Minggu, 26 Januari 2014

✔️Menapaki Pejalanan Sunda

0 komentar
Oleh : Ali Sastramidjaja – 240907
PENDAHULUAN
Sunda. Kalau kata ini diucapkan, orang pasti akan langsung mengkaitkannya dengan etnis. Atau dengan suatu wilayah geografis di sebelah barat P.Jawa. Atau lebih khusus lagi mengkaitkannya dengan kebudayaan, bahkan hanya keseniannya semata.
Jarang ada yang mengira, kalau Sunda itu lebih dari sekedar kebudayaan, etnis ataupun wilayah suatu daerah. Memang dalam peta zaman kolonial, nama Sunda tertera  sebagai Sunda Besar dan Sunda Kecil, Selat Sunda, Laut Sunda. Namun, temuan-temuan ilmu pengetahuan semakin menguak eksistensi Sunda : bukan sekedar wilayah kecil berbudaya khas. Di luar dugaan, Sunda disebut-sebut sebagai kontributor utama untuk kemajuan peradaban berbagai bangsa.
Hal ini dengan jelas dipaparkan oleh Oppenheimer dalam “Thesis Sunda”-nya. Juga dengan gamblang diceritakan beberapa peneliti antropologi dan sejarah dunia. Di samping itu, beberapa tahun yang lalu, telah terbit perhitungan kalender Sunda, yang setelah melalui tahapan penelitian dan perhitungan, ternyata memiliki tingkat akurasi sangat tinggi. Dengan sebutan “Kalangider”, menurut perhitungan kalender inipun  merupakan kalender tertua di dunia.
Berangkat dari temuan-temuan tersebut, maka melalui tulisan ini dicoba disusun untuk menghubungkan sejarah kebudayaan yang terkait dengan kesundaan, yang membentang disepanjang lini ruang dan waktu. Pada intinya, dalam tulisan ini dijelaskan secara global bahwa budaya manusia, dalam hal ini budaya Sunda, saat membangun peradabannya menempatkan diri sebagai bagian dari alam.
Tulisan ini terbagi menjadi beberapa segmen :
  1. Menceritakan awal kehidupan di bumi, dari sel tunggal hingga manusia.
  2. Menceritakan Sunda, dari belum ke berbudaya hingga memiliki kebudayaan.
  3. Menceritakan dunia berbudaya, yakni pengaruh budaya Sunda pada dunia.
Diharapkan tulisan ini memberi gambaran umum mengenai kontribusi Sunda dan kebudayaannya, baik bagi lingkungannya maupun bagi dunia. Disamping itu, tulisan ini diharapkan dapat melahirkan lebih banyak lagi tulisan dan ide-ide mengenai kesundaan.
BAB I
AWAL KEHIDUPAN
Awal kehidupan bermula dari satu noktah kecil. Satu titik kecil yang disebut sel. Yakni mahluk hidup terkecil. Sel tunggal pertama ini konon ditemukan di laut. Kemudian berkembang biak dan tumbuh berkembang serta berevolusi. Ada yang menjadi tumbuhan dan ada yang menjadi hewan. Semakin lama semakin banyak jenisnya, semakin tambah rupanya dan bentuknyapun semakin sempurna. Tumbuhan dan hewan yang berasal dari satu titik selpun, mulai terpisah, mulai membentuk kelompok-kelompoknya sendiri. Ukuran mahluk hidup juga semakin bertambah besar, baik di laut maupun di darat.
Pertumbuhkembangan dan evolusi mahluk hidup selanjutnya membuat langkah maju. Awal perkembangan mahluk hidup dicatat dengan sebutan zaman “Paleozoikum Primer”, yakni sejarah kehidupan perkembangan mahluk hidup. Di dalamnya, ada yang disebut dengan masa “Kambrium”, yakni masa dimulainya pemisahan antara tumbuhan dan hewan, yang mulanya berasal dari satu sel tadi. Berikutnya, disebut dengan zaman “ Ordovisien”, yakni munculnya binatang sebangsa udang, cumi-cumi purba, rumput laut, ganggang laut, agar-agar, karang dan ubur-ubur.
Beberapa langkah lebih maju, daratan mulai ditumbuhi tanaman dan pepohonan. Ini terjadi pada masa “Karbon”, dimana hewan reptilpun sudah mulai berkembang, kemudian hewan menyusui.
Pada masa “Mesozoikum Sekunder” , daratan dan lautan mulai diisi oleh berbagai mahluk hidup. Selain bentuk dan jenisnya semakin beragam, juga semakin ‘meraksasa’ ukurannya, seperti mahluk yang kini dikenal dengan nama dinosaurus, arkosaurus, tiranosaurus, dan burung raksasa – pterosaurus, menjadi puncak akhir zaman mahluk raksasa di darat. Ini dikenal dengan sebutan zaman “Kapur”.
Kemudian, ada perubahan zaman dan ukuran mahluk hidup. Pada zaman “Kaenozoikum Tertier”, ukuran hewan menjadi lebih kecil (mengecil). Pada zaman ini ditemukan badak, tikus juga monyet. Setelah itu pada zaman “Neozoikum Kwartet”, ditemukan hewan darat besar, yakni mamut, gajah raksasa berbulu tebal. Pada masa itu pula mulai ada manusia purba.
BAB II
SUNDA
DARI BELUM BERBUDAYA HINGGA MEMILIKI KEBUDAYAAN
“Phitecanthropus Erectus”, adalah manusia purba yang hidup di daratan Sunda. Paparan Sunda merupakan sebuah kepulauan yang sangat luas. Manusia purba ini konon hidup pada zaman “Pleistosen”. Awal kwartet, lebih kurang satu-dua juta tahun lalu. Fosil manusia modern ditemukan pada lapisan sedimen Pleistosen di daratan tanah Sunda.
Dari manusia purba, manusia mengalami evolusi yang mengantarnya menjadi lebih sempurna. Budaya manusia diperoleh dari hasil olah tenaga, keinginan, pikiran dan perasaan. Kemampuan manusia untuk berkreasi sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya, menghasilkan adat budaya yang khas dan berbeda dengan yang dimiliki manusia di tempat yang berbeda.
Sunda memiliki keindahan panorama yang khas. Gunung yang menjulang tinggi, hutan yang lebat dan rapat — sebagai sumber makanan—sumber mata air yang jernih, memantulkan suasana tenang, damai dan makmur. Embrio budaya Sunda berangkat dari lingkungan alam yang tenang dan kaya khazanah alam tropisnya. Embrio budaya Sunda ditelusuri dari khasanah keseharian hidup yang telah mentradisi secara turun-temurun, yang hingga kini masih tetap dijaga kelestariannya.
Manusia Sunda hidup selaras dengan alam. Belajar dari alam. Cermat dan cerdik menangkap tanda-tanda alam. Salah satunya peka pada suara-suara alam: suara angin, suara hujan, suara halilintar, suara angin, juga suara hewan. Alam yang tenang membentuk budaya kehidupan yang tenang.
Kemampuan memahami suara sangat penting dalam membentuk suara. Suara berkembang menjadi bahasa. Upaya berbahasa merupakan suatu cara untuk menyampaikan pesan. Awalnya adalah pesan sederhana, kemudian berkembang seiring akumulasi pengalaman, membentuk serta mengembangkan perbendaharaan kata. Belajar mencintai alam dari lubuk hati terdalam sehingga menyatunya dengan alam. Adalah budaya yang tercermin dalam keseharian manusia Sunda, dan tercermin dari cara manusia Sunda bertutur: tenang, mengalun, ringan.
Kebudayaan ada yang berkembang di tepian sungai. Dari hulu, hilir, muara sungai, delta, telaga hingga menciptakan di sepanjang garis pantai. Aliran air membuahkan kreativitas. Kreativitas membentuk budaya. Dari membersihkan diri, mengambil air untuk berbagai kebutuhan, hingga membuat alat transportasi air.
Orang Sunda hingga kini akrab dengan alat angkut air. Paling sederhana, yang kini biasa digunakan untuk permainan anak-anak, namanya rakit-gebog. Rakit ini terbuat dari beberapa batang pohon pisang : dua, tiga hingga empat pohon pisang ditebang, diambil batangnya. Panjang batang pisang disamakan, disejajarkan hingga membentuk alas, lalu dipasak dengan bambu (pasak bambu). Selain untuk anak bermain di sungai, rakit gebog juga dapat digunakan untuk alat transportasi melintasi sungai. Praktis, begitu rusak, bisa dengan mudah membuat lagi dengan yang baru. Yang juga tak kalah pentingnya : ramah lingkungan.
Bicara tentang tumbuhan yang tumbuh subur di tanah Sunda, selain pohon pisang, berbagai jenis tanaman bambu mudah dijumpai. Tanaman bambu tumbuh cepat, mudah memperbanyak diri. Sifatnya : kuat, lentur, ringan, dan karena berongga, bambu itu mengambang di air. Selain itu mudah diolah.
Dengan demikian bambu bisa dibuat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam menjalankan kehidupan. Bambu dipergunakan untuk membuat rumah : dari tiang, rangka, dinding bilik, lantai, sampai ke atap.
Bambu dipakai untuk perabotan dan peralatan rumah tangga : dari bambu yang dipakai seutuhnya seperti untuk saluran air bersih, bangku, jemuran, pago, parako, berbagai anyaman sampai yang terkecil dipakai seumat dan lain-lain.
Karambak Ikan-hal4
Gb : Karambak ikan
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan petani ; dari kincir air untuk irigasi, garu, rancakan, sundung, paranggong, pagar, ajir, aseuk, bungbun, tudung cetok dan lain-lain.
Kincir Air-hal4
Gb : Kicir air
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan berburu dan peternakan. Untuk berburu diantaranya : sumpit, bubu, tombak, jamparing, eurad, dan lain-lain. Untuk peternakan : kandang, kurung, sayang, dan lain-lain.
Bambu dipakai untuk peralatan dan perlengkapan perairan di sugai termasuk jembatan dan transportasi air (rakit), untuk memelihara ikan dalam karambak. Di laut didirikan pagang untuk menangkap ikan.
Rakit bambu-hal4 Gb : Rakit bambu
Bambu juga dipakai untuk alat musik, seperti kohkol, calung, angklung, suling yang menghasilkan suara nyaring dan jernih. Bebrbagai suara alami memberikan inspirasi musik. Saat mengisi lodong dengan air, yang memberi inspirasi membuat tangga nada, yang hingga kini berlaku ialah Salendro, tangga nada lima-nada dengan interval yang sama.
Dari sini kemudian lahir berbagai macam lagu dan patokan lagu (patet). Dari lima nada dalam satu genyang (oktav) dikembangkan menjadi sepuluh nada. Kemudian, perkembangan ini melahirkan laras atau tangga nada degung atau pelog, madenda atau sorog. Setelah ada tangga nada ini, mulailah banyak diciptakan berbagai macam instrumen : seperti instrumen tabuh, dan tiup.
Setelah dapat menempa logam, lahir instrumen lainnya.  Musik Sunda bukan hanya digunakan sebagai sarana hiburan, namun juga untuk kegiatan-kegiatan sakral dan berbagai upacara. Asalnya, musik Sunda ini tidak dituliskan. Kemudian baru ditulis oleh Pak Mahyar.
Dunia tulis menulis sebenarnya dikenal sebagai budaya buhun. Dari hasil penelitian ditemukan berbagai tingkat perkembanagn bentuk huruf. Abjadnya bernama “ka-ga-nga”. Abjad ini lalu berkembang di India, dikenal sebagai tulisan Sansekerta. Sekarang “kaganga” dikenal dengan “ha-na-ca-ra-ka-“.
Penulisan dengan “kaganga” awalnya menggunakan kayu atau bambu sebagai kertasnya. Alat tulisnya bisa pisau, bisa juga getah pohon. Setelah itu, daun lontarpun digunakan sebagai alas untuk menulis. Pada masa berikutnya, ditulis pada saeh (daun) atau pada logam tipis, seperti : tembaga, timah atau kuningan. Bagi para raja, bisa saja memakai lembaran emas. Bersamaan dengan tulisan (huruf), penulisan angka serta ilmu hitungnya juga sama dikembangkan.
Perkembangan berikutnya adalah penelitian kalender. Awalnya adalah memperhatikan keberadaan bulan. Saat bulan setengah lingkaran, dihitung sebagai awal bulan. Lalu bulan purnama, bulan setengan lingkaran berikutnya lalu bulan gelap kembali ke setengah lingkaran lagi, tercatat antara 29 atau 30 hari. Kemudian Ki Sunda mempelajari keberadaan matahari.
Memeriksa matahari tentu tidak bisa ditatap langsung, tidak seperti saat menggunakan bulan sebagai tolak – ukur perhitungan kalender. Menggunakan matahari sebagai patokan, harus menggunakan alat bantu yakni lingga (batu yang berdiri tegak). Bayangan lingga diukur dengan menggunakan lidi.
Setelah satu tahun, bayangan (yang diukur dengan lidi) membentuk satu gelombang (kini dikenal dengan gelombang sinus). Jarak satu gelombang = 365, 25 hari. Inilah perhitungan satu tahun matahari. Diatur kemudian, bahwa satu tahun itu 365 hari untuk selama 3 tahun, tahun keempatnya 365 + (4X0.25) = 366 hari. Dan tahun ke-128, yang jatuh pada tahun ke empat (biasanya 366 hari) dijadikan 365 hari.
Satu tahun matahari = munculnya 12X bulan purnama. Dari sini ditetapkan bahwa satu tahun = 12 bulan. Tapi 12X bulan purnama bila dihitung dari perhitungan bulan, akan sama dengan 354 lebih sedikit. Inilah perhitungan satu tahun bulan. (Dari hasil penelitian Kalangider, A.Sastramidjaja, 1990).
Dengan demikian, penanggalan Sunda  memiliki dua buah perhitungan : yakni pertama berdasarkan perhitungan matahari dan kedua berdasarkan perhitungan bulan. Kelender Sunda menggunakan semuanya hingga saat ini. Kalender matahari digunakan untuk hal yang berkaitan dengan musim, yakni musim kemarau, musim hujan, dan sebagainya.
Kalender bulan digunakan untuk mencatat sejarah yang ditulis dengan lontar atau batu, caritera dan paririmbon (astrologi) ditulis di atas lontar, akurasi kalender Sunda sangat tinggi, baik kalender matahari maupun kalender bulan.
Sunda juga mencatat pertumbuhan dan perkembangan anak. Mulai dari dalam kandungan, saat lahir, remaja hingga awal dewasa. Pengetahuan ini dimaksudkan agar calon orang tua mengetahui apa yang perlu diperhatikan, selama mengasuh anak baik secara fisik maupun secara mental. Misalnya, saat bayi berusia satu minggu, ditulis bahwa bayi suka tersenuym sendiri.
Lalu, diceritakan pula proses seorang anak kapan mulai belajar berjalan, dan bagaimana membimbingnya. Mengenai permainan terurai bagi anak sejak lahir sampai awal remaja. Saat anak laki-laki menginjak usia antara tiga hingga enam tahun, disunat. Sunat merupakan tradisi budaya Sunda sejak dahulu.
BAB III
SUNDA MEMBUDAYAKAN DUNIA
Sumber : Thesis Sunda (Oppenheimer), et al.
Dalam tulisan ilmiah Oppenheimer, disinyalir Sunda pernah mendunia. Salah satu penetrasi budaya yang menjadi kontribusi Sunda dalam distribusi global (keluar wilayah Sunda) adalah tradisi sunat, teutama bagi laki-laki.
Tradisi sunat di Sunda ini telah mempengaruhi daerah : Mediterania Timur, Sub-Sahara Afrika, Teluk Persia, Afrika Timur, Timur Dekat Kuno (termasuk Mesir), Nugini, Korea, Oseania. Di Sunda, tradisi ini diberlakukan sejak anak berusia sekitar 3 – 6 tahun.
Sunat mudah diterima secara luas, karena alasan kebersihan dan kesehatan yang menjadi faktor utama. Kebersihan dan kesehatan organ vital terutama untuk pria, akhirnya menjadi tradisi di banyak tempat, dan dikodifikasi oleh agama-agama Samawi. Selain sunat, kebudayaan, gaya hidup, keahlian di bidang teknologi maritim dan pertanian juga ikut menyebar luas dari daratan tanah Sunda ke berbagai daerah yang dikunjunginya.
Dalam thesis Sunda-nya Oppenheimer mensinyalir adanya migrasi jangka panjang dari wilayah Sunda ke berbagai wilayah lain, dengan populasi berlebih, disebabkan oleh bencana banjir. Diasumsikan, bencana inilah yang menjadi pencetus perkembangan keahlian maritim yang Adi luhung yang dimiliki masyarakat Sunda.
Maka, ekspansi Sunda diawal milenium terjadi karena kecanggihan teknologi maritimnya, untuk masa itu, termasuk di dalamnya bidang pelayaran. Teknik kelautan merupakan prasyarat bagi migrasi jangka panjang. Dibutuhkan kapal yang kokoh, besar dan mudah menembus berbagai kendala yang mungkin terjadi selama mengarungi samudra.
Oppenheimer menengarai/menandai bahwa populasi Sunda asli yang didukung oleh keahlian maritim yang handal, telah membawa peradaban (Sunda) ke Asia Selatan (wilayah sungai Indus), Asia Barat (Mesopotamia), serta menyentuh peradaban Mesir dan belahan Afrika lainnya, serta merambah hingga Eropa (termasuk di dalamnya Basque).
Peradaban yang terbentuk berekspansi dan sanggup membuat ikatan lintas budaya, beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sistem budaya formal, seperti mitos, bahasa, seni, sistem religi, alat musik dan bentuk-bentuk musik, cara menulis dan perhitungannya, termasuk detail bukti atas tapak Sunda diberbagai wilayah perluasannya.
Tapak sunda lain yang menyebar luas adalah penyebaran bibit-bibit tanaman : talas, jagung (maizena), pisang, mangga, dan hasil pangan lainnya. Rempah-rempah merupakan andalan utama hasil kebun yang didatangkan langsung dari tanah Sunda untuk diperdagangkan. Rempah-rempah inilah yang mencuatkan nama Babilonia di Timur, dan Mesir di Barat sebagai pusat-pusat perdagangan dunia pada masa itu. Babilonia menerima barang-barang dagangan dari timur untuk dibawa ke barat (Mesir). Dan dari Mesir, barang-barang dagangan ini, rempah-rempah dari tanah Sunda, diteruskan ke Eropa.
Dari sinilah orang-orang barat (Eropa) mengenal rempah-rempah. Demikian terkenalnya tanah Sunda, hingga namanya terpatri di berbagai Prasasti/tiang kota di mesir maupun Atlantis, dengan sebutan Sunsa-Dwipa. Ini membuktikan bahwa ekspansi Sunda memberi kedudukan yang kokoh untuk jangka waktu yang lama, terutama kontribusinya di dunia perdagangan.
Ikonografi, produk-produk patung, ukiran logam (perunggu), dan gerabah, juga menjadi ciri kuat keterkaitan kesinambungan penetrasi budaya Sunda di berbagai wilayah sebarannya, dalam hal ini di Afrika. Ikonografi patung-patung Afrika yakni ukiran perunggu dari Ife. Model ini pada akhirnya memberikan temuan betapa dekatnya kemiripan akan model-model ketuhanan.
Oppenheimer, yang adalah seorang dokter pedriastis/ahli genetika, justru memberi kontribusi untuk temuan ilmiah, bahwa ekspansi sunda ke barat juga membawa ikutan distribusi penyakit darah yang diturunkan secara genetis, yang dikenal dengan sebutan talasemia.
Jelajah penyebaran talasemia sangat cocok dengan “hipotesa perluasan Sunda”, khususnya DNA tipe B. Talasemia disinyalir menjadi cikal-bakal penyakit malaria.
Sunda berekspansi dan pengaruhnya bertahan lama, tidak lain akibat kepandaian, keberanian dan rasa ingin tahu dalam mencoba hal-hal baru, termasuk bermigrasi. Kecerdasan intelektual yang dipadu dengan kemampuan beradaptasi (kecerdasan emosional dan adversitas), serta keyakinan akan wujud pertolongan Sang Hyang Widi (kecerdasan spiritual), merupakan landasan utama yang membentuk sosok manusia Sunda yang menempatkan diri selaras dengan alam, dan sebagai bagian dari alam. Pengaruh budaya Sunda pada dunia pada akhirnya mendorong dunia menjadi lebih berbudaya, lebih mandiri dan kemudian mampu membudayakan diri sendiri.
KESIMPULAN :
Sunda yang saat ini tereduksi menjadi enam etnis dan kebudayaan yang menempati sebagian kecil wilayah suatu negara, dahulu merupakan sebuah wilayah besar dengan kemajuan peradaban dan pengetahuannya.
Migrasi ke berbagai belahan dunia, berimbas pada penyebaran budaya, keahlian hidup, perilaku (termasuk mitos), perdagangan, pertanian, penyebaran bibit tanaman dan penyakit genetis.
Disadari atau tidak, kontribusi Sunda pada dunia banyak yang masih tetap dipertahankan, salah satunya adalah tradisi sunat.

✔️Bangsa Sunda

0 komentar
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar Brebes (mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat atau Provinsi Pasundan, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah.
Etimologi
Kata Sunda bisa mengandung berbagai arti yang secara umum berkaitan dengan etnis/suku bangsa Sunda di bagian barat Nusantara. Catatan sejarah tertua yang sudah ditemukan mengandung kata “Sunda” adalah prasasti  Kebonkopi yang dibuat tahun 458 Saka (536 M, namun ada pula yang berpendapat bahwa prasasti ini dibuat tahun 854 Saka, 932 M) yang menunjuk pada kerajaan Sunda.
Kata ini kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yang bisa berarti ‘cahaya’ atau ‘air’. Dalam naskah historis lainnya menyebutkan Sunda merujuk pada ibukota Kerajaan Tarumanagara yang bernama Sundapura. Sehingga masyarakat yang menghuni wilayah tersebut dikenal sebagai orang Sunda yang disebut hingga kini. Kerajaan Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang terbukti dengan bukti prasasti dan berita naskah kuno di negeri Tiongkok. Letak tepat kota Sundapura masih menjadi penelitian para ahli, apakah di Jakarta, Bekasi atau Karawang sekarang. Hanya di Karawang terdapat situs percandian Batujaya seluas 5 km persegi yang menunjukkan tumbuh kembangnya kebudayaan sejak abad 2 Masehi hingga abad 12 Masehi.
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda. Bahasa Sunda dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia  setelah Bahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda dituturkan di provinsi Banten khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut, sebagian besar wilayah Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang), dan melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.
Dialek bahasa Sunda
Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
* Dialek Barat
* Dialek Utara
* Dialek Selatan
* Dialek Tengah Timur
* Dialek Timur Laut
* Dialek Tenggara
Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.

Sejarah dan penyebaran
Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya. Ironisnya, nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang “disundakan”, sebab pada abad ke-19 nama ini seringkali ditulis sebagai “Clacap”.
Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama “Dieng” yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna). Seiring mobilisasi warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar. Misalnya, di Lampung, di Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan banyak sekali, warga Sunda menetap di daerah baru tersebut.
Fonologi
Saat ini Bahasa Sunda ditulis dengan Abjad Latin dan sangat fonetis. Ada lima suara vokal murni (a, é, i, o, u), dua vokal netral, (e (pepet) dan eu (ɤ), dan tidak ada diftong. Fonem konsonannya ditulis dengan huruf p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y.
Konsonan lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan utama: f -> p, v -> p, sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.
Undak-usuk
Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda – terutama di wilayah Parahyangan – mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan.
Tradisi tulisan
Bahasa Sunda memiliki catatan tulisan sejak milenium kedua, dan merupakan bahasa Austronesia ketiga yang memiliki catatan tulisan tertua, setelah bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Tulisan pada masa awal menggunakan aksara Pallawa. Pada periode Pajajaran, aksara yang digunakan adalah aksara Sunda Kaganga. Setelah masuknya pengaruh Kesultanan Mataram pada abad ke-16, aksara hanacaraka (cacarakan) diperkenalkan dan terus dipakai dan diajarkan di sekolah-sekolah sampai abad ke-20. Tulisan dengan huruf latin diperkenalkan pada awal abad ke-20 dan sekarang mendominasi sastra tulisan berbahasa Sunda.

Silsilah Raja-Raja Kemaharajaan Sunda

0 komentar

MENGENAL PROFIL RAJA RAJA KEMAHARAJAAN SUNDA (669 S/D 1579 M)


  1. Maharaja Tarusbawa
      Tarusbawa yang berasal dari Sundasambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Ia dinobatkan sebagai raja pada hari radite pon, 9 suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 saka atau kira-kira 18 Mei 669 M.
     Tarusbawa dianggap sebagai  bapak pendiri kemaharajaan Sunda. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya “tohaan di Sunda (raja Sunda). Ia menjadi cikal bakal raja-raja Sunda yang memerintah  berikutnya.
     Setelah menerima tahta tarumanagara dari mertuanya, Maharaja Linggawarman, Tarusbawa  kemudian memindahkan ibukota  kerajaan yang baru  di dekat hulu sungai cipakancilan (cipeucang).
     Ia berusaha untuk mengembalikan kejayaan tarumanagara, seperti  yang dialami oleh Purnawarman, yang waktu itu sedang berada dalam kemundurannya (konon  kala itu Tarumanagara mendapat serangan dari Sriwijaya.), karena itu ia kemudian mendirikan ibukota baru.
    
  1. Sanjaya
    Setelah Tarusbawa  meninggal (w. 723 M), Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja Sunda, mewakili istrinya, yang merupakan cucu dari Tarusbawa. Pada tahun itu juga Sanjaya  berhasil merebut kekuasaan Galuh dari rahyang Purbasora, yang merebut kekuasaan dari ayahnya, Bratasenawa (rahyang Sena). Oleh karena itu seluruh wilayah Sunda  dan galuh berada di bawah kekuasaan Sanjaya.

  1. Temperan Barmawijaya
      Temperan mewarisi kekuasaan Pakuan dan Galuh pada tahun 732 M, setelah Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram. Temperan berkuasa selama 7 tahun,  dari tahun 732-739 M. Ia meninggal ketika terjadi kudeta oleh Sang manarah atau Ciung Wanara.

  1. Hariang banga (739-766 M)
      Hariang banga  atau sang banga atau Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya, berkuasa selama 27 tahun (739-766 M), yang berkuasa hanya di sebelah barat sungai Citarum dari tahun 759 M.
     Dari istrinya yang bernama Dewi Kancana sari (keturunan Demunawan dari Saunggalah), sang banga  mempunyai putra yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian menggantikan kekuasaan setelahnya.
      Sebuah naskah abad ke13 M (atau abad ke-14 M) memberitakan bahwa Sang banga  pernah membangun parit di Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja  yang merdeka dari Galuh.
     Lepasnya pakuan dari galuh terjadi setelah  20 tahun Banga menjadi pemguasa Pakuan. Daerah yang termasuk  kekuasaanya adalah sebelah barat Citarum


  1. Rakeyan Medang
     Rakeyan Medang merupakan putra dari sang Banga, dan meneruskan kekuasaan di tahta Sunda, yang berkuasa selama 17 tahun (dari tahun 766-783 M), dengan gelar Parbu Hulu Kujang.
     Ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta jatuh kepada menantunya, Rakeyan Hujung Kulon.

                                            
  1. Rakeyan Hujung Hulon
       Rakeyan Hujung kulon bergelar Prabu Gilingwesi. Ia naik tahta menggantikan mertuanya, Rakeyan Medang, dan berkuasa selama 12 tahun dari tahun 783-795 M.
    Ia berasal dari galuh, putra Sang Mansiri. Karena  Rakeyan medang tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta kemudian jatuh ketangan menantunya, Rakeyan Hjung Kulon.
     Rakeyan Hujung Kulon juga tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga  tahta kemudian jatuh ke tangan menantunya, Rakeyan Diwus atau Prabu Pucuk Bumi Dharmeswara.


  1. Rakeyan Diwus Prabu Pucuk Bumi (MP. 795-812 M)
        Rakeyan Diwus naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeya Hujung Kulon Prabu Giling Wesi, yang berkuasa selama 24 tahun., dari  tahun 795 hingga 812 M. Ia kemudian diagntikan oleh putranya, rakeyan Wuwus.


  1. Rakeyan Wuwus
      Rakeyan Wuwus naik tahta Sunda  menggatikan ayahnya, Rakeyan Diwus, dengan gelar Prabu Gajah Kulon.
    Ia menikah dengan putri Sang Welengan , Raja Galuh (mp. 806-813 M). Kekuasaan Galuh juga jatuh padanya ketika kakak iparnya, Prabu Linggabumi (mp. 813-842 M), meninggal dunia. Sehingga Sunda Galuh berada di satu tangan lagi.
     Setelah Rakeyan Wuwus meninggal, kekuasaan tahta Sunda jatuh kepada adik iparnya dari Galuh, Arya Kedatwan. Hanya saja karena tidak disenangi oleh pembesar istana Sunda, ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M. Dan kekuasaan jatuh kepada putranya, Rakeyan Windusakti.


  1. Prabu Darmaraksa (891-895 M)
      Arya Kedathan  bergelar Prabu Darmaraksa bersal dari istaanan Galuh, naik tahta Sunda, menggantikan kaka iparnya, Rakeyan Wuwus meninggal dunia.
      Tetapi ia  tidak disenangi oleh pembesar istana Sundapura, sehingga kemudian ia dikudeta dan terbunuh pada tahun 895 M. Dan kekuasaan jatuh kepada putranya, Rakeyan Windusakti.


  1. Rakeyan Windusakti (895-913 M)
Rakeyan Windusakti  dengan gelar Prabu Dewageng, naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Rakeyan Wusus. Ia berkuasa dari tahun 895 sampai 913 M.
    Ia kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Rakeyan Kamuning Gading pada tahun 913 M.
                           

  1. Rakeyan Kamuning gading (913-916 M)
    Rakeyan Kamuning Gading, dengan gelar Prabu Pucukwesi,  naik tahta  menggantikan ayahnya, Rakeyan Windusakti, dan berkuasa hanya 3 tahun (913-916 M), sebab kemudian dikudeta oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M.

  1. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942 M)
      Rakeyan Jayagiri yang bergelar Prabu Wanayasa berkuasa di tahta sunda setelah mengkudeta kakaknya, Rakeyan Kamuning Gading. Ia berkuasa selama 28 tahun, yang kemudian digantikan oleh menantunya, Rakeyan Watuagung.


  1. Rakeyan Watu  Agung  (942-954 M)
       Rakeyan Watu agung bergelar Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa, naik tahta Sunda menggantikan mertuanya, Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (mp. 916-942 M).
      Ia kemudian dikudeta oleh sepupunya, putra Kamuninggading, Sang Limburkancana (mp. 954-964 M)

  1. Limburkancana  (954-964 M)
      Limburkancana naik tahta sunda setelah mengkudeta Rakeyan Watuagung. Ia merasa berhak tahta Sunda dan memerbut kekuasaan sebagai balasan terhadap kudeta yang dilakukan oleh pamannya, Rakeyan Jayagiri, terhadap ayahnya Rakeyan kamuning Gading pada tahun 916 M.
      Setelahnya, tahta Sunda kemudian diteruskan oleh putra sulungnya, rakeyan Sundasamabawa yang bergelar Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M).


  1. Prabu Munding Ganawirya (mp. 964-973 M) 
      Rakeyan Sundasambawa dan bergelar Prabu Munding Ganawirya, naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Prabu Limbur Kancana. Karena tidak mempunyai putra, kekuasaan kemudian jatuh  kepada adik iparnya, Rakeyan Wulung gadung yang begelar Prabu Jayagiri.


  1. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung
     Prabu jayagiri rakeyan Wulung gadung naik tahta sunda menggatikan kakak iparnya, Prabu Munding Ganawirya. Ia naik tahta karena kakaknya tidak mempunyai anak.
     Rakeyan Jayagiri ini kemudian mewariskan kekuasaanya  kepada putranya,  Rakeyan Gendang, yang bergelar Prabu Brajawisesa (mp. 989-1012 M).


  1. Prabu Brajawisesa (989-1012 M)
     Rakeyan Gendang dengan gelar Prabu Brajawisesa naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Rakeyan Jayagiri. Ia kemudian digantikan oleh cucunya, Prabu Dewasanghiyang (mp. 1012-1019 M)


  1. Prabu Dewa Sanghiyang (mp. 1012-1019 M)
      Prabu Dewa Sanghiyang naik tahta Sunda menggantikan kakeknya, Prabu Brajawisesa.
     Setelahnya tahta sunda kemudian diwariskan kepada anaknya, Prabu sanghiyang Ageung (mp. 1019-1030 M).


  1. Prabu sanghiyang Ageung (1019-1030 M)
     Raja ke-19 dari tahta Sunda, yang memerintah dari tahun 1019 hingga 1030 M. Ia memerintah kerajaan Sunda dan berkedudukan di istana Galuh.
    Ia menikah dengan putri dari Sriwijaya, yang masih kerabat dari raja Wurawuri. Dari perkawinannya, ia mempunyai anak yang bernama Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang kemudian menggantikannya. Sri Jayabhupati inilah yang kemudian  membuat prasasti Cibadak.


  1. Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M)
       Sri Jayabhupati atau lengkapnya Prabu Detya Maharaja Sri Jayabhupati, naik tahta Sunda yang ke-20, menggantikan ayahnya Prabu sanghiyang Ageng (mp. 1019-1030 M)
     Ayahnya,  Prabu sanghiyang Ageng , sedang ibunya berasal dari ibu dari putri Sriwijaya. Ia  menjadi menantu dari Darmawangsa Teguh dari Jawa, yang juga mertua dari Erlangga. Istrinya merupakan adik dari  Dewi Laksmi, istri Airlangga (1019-1042 M), yang kemudian menjadi prameswarinya.  Karena pernikahannya tersebut, ia kemudian mendapat anugrah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa), gelar ini yang dicantumkan dalam prasasti Cibadak.
     Prasasti peninggalan Sri Jayabhupati ditemukan di daerah Cibadak Sukabumi, sehingga kemudian prsasti ini dikenal dengan nama Prsasati jayabhupati atau Prasasti Cibadak.
     Prasasti ini terdiri dari 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk menulisnya. Prasasti ini ditulis dalam bahasa  dan huruf Jawa kuno, yang sekarang  disimpan di museum pusat, dengan code D73 (dari Cicatih), D96, D97, D98
    
21.    Prabu Dharmaraja (1042-1065 M)

     Raja Sunda ke-21, yang naik tahta sunda menggatikan ayahnya, Sri Jayabhupati (mp. 1030-1042 M), yang meninggal pada tahun 1042 M.
      Prabu Dharmaraja  atau lengkapnya Prabu Dharmaraja Jayamahen Wisnumurti Salakasunda buana. Setelah meninggal ia dikenal dengan Sang Mokteng  Winduraja, karena ia dipusarakan di Winduraja. Winduraja adalah nama desa di kecamatan Kawali kabupaten Ciamis.
     Jadi ada gejala setelah wafatnya Sri Jayabupati sampai dengan tahun 1187 M, pusat pemerintahan Sunda  terletak di kawasan timur tidak di Pakuan. Cicit raja ini, Prabu Dharmakusuma juga dipusarakan di Winduraja.
      Setelah meninggal, tahta sunda kemudian diwariskan kepada menantunya,  Prabu Langlang Bumi / Prabu langlang Buana. (mp. 1065-1155 M)


  1. Prabu Langlangbumi (mp. 1065-1155 M)

       Prabu Langlang bumi  atau Prabu langlang Buana naik tahta Sunda ke-22, menggantikan mertuanya, Prabu Darmaraja.
      Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Rakeyan Jayagiri, dengan gelar Prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M)

  1. Rakeyan Jayagiri Prabu Menakluhur (mp. 1155-1157 M)
      Rakeyan Jayagiri dengan gelar Prabu Menak Luhur, berkuasa di tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Langlang Bhumi. Setelahnya tahta sunda kemudian diteruskan oleh putranya,  Prabu Darmakusuma. (mp. 1157-1175 M).


  1. PRABU DARMAKUSUMA (mp. 1156-1175 M)
    Prabu Dharmakusuma naik tahta Sunda ke-24,  menggantikan ayahnya, rakeyan Jaya Giri prabu Menak Luhur (mp. 1154-1156 M). Dan kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Dharmasiksa..


  1. PRABU DARMASIKSA (mp. 1175-1297 M)
      Prabu Darmasiksa merupakan raja ke-25 dari kerajaan Sunda dihitung dari maharaja Tarusbawa.  Ia naik tahta menggantikan ayahnya, Prabu Dharmakusuma (mp. 1156-1175 M), yang berkedudukan di Pakuan.
     Prabu Darmasiksa atau sering disebut Parabuguru darmasiksa atau ada juga yang menyebut Sanghiyang Wisnu. Dalam naskah Carita Parahiyangan  ia  memerintah selama 150 tahun, sedang dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun sejak 1097-1219 saka atau 1175-1297 M. Sebagai perbandingan, setidaknya ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sezaman dengan masa pemerintahannya.
       Ia naik tahta 16 tahun setelah Prabu Jayabaya (1135-1159 M), penguasa Kediri Jenggala yang meninggal. Ia juga memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M.

26.    RAKEYAN SAUNGGALAH PRABU RAGA SUCI  (mp. 1297-1303 M)
      Rakeyan Saunggalah bergelar Prabu Ragasuci, naik tahta sunda menggantikan ayahnya, Prabu Resiguru Darmasiksa, yang berkuasa 6 tahun, dari tahun 1297 hingga 1303 M. Ia memerintah berkedudukan Di Saunggalah (Kuningan).
     Setelah meninggal ia kemudian digantikan oleh anaknya, Prabu Citraganda. Ia dipusarakan di Taman, sehingga  ia kemudian dikenal dengan nama Sang Mokteng Taman.
    

  1. PRABU CITRA GANDA (1303-1311 M)
       Prabu Citraganda naik tahta sunda menggantikan ayanya, Prabu ragasuci, Ia berkuasa selama 8 tahun (dari tahun 1303-1311 M), dan  berkuasa dengan berkedudukan di pakuan.
      Setelahnya, tahta sunda kemudian diwariskan kepada putranya,  Prabu Linggadewata.  Prabu Ragasuci ketika meningal, ia dipusarakan (dimakamkan) di Tanjung, sehingga ia dikenal dengan Sang Mokteng tanjung.         

  1. PRABU LINGGA DEWATA (1311-1333 M)
      Prabu Linggadewata naik tahta Sunda menggatikan ayahnya, Prabu Citra Ganda.  Ia memerintah tahta Sunda  berkedudukan di Kawali  selama 22 tahun (mp. 1311-1333 M).
     Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya yang bernama Rimalestari, yang menikah dengan Ajiguna Linggawisesa.
      Setelah meninggal ia dipusarakan di  Kikis, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama  Sang Mokteng Kikis. Karena ia tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga tahta selanjutnya ia wariskan kepada menantunya,  Prabu Ajiguna Linggawisesa.


  1. PRABU AJIGUNA WISESA (1333-1340 M)
       Prabu Ajigunawisesa naik tahta Sunda menggatikaan mertuanya, Prabu Linggadewata.   Ia memerintah berkedudukan di keraton Kawali selama 7 tahun (mp. 1333-1340 M).
     Ia naik tahta karena istrinya, Rimamelati, putri dari Prabu Linggadewata merupakan pewaris tahta Sunda. Ia mempunyai 3 orang anak, yang pertama yaitu Prabu Ragamulya Luhur Prabawa atau terkenal dengan nama Sang Aki Kolot, yang kemudian menggantikan tahtanya. Yang kedua adalah Dewi Kiranasari yang menikah dengan Prabu Arya Kulon. Dan yang ketiga (bungsu) adalah Prabu Suryadewata yang menjadi Raja (Ratu) Galuh. Prabu Suryadewataa inilah kemudian menurunkan raja-raja kerajaan Talaga, dan ia meninggal di Wararaja (hutan raja) ketika sedang berburu.
     Prabu Ajigunawisesa dimakamkan di Kiding, sehingga ia kemudian terkenal dengan nama Sang Mokteng Kiding.

  1. PRABU RAGAMULYA LUHUR PRABAWA ( mp. 1340-1350 M)
        Prabu Ragamulya Luhur Prabawa  naik tahta Sunda menggantikan ayahnya, Prabu Ajiguna wisesa, pada tahun 1340 M. Ia memerintah selama 10 tahun (mp. 1340-1350 M).
       Prabu Ragamulya Luhur Prabawa merupakan putra dari Ajigunana wisesa dengan putri Rimamelati. Prabu Luhur Prabawa  terkenal juga dengan nama  Sang Aki Kolot.
      Setelah meninggal, ia dikenal  dengan Salumah Ing  Taman, karena ia meninggal di Taman. Setelahnya kekuasaan Sunda kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Maharaja  Linggabuana wisesa (mp. 1350-1357 M), yang gugur dalam perang bubat.


  1. MAHARAJA PRABU LINGGABUANA (1350-1357 M)
   
      Prabu Linggabuana Wisesa memerintah sunda menggatikan ayahnya Prabu Raga Mulya Luhur Prabawa, yang memerintah selama 7 tahun (1350-1357 M).
     Ia  gugur di medan perang bubat,  dalam mempertahankan harga diri dan melawan kecurangan majapahit, bersama putrinya Dyah Pitaloka atau putri Citra resmi.
     Karena anak laki-lakinya (adik dari diah pitaloka) masih berumur 9 tahun, maka  kekuasaan kemudian digantikan oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati yang kemudian terkenal dengan nama Prabu Bumisora.
      Karena meninggal di Bubat, prabu Linggabuana kemudian dikenal juga dengan nama  Sang Mokteng Bubat.

  1. PRABU BUNISORA (mp. 1357-1371 M)
      Prabu Bunisora atau Mangkubumi Suradipati, adalah adik dari Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.  Ia menggantikan tahta sunda, karena putra mahkota (putra Prabu Linggabuana), Wastukencana, masih kecil (unur 9 tahun). Ia memerintah tanah sunda selama 14 tahun (mp. 1357-1371 M)
     Pada masa pemerintahan  Prabu Linggabuana, ia menjabat sebagai patih mangkubumi, dan menggantikan kedudukannya, ketika sang raja  gugur.

  1. PRABU ANGGALARANG / PRABU NISKALA WASTUKANCANA (mp. 1371-1475 M).
     Prabu anggalarang  atau Prabu Niskala wastukancana, naik tahta Sunda menggatikan mertuanya Prabu Bunisora, pada tahun 1371 M, dan berkuasa selama 104 tahun (mp. 1371-1475 M).
       Ia merupakan putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang bubat pada tahun 1357 M. Ketika perang bubat berlangsung ia baru berusia 9 tahun, dibawah bimbingan pamannya, yaitu Mangkubumi Bunisora Suradipati, yang menggantikan ayahnya menjadi raja.
     Setelah meninggal di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa disunda sebelah barat (pakuan) dan sunda sebelah timur (galuh).

  1. PRABU SUSUK TUNGGAL (mp. 1382-1482 M)
      Prabu Susuktunggal merupakan putra dari Wastukencana, dari istrinya,  Rara sarkati, putri penguasa Lampung. Ia berkuasa di tanah Sunda cukup lama (selama 100 tahun),  sebab sudah dimulai saat ayahnya masih  berkuasa di daerah timur.
      Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan menggantikan tahta kerajaan Sunda dari ayahnya, di daerah Parahiyangan bagian barat yang bertahta di Pakuan, sedang saudara seayah lain ibu, Prabu Dewa Niskala berkuasa di galuh (parahiyangan timur).
      Prabu Susuk Tunggal  yang berkuasa di Pakuan , kemudian membangun  pusat pemerintahan  dan membangun keraton Sri Bima Punta narayana  Madura Suradipati.
          Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Putrinya, Kentrik  Manik Mayang sunda,   kemudian menikah dengan Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala dari kraton Galuh. Dengan demikian  jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra dari Wastukencana) menjadi besan.
        Setelah Prabu Susuk Tunggal, tahta Sunda kemudian digantikan oleh mjenantunya, Prabu Jayadewata, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja, yang mempersatukan 2 istana Sunda, keraton Galuh dan Pakuan.


  1. SRIBADUGA MAHARAJA JAYADEWATA (mp. 1482-1521M)
     Prabu Jayadewata  merupakan putra Dewa Niskala, dari istana Galuh, dan kemudian menjadi menantu Prabu Susuktunggal, dan menggantikannya sebagai penguasa Sunda pada tahun 1482 M. Prabu jayadewata ini bergelar Sri Baduga maharaja, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521 M). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
    Pada tahun 1482 M,  Jaya Dewata menerima tahta  Galuh dari ayahnya,  Prabu Dewa Niskala. Dan pada tahun itu juga ia menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunnggal. Dengan peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun 1482 M, kerajaan warisan wastukancana berada kembali dalam satu tangan, Jayadewata.
      Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai susuhunan (ibukota), karena ia telah lama tinggal di Pakuan menjalankan pemerintahan seharihari mewakili mertuanya, prabu Susuk Tunggal. Dengan demikian sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Dan mulai zaman jaya Dewata ini  kerajaan sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran, hal ini dinisbahkan kepada nama ibukotanya Pakuan Pajajaran
      Prabu Siliwangi adalah nama tokoh yang terkenal dalam sejarah kesusatraan Sunda, gelar yang diberikan kepada Sri baduga Maharaja Jayadewata.

  1. PRABU SURAWISESA (mp. 1521-1535 M)

      Surawisesa merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja dari istrinya Mayang Sunda, dan merupakan cucu dari Prabu Susuk Tunggal.    Surawisesa dipuji oleh naskah Parahiyangan dengan sebutan ‘Kasuran’ (Perwira), Kadiran (perkasa) dan kuwanen (pemberani). Selama 14 tahun berkuasa, ia telah melakukan 15 kali pertempuran, memimpin 1000 pasukan tanpa mengalami kekalahan. Pujian penulis Carita parahiyangan tersebut memang berkaitan dengan itu.
         Surawisesa memerintah  selama 14 tahun lamanya. Dua tahun setelah ia membuat prasasti sebagai sasakala untuk ayahnya. Ia meninggal dan dimakamkan di Padaren. Ia kemudian digantikan oleh Ratu Dewata.
                               
  1. RATU DEWATA (mp. 1535-1543 M)
    Prabu Dewata buanawisesa atau kemudian terkenal dengan nama Ratu Dewata. Ia  naik tahta raja Pajajaran menggantikan ayahnya, Surawisesa.
    Berbeda dengan ayahnya, yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani. Rati Dewata sangat alim  dan taat beragama.
    Sikap ratu dewata yang alim dan rajin bertapa ini menurut norma zaman itu tidaklah tepat, karena raja harus memerintah  dengan baik. Tapa brata  seperti yang dilakukannya hanya boleh  dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manuraja suniya, seperti yang telah dilakukan oleh Wastukencana. Karena itu Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran:
” Nya iyatna iyatna sang Kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, jangan  engkau berpurapura rajin puasa).
     Rupanya penulis kisah kuno ini  melihat bahwa kealiman  Ratu Dewata  itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis naskah itu kemudian berkomentar pendek ” Samangkana ta precinta (Begitulah zaman susah).

  1. PRABU  SAKTI (mp. 1543-1551 M)
    Raja Pajajaran ke-4, menggantikan ayahnya Ratu Dewata, yang memerintah dari tahun  .
     Untuk mengatasi  yang ditinggalkan oleh Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan cenderung kejam dan lalim. Penulis Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.
     Setelah meninggal ia kemudian di makamkan di Pengpelengan.



  1. PRABU NIKALENDRA (mp. 1551-1567 M)
     Nilakendra atau terkenal dengan nama Tohaan di Majaya,  naik tahta  sebagai penguasa Pajajaran  yang ke-5 (penguasa Sunda ke-   ), pada saat situasi kenegaraan yang tidak menentu, dan prustasi telah melanda  ke segala lapisan masyarakat.
    Frustasi dilingkungan kerajaan lebih parah lagi, ketegangan menghadapi serangan musuh (banten, cirebon dan demak) yang datang setiap saat telah mendorong raja  dan para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan tantra. Disamping itu sikap poya-poya  raja terhadap makanan, pembangunan keraton dan taman-taman.

  1. PRABU SURYAKANCANA (mp. 1567-1579 M)
      Prabu Suryakancana adalah raja terakhir dari Pajajaran, yang  berkuasa dari tahun.
      Prabu Surya Kancana atau Prabu Raga Mulya atau dalam cerita parahiyangan di sebut Nusya Mulya. Prabu Surya Kancana sendiri merupakan nama yang diberikan dalam naskah Wangsakerta.
      Prabu Suryakanacana tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai pucuk umun (panembahan) Pulasari. Yang kemungkinan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

Jumat, 03 Januari 2014

SUNDA/PROTO SOENDIC

0 komentar

Sunda


Siapa orang Indonesia yang tidak mengenal suku Sunda? Suku Sunda adalah suku yang berada di barat pulau Jawa. Suku ini memiliki sejarah yang sangat menarik untuk di kaji. Dan salah satu sejarah yang harus di gali adalah peradaban yang berkembang di suku tersebut di masa lampau.
                Dari segi nama, Sunda memiliki beberapa arti nama. Diantaranya adalah:
1.       Dari bahasa Sansekerta, yang merupakan induk bahasa dari bangsa Austronesia.
1.1. Sunda memiliki arti bercahaya, terang benderang. Ini didasari oleh kata ‘Sund’ sebagai akar dari kata Sunda.
1.2. Nama lain dewa Wisnu sebagai pemelihara alam.
1.3. Sunda adalah Satria Wanara yang terampil dalam kisah Ramayana.
1.4. Sunda berasal dari kata Cuddha yang bermakna putih bersih.
2.       Dari bahasa Kawi.
2.1. Sunda berarti air. Yang bermakna adalah tempat yang banyak terdapat air.
2.2. Sunda berarti tumpukan. Yang bermakna subur.
2.3. Sunda berarti pangkat. Yang bermakna berkualitas tinggi.
2.4.  Sunda berarti waspada. Yang barmakna hati- hati.
      3.      Dari bahasa Jawa.
                3.1. Sunda berarti tersusun. Yang bermakna adalah tertib.
                3.2. Sunda berarti barsatu. Yang bermakna hidup rukun.
                3.3. Sunda berarti angka dua ( Cangdrasangkala ). Yang bermakna seimbang.
                3.4. Sunda berarti unda atau naik. Yang bermakna kualitas hidupnya selalu naik.
      4.      Dari bahasa Sunda.
                4.1. Sunda berasal dari kata ‘sunda’ yang berarti lumbung. Yang bermakna subur makmur.
                4.2. Sunda berasal dari kata ‘sonda’ yang berarti bagus, unggul, senang, bahagia.
                4.3. Sunda berasal dari kata ‘sundara’ yang berarti pria yang sangat tampan.
                4.4. Sunda berasal dari kata ‘sundari’ yang berarti wanita yang sangat cantik.
                4.5. Sunda bermakna indah.
Secara garis besar menurut arti- arti kata diatas, Sunda bemakna sebuah suku yang sangat elok atau juga bisa disebut dengan idaman. Hal tersebut dikarenakan Sunda sangat terkenal namanya dan dikenal dengan berbagai macam sebutan. Dimana semua sebutannya selalu mengacu kepada keindahan. Yang perlu dicermati disini adalah bahwa sebuah bangsa tidak akan menyebut Sunda dengan arti yang sangat elok jika keadaan Sunda sendiri tidak elok. Artinya bahwa Sunda adalah negri yang menjadi impian bagi setiap dan karena keelokannya itulah Sunda dikenal dengan berbagai kata yang memiliki makna keindahan.
                Berbagai macam teori ditetapkan oleh suku Sunda untuk mencerminkan kehidupan yang sesuai dengan arti namanya tersebut. Diantaranya adalah:
1.      Kawas gula jeung peueut,  “ seperti gula dengan nira yang matang, bermakna hidup rukun saling menyangi, tidak pernah berselisih “
2.      Ulah kawas seuneu jeung injuk, “ jangan seperti api dengan ijuk, yang bermakna jangan mudah berselisih agar mudah mengendalikan nafsu- nafsu negatif yang merusak hubungan dengan orang lain “
3.      Ulah neundeun piheuleut ulah nunda picela, “ jangan menyimpan jarak jangan menyimpan cela yang bermakna jangan mengajak orang lain melakukan kejelekan dan permusuhan “
4.      Bisi aya ti geusan mandi, “ kalau- kalau ada dari tempat mandi yang bermakna  segala sesuatu harus dipertimbangkan agar orang lain tidak tersinggung “
5.      Yen ana perkara ajang dheng buka, “ jika ada perkara jangan, dibuka yang bermakna jika kita mengetahui kejelekan orang lain, maka jangan disebarluaskan “
6.      Ulah rubuh- rubuh gedang, “ jangan rebah seperti papaya yang artinya jangan menegrjakan sesuatu tanpa mengetahui maksud dan tujuannya hanya karena melihat orang lain melakukannya “
7.      Ngadeureul  ku congo rambut, “ member bantuan dengan ujung rambut yang bermakna sebesar apapun kita member bantuan harus disertai dengan ketulusan “
8.      Pondok jodo panjang baraya, “ pendek jodoh, panjang persaudaraan  yang bermakna meskipun suami istri sudah bercerai tapi persaudaraan harus tetap berjalan “
9.      Ulah nyolok mata buncelik, “ jangan mencolok mata yang sedang melotot yang bermakna jangan melakukan sesuatu yang mempermalukan orang lain “
Terdapat sangat banyak teori- teori yang mendasari berjalannya suku Sunda. Teori- teori tersebut kemudian dikenal dengan norma- norma etika yang berkembang di Sunda. Dan karena norma- norma inilah, Sunda sangat dikenal oleh suku lainnya.
                Suku Sunda juga mengenal berbagai macam teori- teori atau norma- norma untuk menghormati hukum yang berlaku, diantaranya adalah:
1.       Kudu nyanghulu ka hukum , nunjang ka nagara, mupakat ka balarea, “ harus mengarah kepada hukum, mengarah kekaki negara, bermufakat kepada orang banyak “
2.       Deh hormat maring pusaka, leluhur, wong atua karo, guru, lan ratu, “ harus hormat terhadap pusaka, leluhur, kedua orang tua, guru, dan raja “
3.       Sakunang ananing geni, sadom ananing baraya, “walaupun sebesar kunang- kunang adalah api, walaupun seujung jarumpun adalah senjata yang bermakna sekecil apapun itu adalah milik negara “
4.       Aja nolak kandita pandita ratu, “ jangan menolak perintah pendeta dan ratu yang bermakna turutilah segala perintah ulama dan pemerintah “
Norma- norma tersebut diataslah yang menjadikan suku Sunda menjadi sangat terkenal. Bahkan menurut sejarahnya, Sunda adalah sebuah bangsa besar yang mendiami sebuah pulau yang sangat besar yang kemudian dikenal dengan sebutan pulau Sunda. Atau dikenal juga dengan sebutan Sundaland.
Banyak yang berpendapat bahwa Sundaland adalah sebuah pulau yang subur dan indah yang memiliki peradaban manusianya yang tinggi yang kemudian banyak yang mengidentifikasikan bahwa Sundaland adalah benua Atlantis yang hilang. Salah satunya Dr. Aryo Santos dari Brasil. Sundaland adalah kesatuan dari pulau- pulau modern yang tergabung dalam negara Indonesia, Singapura, Malaysia dan sebagian Filipina.
Bangsa yang mendiami Sundaland pada saat tersebut dikenal dengan bangsa Austronesia. Bangsa Austronesia sudah menduduki Sundaland sejak 5000 SM, dan ada pula yang berpendapat bahwa bangsa Sundaland inilah yang kemudian dikenal dengan Bani Jawi dan Indonesia saat ini.
Peradaban yang sudah lama hilang dari bumi ini banyak meninggalkan prasasti-prasasti  untuk dijadikan pelajaran bagi penerusnya saat ini. Salah satu prasastinya adalah ditemukannya arca- arca peninggalan kerajaan, candi- candi, dan yang lebih menghebohkan adalah ditemukannya piramida.
Adalah sesuatu yang sangat mencengangkan jika piramida yang biasa dijumpai di Mesir dan negara timur tengah lainnya, juga ditemukan di Indonesia. Walaupun masih bersifat spekulasi, namun teori ini akan dicari kebenarannya oleh tim ahli tidak lama lagi. Jika memang spekulasi tersebut adalah benar, bahwa terdapat piramida di Indonesia, maka akan semakin terbongkarnya sebuah rahasia besar yang sudah lama ditelan bumi Nusantara ini.
Piramida yang di indikasikan terpendam di tanah Nusantara ini bukanlah sebuah piramida yang kecil. Banyak yang mengindikasikan bahwa piramida yang terpendam ini memiliki ukuran yang berbeda- beda. Ada yang kecil, namun juga ada beberapa piramida yang lebih besar dari pada piramida yang ada di timur tengah. Piramida ini adalah salah satu bukti bahwa terdapatnya sebuat peradaban yang sangat tinggi di tanah Nusantara. Dan peradaban yang tinggi tersebut tidak hanya terbatas pada hal- hal yang bersifat material seperti candi- candi atau piramida, tapi juga berupa moral dan etika.