Kab. Sukabumi. Ini sebuah lokasi yang sangat menarik pula. Mengapa tidak berlokasi di puncak bukit seperti Gn Padang? Mengapa lokasinya di lembah (walau pun tetap di ketinggian)? Mengapa pula arah yang dipilih persis di hadapan Gn Halimun?
Akses ke lokasi cukupan (tidak buruk, tapi dibilang bagus juga tidak) , dapat dilalui mobil (roda empat) – apalagi motor – hingga ke tempat parkir yang sempit (hanya masuk 2 mobil kecil) kl 300 meter sebelum situs. Jarak dari jalan raya Palabuhanratu-Cisolok ke lokasi parkir tsb sekitar 13 km. Arah jalan menuju lokasi: belok kanan dari Jl Palabuhanratu-Cisolok di Sakawayan, tak jauh setelah lewat Samudera Beach hotel, yaitu ke arah kantor kecamatan Cikakak berlanjut terus hingga kampung Cengkuk. Jalan mendaki melalui perbukitan tempat kami menikmati suguhan pemandangan yang luar biasa indahnya.
Sebenarnya, apa yang kami lihat di Situs Tugu Gede Cengkuk sama dengan yang diberitakan situs-situs/web tentang Cengkuk. Misalnya: batu tugu atau menhir, batu pamandian, batu kursi, batu dakon, batu yang menyerupai meja makan, batu ranjang, dll, sebagaimana dapat disimak di:
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=281&lang=id
http://www.panoramio.com/photo/60022158
http://iyankusmayadi.multiply.com/video/item/14?&show_interstitial=1&u=%2Fvideo%2Fitem
(jika diperlukan Insya Alloh saya kirimkan foto2 saya sendiri disana)
Namun, ada pengalaman yang menarik, yaitu suasana yang pikabetaheun disana; hujan selintas seakan membilas area situs ketika kami baru saja tiba di lokasi, dan harum bunga Ki Beubeunteuran (?). Selain bunga dan buah pohon Ki Beubeunteuran, kami juga mengenal pohon (dengan buah/bunganya): Kalayar, Gadog, Sempur, dan lainnya.
Pengalaman lain di Cengkuk yang sangat menarik: berkesempatan melihat arca asli semacam arca Dewi Sri. Arca ini – perkiraan saya sj – pantasnya disebut demikian :) . Tapi saya yakin ini arca berjenis kelamin perempuan, ukuran kl 50 cm. Replika arca tsb terlampir (foto aslinya pun ada, Insya Alloh sudah salse dikintunkeun). Berapa umur arca tsb dan bagaimana hubungan arca dengan situs, hingga saat ini sy belum memperoleh keterangan.
Sampai disini dulu ya, Insya Alloh kedepan kita sambung lg.
Salam,
Oman A.
Updated over a year ago · Taken at Cikakak, Palabuhanratu, Kab. Sukabumi
 
Bupati Sukabumi (membelakangi kamera) sedang mendengarkan penjelasan situs Cengkuk — with Info Pariwisata Palabuhanratu and Rully B Tedjasukmana.
Situs temuan baru di Kab. Sukabumi dengan peninggalan dari berbagai zaman
Peta lokasi:
Cengkuk, Situs Terbesar di Indonesia
Temuan benda-benda peninggalan zaman megalitik dan peralatan yang diperkirakan buatan Dinasti Sung dan Ming ( Cina ) di situs Gunung Gede Cengkuk, Kampung Cengkuk, Desa Margalaksana, Kec. Cikakak, Kabupaten Sukabumi, terus berlanjut hingga saat ini. Namun temuan Situs Gunung Gede Cengkuk itu memerlukan penelitian budaya lebih komperhensif dengan evakuasi lahan yang luas.
‘ Upaya penelitian budaya dan perluasan ekskavasi akan terus ditindklanjuti untuk lebih jauh mengenai nilai-nilai budaya maupun asal-usul benda-benda. Karena temuan ini sedikitnya akan membuka tabir sejarah kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, ‘ Kata Kepla Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Budhyana, Senin (19/12).Selama ini, ekskavasi yang dilakukan baru terbatas bagian permukaan dan arealnya terbagi dalam beberapa bagian. Benda yang ditemukan baru beberapa dari batu-batuan yang diperkirakan berasal dari zaman megalitik.Terhadap temuan tersebut menurut Budhyana, pihaknya berencana menganggarkan dana pada tahun 2006 untuk ekskavasi lanjutan. ‘ Diharapkan dengan anggaran yang tersedia dapat memenuhi dan menata kawasan Situs Cengkuk, terutama pengamanan benda-benda yang sangat kamai khawatirkan akan raib dicuri ‘
Dewa Siwa
Sementara itu, berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan akhir November hingga pertengahan Desember lalu, ditemukan Arca Dewa Shiwa, yang merupakan bagian dari temuan arca hasil ekskavasi tahun 1992. Temuan berlanjut dengan ditemukannya punden berundak terdiri dari tiga teras, gerabah dan keramik.
Berdasarkan hasil penelitian sementara, Arca Dewa Shiwa dan punden berundak merupakan peninggalan abad ke – 15 masa kerajaan Padjajaran. Sedangkan gerabah dan keramik diperkirakan berasal dari zaman Dinasti Sung dan Ming dari abad 12-15 Masehi.
Kepala Balai Kepurbakalaan dan Nilai Sejarah Tradisional Disbudpar Jabar, Drs. Prama Putra,M.M. mengatakan, temuan berupa arca, gerabah dan keramik awal Desember hingga pertengahan ini merupakan hasil ekskavasi tahap dua yang dilakukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta Seksi Musieum dan Benda Kepurbakalaan Kab. Sukabumi. Sementara temuan sebelumnya(tahap pertama) merupakan hasil ekskavasi Balai Arkeologi Bandung (Balar) yang dipimpin Drs. Lutfi,M.Hum., difasilitasi Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Disbudpar Jabar
Hingga saat ini, temuan hasil ekskavasi menyebar di areal seluas 4 hektare di Kamp. Cengkuk. ‘Namun, berdasarkan perkiraan luas lebih dari 4 hektare,’ ujarnya.
Situs cengkuk merupakan situs terbesar di Indonesia dan pertama kali ditemukan warga negara Belanda pada tahun 1883. Kemudian, dari tempat tidak jauh dari kawasan temuan pertama, tahun 1992, ditemukan sebuah patung. Temuan tersebut terus berlanjut pada Oktober 2005, yakni sebuah arca.
Sampai saat ini benda-benda yang ditemukan di situs Tugu Gede, Cengkuk, berupa Patung Dewa Shiwa berukuran 30 cm gerbah, dolmen, menhir berukuran 4 meter, yang diduga dijadikan tempat pemujaan. Candi perunggu berukuran mini, batu segi empat yang dijadikan tempat permanndian serta dakon, dan batu berlubang yang diperkirakan dijadikan penumbukan padi. Selain itu, ditemukan gambar lokasi peribadatan yang tertuang dalam batu besar.
Benda-benda peninggalan megalitik tersebut diperkirakan berusia ratusan ribu tahun, sebelum prasejarah. Batu dolmen diperkirakan digunakan untuk tempat penguburan, sementara batu besar yang berisi 10 lubang diperkirakan digunakan untuk tempat penguburan, sementara batu besar yang berisi 10 lubang diperkirakan dijadikan untuk menumbuk padi. (A-87)*** sumber Pikiran Rakyat tanggal 20 Desember 2005
posting by dedisuhendra 
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.1134692326649.2022597.1207536018&type=1








  Ayu 'Kuke' Wulandari 14 hours ago   14.10.2012 :: sebelum pulang, Mang Jaya memperlihatkan kesemuanya ini: arca Nyi Pohaci Sanghyang Sri, sepasang Genta Pendeta berhiasan Padma berkepala Vaj'ra, Guci, dan beberapa perkakas lainnya. (Kamera: si Ungu & si Hitam) — with T Bachtiar Geo, Lutfi Yondri, Budi Brahmantyo, Oman Abdurahman, Disparbud Jabar, Sinung Baskoro and Arifin Surya Dwipa Irsyam.
Berdasarkan hasil penelitian sementara, Arca Dewa Shiwa dan punden berundak merupakan peninggalan abad ke – 15 masa kerajaan Padjajaran. Sedangkan gerabah dan keramik diperkirakan berasal dari zaman Dinasti Sung dan Ming dari abad 12-15 Masehi.
About these ads